Raka tidak berhasil menemukan istrinya yang tidak kunjung pulang. Ia bahkan tidak bisa mencarinya ke sekolah tempat istrinya bekerja karena hari sudah malam. Saking sibuk dengan dunianya, Raka juga tidak tahu apakah istrinya punya teman dekat apa tidak.
"Gimana, ketemu? Bagus deh kalau dia kabur. Jadi Mama bisa carikan kamu istri yang subur, yang bisa ngasih Mama cucu!" ucap Bu Yati dengan pedas. Raka tidak menjawab ucapan Mamanya yang selalu menyakitkan hati. Ia lebih memilih memasuki kamarnya karena tubuh dan pikirannya saat ini benar-benar kacau. Sementara itu, Bu Darwin dan Gendhis anaknya menjadi syok dan geram mendengar cerita Anaya yang menceritakan apa yang ia alami hingga down seperti ini. "Mertua kamu benar-benar gila, Nay! Bisa-bisanya dia melakukan hal yang jahat seperti itu pada menantunya sendiri! Ini sudah termasuk tindakan kriminal, Mbak gak nyangka ada orang yang mempunyai pikiran jahat dan licik seperti mertuamu!" ucap Gendhis dengan sangat geram. "Kenapa gak kita bawa aja Anaya ke klinik Tante Sella, Beib? Di sana kita bisa memastikan langsung kondisi rahim Anaya, soalnya Anaya sudah dua tahun mengkonsumsi jamu itu tanpa ia tahu," Celetuk Samudra suaminya Gendhis yang juga ikut menyimak obrolan mereka. "Iya, ya, kenapa aku tidak kepikiran? Gimana Nay, kamu mau gak periksa rahim kamu sama Tante Mas Sam?" sahut Gendhis dengan mata berbinar. "Ikut aja Nay, Bunda jadi gak tenang kalau belum memastikan keadaan kamu! Jika kita tahu kondisinya, jika bisa melakukan pengobatan secepat mungkin!" ujar Bu Darwin ikut mendesak Anaya. "Iya, Bun, Mbak! Anaya mau ikut!" jawab Anaya dengan perasaan campur aduk. "Ya sudah, aku telpon Tante Sella dulu biar saat kalian sampai di klinik tidak perlu antri lagi!" ucap Samudra sambil mengutak-atik ponselnya. "Loh, emangnya Mas gak ikut?" tanya Gendhis dengan menatap suaminya. "Gak, kalian ajalah yang pergi! Mas di rumah aja jagain Sakala, nih lihat sudah tidur dia!" jawab Samudra dengan menunjuk putranya yang sudah tidur di pangkuannya. "Eh, sudah tidur aja cucu Oma! Perasaan tadi masih mainin mainannya," celetuk Bu Darwin baru sadar jika cucunya sudah tidur. "Kalau gitu kita siap-siap sekarang! Nay, bersih-bersih dulu dan pakai baju Mbak untuk sementara. Malam ini kamu nginap di sini dulu, dan akan kita cari sama-sama jalan keluar masalahmu!" ucap Gendhis tanpa mau dibantah. "Iya, Mbak!" jawab Anaya patuh. Satu jam kemudian, Anaya, Gendhis dan Bu Darwin sudah siap dan memasuki mobil setelah pamit pada Samudra yang menunggu rumah. Sepanjang perjalanan, Anaya meremas kedua tangannya yang sudah berkeringat dingin. Ia sungguh takut menerima kenyataan yang pahit dan bibirnya tak henti berdoa agar dirinya baik-baik saja. "Gak usah takut, yakinlah pada Tuhan jika semuanya akan baik-baik saja! Jika pun keadaannya buruk, kita akan menghadapinya bersama-sama!" ucap Bu Darwin dengan lembut menguatkan hati Anaya. Anaya mengangguk pelan dan tersenyum bahagia dikelilingi orang-orang yang peduli padanya. "Ayo, Nay keluar! Jangan takut, apapun yang terjadi kita hadapi sama-sama!" ajak Gendhis memberikan semangat pada Anaya. "Iya, Mbak!" sahut Anaya mengangguk dan keluar dari mobil dengan hati yang tegar. Mereka bertiga langsung memasuki klinik dan ternyata kedatangan mereka sudah ditunggu perawat, yang menyambut mereka di depan pintu praktek Dokter Sella spesialis kandungan. "Kalian sudah datang? Ayo duduk!" ucap seorang wanita paruh baya seumuran Bu Darwin dengan ramah begitu mereka memasuki ruang praktek tersebut. Setelah cipika-cipiki sebentar, Gendhis langsung mengatakan tujuan mereka datang ke sini. "Astaghfirullah, kok ada orang yang jahat seperti itu?" decak Dokter Sella dengan wajah tidak percaya. "Orang yang berpikiran sempit dan licik pasti ada di sekitar kita, Sel. Hanya saja kita yang tidak tahu karena mereka selalu bermuka dua saat di depan kita, tetapi menikam kita di belakang!" sahut Bu Darwin dengan wajah miris. "Iya, Mbak benar! Hanya saja bagiku ini benar-benar jahat, Mbak! Kejahatan besar seperti ini tidak bisa ditolerir, mereka harus dilawan. Aku paling benci dengan orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya!" ungkap Dokter Sella ikutan emosi. "Tenang, Tan, menghadapi orang seperti itu tidak perlu dengan emosi! Serahkan saja pada tangan Tuhan, Gendhis yakin kok mereka yang punya hati yang jahat pasti tidak akan hidup bahagia dan tenang. Sekarang Tante periksa dulu Anaya, Gendhis penasaran dengan kondisinya!" sahut Gendhis dengan tidak sabaran. Anaya pun diminta untuk berbaring di bed pasien. Dokter Sella memanggil perawatnya untuk membantu Anaya. Setelah gel dingin dioleskan perawat pada perut Anaya, Dokter Sella pun melakukan tugasnya. Dengan pelan Dokter Sella menggerakkan transduser pada permukaan perut Anaya. Matanya menatap fokus layar komputer yang tidak dimengerti oleh Gendhis dan Bu Darwin. Raut wajahnya berubah setelah beberapa menit ia menggerakkan transduser itu pada perut Anaya. Mimik wajah Dokter Sella yang berubah juga dilihat oleh Gendhis dan Bu Darwin. Anaya sudah berkeringat dingin karena sangat takut dengan apa yang ia pikirkan. "Kenapa Tan? Apa keadaan Anaya sangat buruk? Bagaimana dengan kondisi rahimnya?" cerca Gendhis dengan tidak sabaran. Dokter Sella menghela napasnya sejenak sebelum menjawab pertanyaan istri keponakannya. "Tidak hanya buruk, tetapi benar-benar buruk! Akibat mengkonsumsi jamu selama hampir dua tahun membuat rahim Anaya tidak baik-baik saja. Ada gumpalan yang jika tidak diangkat akan menjadi bibit kanker, tidak hanya itu saja, kandungan dari bahan jamu yang di konsumsi membuat sel telurnya mengecil dari ukuran normal! Ini sungguh buruk jika tidak di tangani dengan tepat!" jawab Dokter Sella dengan wajah sendu. Duarr... Hancur sudah pertahanan Anaya saat mendengar apa yang dikatakan Dokter Sella. Ia tak kuasa menahan tangisnya sehingga ia menangis tersedu-sedu dengan menyentuh perutnya. "Astaghfirullah," lirih Gendhis dan Bu Darwin secara bersamaan dengan wajah syok. Bu Darwin langsung mendekati bed pasien dan membawa Anaya ke dalam pelukannya. Tangisan Anaya semakin keras saat dalam pelukan Bu Darwin. Gendhis juga ikutan menangis dan menatap Anaya dengan tatapan kasihan. Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah nasib yang dialami Anaya saat ini. Fakta yang menyakitkan pada rahimnya membuat Anaya berada di titik terendah dalam hidupnya. Tanpa sengaja tahu jika Ibu mertuanya memberikan jamu agar ia tidak hamil, dan sekarang kondisi rahimnya juga bermasalah akibat jamu tersebut benar-benar membuat hati Anaya bagaikan dicabik-cabik tanpa sisa. "Dokter, a-apa saya tidak akan pernah bisa memiliki anak dari rahim saya?" tanya Anaya dengan suara serak dan bahu naik turun. "Bisa, tentu saja bisa! Hanya saja kita harus melakukan pengobatan yang tidak boleh putus-putus agar berhasil! Selalu berpikiran positif dan jangan lupa libatkan Tuhan di setiap usaha kita! Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak. Sekarang yang harus kita lakukan adalah mengangkat gumpalan yang ada di rahimmu dengan operasi, baru setelah itu kita mengobati sel telur mu agar kembali ke ukuran normal!" jawab Dokter Sella dengan lembut. "Saya mau operasi sekarang, Dok!" Bersambung...Puk! "Astagfirullah hal azim!!" seru Gendis terkejut saat bahunya di pukul dari belakang. "Ya ampun, kenapa pada kaget gitu? Mama kan gak kuat pukul bahu kamu," ucap Bu Darwin cemberut dengan ekspresi putrinya. "Ya, jelas aja kaget Mama! Akunya lagi liatin orang yang mirip Anaya sebelum Mama kagetin aku," sahut Gendis masih memegang dadanya. "Loh, dimana Anaya nya? Kok Mama gak lihat? Masa Anaya gak sapa Mama dulu?" cerca Bu Darwin celingak-celinguk lalu memasang wajah kecewa. "Ma, Gendis kan bilangnya orang yang mirip Anaya? Bukan Anaya nya langsung?" jawab Gendis menjelaskan agar Mamanya gak salah paham. "Owalah, orang yang mirip Anaya. Mama kirain beneran Anaya, tapi memang mirip banget ya?" ucap Bu Darwin sembari ikutan kepo. "Gak tau deh, Ma. Aku liatnya sekilas dari samping, terus ada dua orang yang ngikutinnya dari belakang. Mereka keluar dari arah praktek dokter spesialis kejiwaan yang ada di lorong itu? Di lorong itu kan hanya ada praktek dokter spesialis kejiwa
Anaya menjemput Roxy ke ruangan Dokter Gwen setelah menunggu selama satu jam di taman. Naren dengan setia mengikuti dari belakang untuk menjaga sang Nyonya. "Nyonya Anaya, Dokter Gwen ingin bertemu Nyonya sebentar," panggil perawat saat Roxy keluar dari ruang praktek tersebut. "Naren, tolong temani Roxy menunggu di luar!" pinta Anaya pada pria itu setelah mengiyakan panggilan perawat. Pria itu mengangguk kecil, Anaya pun masuk ke ruang praktek Dokter Gwen bersama perawat yang memanggilnya tadi. "Nyonya Anaya," panggil Dokter Gwen begitu Anaya berjalan menuju kursi di depan mejanya dengan logat Jermannya. "Dokter Gwen, apa ada yang ingin Anda sampaikan kepada saya?" tanya Anaya dengan bahasa Jerman yang fasih. "Saya harap pertanyaan saya tidak menyinggung Nyonya Anaya. Apa selama ini Nona Summer hidup sendiri tanpa pengawasan keluarga atau orang dewasa?" jawab Dokter Gwen sedikit sungkan lalu mulai bertanya pada Anaya. "Apa terjadi sesuatu pada anak itu, Dokter?" t
Dengan perut buncitnya yang sudah begitu nampak, Amira berjalan mendekati Bu Yati dengan wajah tidak percaya. Baginya ini mimpi yang selama ini ia impikan dan ia mulai pesimis jika Anaya tidak mau melepaskan Raka semudah ini. "Ma, ini bukan prank kan? Mereka benar-benar sudah bercerai?" tanya Amira lagi yang tidak mampu mengungkapkan kebahagiaannya. "Mereka memang sudah bercerai, aku tidak sengaja mengetahuinya seminggu yang lalu. Tapi sejak saat itu Raka tiba-tiba pergi dari rumah sakit saat aku akan membawanya pulang ke rumah. Aku sudah mencari ke rumah sekretaris nya tetapi tetap tidak menemukan Raka, aku takut Raka kenapa-napa di luaran sana," jawab Bu Yati sambil menangis terisak dengan menunduk. "Tidak kusangka anak laki-laki Nyonya bisa bercerai secepat itu tak lama sadar dari komanya? Apakah anda tidak sedang membual dan menarik simpati kami?" cibir Tuan Mahatma tidak mempercayai perceraian Raka. Baginya sungguh mustahil bisa bercerai secepat itu jika orang-orang y
Anaya mendongak saat mendengar suara yang ia kenal menghampirinya dengan wajah tanpa dosa. Anaya menatap tidak suka saat Raka bertindak seolah-olah mereka masih bersama. Raka yang terlalu senang bisa bertemu dengan Anaya tidak menghiraukan tatapan tidak suka Anaya padanya. "Mas, apa mungkin kamu belum terima akta cerai dari pengadilan?" tanya Anaya ketus. Pertanyaan Anaya membangkitkan kembali kesadaran Raka yang menghujam jantungnya seketika itu juga. Rasa sakit dan kecewa akan tindakan Anaya kembali muncul menyiratkan aroma permusuhan yang kental di mata pria itu. "Kenapa kamu berubah, Anaya? Kemana perempuan lembut dan hangat yang dulu selalu membuatku bahagia itu? Apakah karena laki-laki ini?" tuduh Raka dengan menatap tajam Anaya dan Naren secara bergantian. Anaya mengerutkan keningnya mendengar tuduhan tidak berdasar Raka padanya. Matanya melihat suasana di sekitar mereka karena ia tidak mau membuat keributan di rumah sakit. "Anaya yang dulu sudah lama mati! Tud
Anaya menemani Roxy menjalani terapi di rumah sakit milik Liam pada pagi ini. Naren ditugaskan untuk mengantarkan keduanya oleh Liam, karena pagi ini pria itu akan bertemu klien dari Kesultanan Brunei. "Hati-hati bawa mobilnya, Naren! Saya tidak mau ada satu lecet di tubuh Ibu anak-anak saya termasuk pada Anne," pesan Liam dengan menatap tajam asisten pribadinya itu. "Baik, Sir. Saya akan menjaga Nyonya dan Nona muda dengan nyawa saya," jawab Naren dengan patuh. Liam pergi setelah berpamitan pada Anaya, Anaya pun juga pergi dengan Roxy tak lama setelah Liam. Di Mansion ini pelayan yang bekerja keluar masuk semuanya perempuan, hanya sopir dan penjaga yang berjenis kelamin laki-laki bekerja di bagian luar Mansion. Roxy masih merasa cemas dan berkeringat dingin jika bertemu laki-laki yang tidak terlalu ia kenal selain Liam, Naren dan Jupri sopir yang biasa mengantar Anaya setiap mau pergi. Karena itulah Liam meminta Roxy untuk fokus mengobati trauma dan takutnya terhadap l
Liam mengendarai mobil nya bak pembalap profesional dari kantor menuju Mansion. Beberapa menit yang lalu, ia dikabarkan orang-orang yang dipekerjakan oleh Naren untuk menjaga Anaya di luar secara diam-diam. Jantung pria matang itu berdebar kencang begitu mendapatkan laporan tersebut. Tanpa menunggu lama-lama, ia langsung berlari keluar dari lantai tiga lima menggunakan lift dan mengendarai mobil sendiri tanpa sopir. Ckiiittt.... Suara decitan ban mobil dengan aspal di halaman Mansion terdengar nyaring begitu Liam memberhentikan mobil itu. "Dimana Nyonya kalian?" tanya Liam datar pada pelayan yang ia jumpai. "Nyonya ada di ruang santai, Tuan," jawab pelayan itu dengan menunduk. Liam langsung berlari menuju ruangan santai yang ada di lantai dasar sambil membuka kancing kemeja bagian bawah leher, serta menggulung tangan baju hingga hampir ke siku. "Sweetheart," panggil Liam dengan penampilan berantakan mendekati Anaya dan Rozy yang sedang menonton kartun. Ia langsu