Bu Yati yang terkejut mendengar suara dari luar rumah langsung mematikan ponselnya. Ia membuka pintu dan mencari siapa yang memecahkan pot bunga hingga hancur.
Meong... Meong... Seekor kucing hitam keluar dari salah satu pot bunga dan berlari ke jalan. "Ck, kucing itu membuatku kaget saja! Aku kira ada orang tadi yang dengar obrolan aku dengan Amira!" sungut wanita paruh baya itu dengan kesal. Ia lalu menutup pintu dan menguncinya. Ayana yang bersembunyi tak kuasa menahan laju air matanya. Perasaannya saat ini sungguh hancur berkeping-keping. Dengan langkah gontai kakinya melangkah pergi dari rumah itu menuju motor yang ia parkirkan di depan lahan kosong tak jauh dari rumahnya. Ayana menaiki motornya dengan pikiran kosong, sehingga ia melaju tidak tentu arah alias kearah yang berbeda dari tempat ia mengajar. Sementara itu, Daisy yang menunggu kedatangan Anaya di sekolah menjadi gelisah tidak menentu. "Anaya kok jam segini belum datang sih? Padahal dia yang paling duluan nyampe ke sekolah. Kenapa hari ini dia terlambat? Apa jangan-jangan tuh mak Lampir buat ulah lagi hingga Anaya terlambat ke sekolah," ucap Daisy dengan nada cemas. Ia lalu merogoh ponselnya dan menekan nomor Anaya namun lagi-lagi ia kecewa karena yang jawab operator. "Ya ampun, ponselnya pun nyambung tapi tidak diangkat!" keluh Daisy lagi dengan gusar. Daisy yang cemas dan khawatir mondar-mandir di depan pintu ruangan guru. Vera dan Anita yang baru saja datang menjadi heran dan menghampiri Daisy. "Sy, kenapa muka kamu cemas begitu? Apa terjadi sesuatu dengan Laluna?" tanya Vera dengan kedua alis yang bertaut. "Iya, apa Laluna sakit?" tambah Anita ikutan bertanya. "Duh, aku khawatir bukan karena Laluna guys! Laluna mah baik-baik aja di rumah. Aku khawatir karena Anaya jam segini belum juga nyampe di sekolah. Mana ponselnya tersambung tapi gak dijawab, padahal tadi jam 6.30 dia chat katanya udah di jalan. Aku takut terjadi sesuatu dengan Anaya," jawab Daisy dengan menggigit jempolnya. Saat ia cemas, bingung, dan panik, Daisy selalu menggigit jempolnya guna menenangkan hatinya. Mendengar perkataan Daisy kontan membuat kedua wanita itu ikutan cemas. Vera langsung menghubungi nomor Anaya, dan lagi-lagi perkataan Daisy memang benar. "Ya Tuhan, kamu kemana sih, Nay? Gak pernah-pernah nya kamu kayak gini?" gumam Anita cemas. Karena para siswa TK sudah pada datang, ketiga wanita itu terpaksa menomorduakan tentang Anaya yang belum juga datang. Karena tidak fokus dalam berkendara, motor Anaya ditabrak mobil dari belakang sehingga motornya terperosok masuk ke semak-semak. "Hei, kalau mau mati jangan di sini, terjun saja sana ke sungai! Menyusahkan saja!" teriak pengendara mobil pada Anaya. Anaya yang mendengar kata menyusahkan dari orang itu langsung menangis keras hingga bahunya naik turun. "Opa, Oma, Elea mau ikut kalian! Elea sudah tidak sanggup lagi di sini! Elea hancur, Opa, Oma! Mereka semuanya jahat!" raung Anaya di semak-semak. Tangisannya membuat salah satu pengendara mobil yang lewat berhenti. "Astaghfirullah, Kak! Kakak gak papa? Apa ada yang luka?" pekik seorang gadis cantik keluar dari mobilnya dengan panik. Anaya hanya menangis dengan memperlihatkan luka baret pada lengan tangannya, dan juga pada kakinya. Gadis itu menatap iba pada Anaya, ia mengira Anaya menangis karena luka pada tubuhnya. Gadis itu meminta tolong sopirnya untuk mengeluarkan motor Anaya dari semak-semak. Dengan lembut gadis itu membantu Anaya berdiri dan keluar dari semak-semak tersebut meskipun beberapa kali terdengar rintihan Anaya karena kakinya sakit saat berjalan. "Luka kakak kita obati dulu, ya? Aku takut nanti infeksi walaupun lukanya gak besar," ucap gadis itu dengan tulus. Anaya kembali menangis melihat ketulusan gadis itu untuk menolongnya. Gadis itu menjadi bingung karena Anaya kembali menangis, padahal tadi ia sudah diam. "Duh, gimana ini? Kakak menangis karena apa? Apa aku menyinggung perasaan kakak?" tanya gadis itu dengan bingung. Anaya menggeleng pelan sehingga gadis itu menghela napas lega. "Pak Ujang, tolong telpon Pak Eko agar mengambil motor kakak ini dan langsung bawa ke bengkel! Kita akan ke klinik begitu Pak Eko datang!" ucap gadis itu pada sopirnya. Sang sopir pun mengangguk dan melakukan perintah Nona Mudanya. Gadis itu membawa Anaya masuk ke dalam mobilnya sambil menunggu salah satu penjaga di rumahnya datang untuk mengambil motor Anaya. Tidak berapa lama kemudian, seorang pria dewasa dengan kisaran usia kepala empat datang menggunakan ojek. "Pak Eko, tolong bawa motor kakak ini ke bengkel langganan aku ya? Kuncinya ada di motor! Katakan padanya agar tidak lama-lama benerin tuh motor!" ucap gadis itu pada pria yang ia panggil Pak Eko. "Beres, Non!" jawab Pak Eko dengan memberikan jempolnya. Gadis itu pun membawa Anaya ke sebuah klinik untuk mengobati luka Anaya. "Luka pada fisik bisa sembuh jika diobati, tetapi luka hati dan batin tidak akan bisa diobati dengan obat apapun," lirih Anaya dengan mata berkaca-kaca. Sungguh ia menjadi cengeng karena begitu terpukul jika orang yang menghancurkan hidupnya adalah mertuanya sendiri. Teringat hal itu, Anaya kembali menangis saat lukanya diobati perawat sehingga mereka mengira jika luka tersebut benar-benar menyakitkan. "Tolong berikan alamat kakak biar aku antar pulang," pinta gadis itu pada Anaya setelah lukanya diobati. Mendengar kata pulang membuat hati Anaya sakit dan ia menggeleng pelan karena tidak ingin pulang untuk saat ini. Ia memberikan alamat Bu Darwin pada gadis yang bernama shelomita. Hanya rumah itu yang terpikirkan olehnya saat ini. "Terimakasih sudah menolongku dan mengantarku kesini! Sekali lagi terimakasih!" ucap Anaya sebelum turun dengan suara serak. "Iya Kak, Sama-sama! Kalau kakak butuh bantuan hubungi aja Mita ya," sahut gadis itu dengan tersenyum lebar. Anaya mengangguk dan keluar dari mobil tersebut. Ia melambaikan tangan saat mobil tersebut bergerak meninggalkan rumah. Anaya melangkahkan kakinya dengan tubuh lelah fisik dan mental. Ia memencet bel dan begitu pintu terbuka, Anaya kembali menangis memeluk erat tubuh Bu Darwin. "Astaghfirullah Anaya! Kamu kemana aja seharian ini? Kami semua khawatir sama kamu! Ponselmu menyambung tapi tidak ada dijawab, kamu membuat Bunda cemas," cerocos Bu Darwin dengan nada benar-benar khawatir. Tangisan Anaya semakin keras mendengar kekhawatiran Bu Darwin padanya. Karena mereka masih di depan pintu, Bu Darwin membawa Anaya ke dalam rumah tanpa melepaskan pelukannya. Sementara itu, Raka pulang ke rumahnya dengan perasaan resah dan gelisah. Pasalnya tadi siang Mamanya memberitahu jika istrinya Anaya belum pulang ke rumah. "Kamu kemana sih, Dek! Gak pernah-pernah kamu pulang telat dan gak ngabarin Mas sama sekali! Harus kemana lagi Mas mencari dirimu, Anaya!" gumam Raka dengan mengacak kasar rambutnya. Bersambung...Raka termenung dengan pikiran yang bercabang antara rela dan tidak rela membiarkan Anaya diluar sana tanpa dirinya. Dua tahun hidup bersama membuat Raka merasa jika ini permintaan pertama istrinya selama mereka menikah. Hal itu menjadi salah satu alasan pria itu terpaksa memberikan izin Anaya untuk pergi menenangkan diri sejenak dari rutinitasnya selama ini. "Hah, semoga saja setelah kembalinya kamu dari menenangkan diri, kehidupan kita menjadi lebih baik lagi. Tidak peduli kita punya anak sendiri ataupun tidak, aku hanya ingin hidup bersamamu, Anaya! Yah, meskipun ada sedikit rasa ingin memiliki anak sendiri bersamamu, tetapi jika kau menjauh semuanya tidak ada artinya!" gumam Raka dengan lirih sembari terus menatap wajah lelap Anaya dari kejauhan. Pria itu memang sangat mencintai Anaya, tetapi tuntutan dan keinginan ibunya terkadang membuat ia seringkali menjadi berat sebelah membela keduanya, walaupun terkadang ia lebih memilih membela Anaya jika dihadapan ibunya. Keesokan pagin
Anaya masih tertidur lelap saat Raka kembali ke rumah sakit dengan membawa baju ganti sang istri. Ia membetulkan selimut sang istri yang melorot sambil melabuhkan kecupan hangat di keningnya. "Cepat sembuh, sayang! Mas sedih lihat kamu lemas begini," bisik Raka sebelum beranjak menuju sofa yang ada di kamar rawat tersebut. Raka memutuskan untuk mengerjakan pekerjaannya di rumah sakit sambil menunggu istrinya. Baru beberapa menit fokus berkutat dengan laptopnya, ponsel Raka berbunyi nyaring dan pria itu menghela napas panjang saat melihat nama sang Mama yang tertera di layar. Ia menghidupkan mode senyap agar tidak mengganggu tidur Anaya, tetapi ganguan itu tidak kunjung reda karena ponselnya terus bergetar. Di rumahnya, Bu Yati mencak-mencak karena sedari tadi panggilannya tidak dijawab oleh sang anak. "Perempuan sialan! Pasti dia yang sengaja meminta Raka untuk tidak menjawab panggilanku!" umpat Bu Yati langsung menuduh sang menantu dengan muka merah padam. Pikiran buruk d
Dengan bantuan rencana Samudra dan Gendhis, mereka menghubungi Raka dan mengabarkan keberadaan Anaya yang dirawat di rumah sakit. Mereka sengaja mengabarkannya keesokan hari karena mempersiapkan kamar untuk Anaya di rumah sakit terlebih dahulu semalam. Anaya juga sudah dijadwalkan untuk melakukan operasi pada pagi hari jam delapan. Raka yang dikabarkan langsung pergi ke rumah sakit tanpa memberitahu Mamanya karena masih tidur. "Pak Raka, saya Samudra! Maaf karena kami baru bisa mengabari Anda!" panggil Samudra sembari meminta maaf pada Raka. "Tidak masalah, Pak Samudra! Saya mengerti karena istri saja sebatang kara, dan saya bersyukur Anda sekeluarga mau membantu istri saya yang bukan siapa-siapa kalian!" jawab Raka tidak mempermasalahkannya. Ia bersyukur ada yang menemukan istrinya saat pingsan. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak tahu kalau istrinya sedang sakit. "Mari, Pak, saya antar ke ruangan istrinya karena istri saya ada di sana!" ajak Samudra sembari berja
Raka tidak berhasil menemukan istrinya yang tidak kunjung pulang. Ia bahkan tidak bisa mencarinya ke sekolah tempat istrinya bekerja karena hari sudah malam. Saking sibuk dengan dunianya, Raka juga tidak tahu apakah istrinya punya teman dekat apa tidak. "Gimana, ketemu? Bagus deh kalau dia kabur. Jadi Mama bisa carikan kamu istri yang subur, yang bisa ngasih Mama cucu!" ucap Bu Yati dengan pedas. Raka tidak menjawab ucapan Mamanya yang selalu menyakitkan hati. Ia lebih memilih memasuki kamarnya karena tubuh dan pikirannya saat ini benar-benar kacau. Sementara itu, Bu Darwin dan Gendhis anaknya menjadi syok dan geram mendengar cerita Anaya yang menceritakan apa yang ia alami hingga down seperti ini. "Mertua kamu benar-benar gila, Nay! Bisa-bisanya dia melakukan hal yang jahat seperti itu pada menantunya sendiri! Ini sudah termasuk tindakan kriminal, Mbak gak nyangka ada orang yang mempunyai pikiran jahat dan licik seperti mertuamu!" ucap Gendhis dengan sangat geram. "Ken
Bu Yati yang terkejut mendengar suara dari luar rumah langsung mematikan ponselnya. Ia membuka pintu dan mencari siapa yang memecahkan pot bunga hingga hancur. Meong... Meong... Seekor kucing hitam keluar dari salah satu pot bunga dan berlari ke jalan. "Ck, kucing itu membuatku kaget saja! Aku kira ada orang tadi yang dengar obrolan aku dengan Amira!" sungut wanita paruh baya itu dengan kesal. Ia lalu menutup pintu dan menguncinya. Ayana yang bersembunyi tak kuasa menahan laju air matanya. Perasaannya saat ini sungguh hancur berkeping-keping. Dengan langkah gontai kakinya melangkah pergi dari rumah itu menuju motor yang ia parkirkan di depan lahan kosong tak jauh dari rumahnya. Ayana menaiki motornya dengan pikiran kosong, sehingga ia melaju tidak tentu arah alias kearah yang berbeda dari tempat ia mengajar. Sementara itu, Daisy yang menunggu kedatangan Anaya di sekolah menjadi gelisah tidak menentu. "Anaya kok jam segini belum datang sih? Padahal dia yang pali
Anaya langsung menutup pintu mobil dan kembali masuk rumah dengan membawa tas kerja Raka dan lipstik yang ia genggam di tangan kanan. Baru mau melangkahkan kaki menuju kamar mereka, sayup-sayup Anaya mendengar pembicaraan Raka dengan ibunya di dapur. "Ma, mau sampai kapan Mama bersikap begini sama Anaya?" tanya Raka dengan wajah frustasi. "Sampai kamu memberikan Mama cucu!" jawab Bu Yati santai. "Ya ampun Ma, cucu lagi yang dibicarakan! Kami baru dua tahun Ma menikah, bukan puluhan tahun sampai Mama bersikap begini! Masih banyak di luaran sana yang belum punya anak hingga sepuluh tahun pernikahan santai-santai aja tuh, kenapa Mama malah yang misuh-misuh seperti itu?" ucap Raka tidak habis pikir. "Itu orang lain Raka, bukan Mama! Mama saja dulu tiga bulan nikah langsung Mama hamil kamu, jadi wajar Mama menuntut cucu pada Anaya yang sudah menikah dua tahun masih belum hamil juga!" sahut Bu Yati tidak mau kalah. Raka sampai menghela napasnya dengan kasar karena tidak tahu lag