LOGINRoxy dan Gladys ikut bergabung bersama Lena, Anaya dan Liam makan siang dengan wajah tersenyum bahagia. Terlebih lagi Lena yang selalu mengambilkan Anaya lauk-pauk yang ternyata sama kesukaannya dengan mendiang ayah kandung Anaya. "Mi, Mami juga ikut makan? Jangan terus ngambilin untuk Naya?" tegur Anaya sambil mengambilkan lauk untuk Lena dan menaruhnya di piring sang Mami. "Mami terlalu bahagia, Sayang? Mami hanya ingin menebus masa-masa kecilmu dulu yang seharusnya dilimpahi kasih sayang Mami," sahut Lena sambil tersenyum dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Liam meletakkan sendoknya lalu meminum seteguk air putih sambil berkata, "Mi, semuanya sudah berlalu dan kita tidak bisa mengulang waktu karena itu sudah takdir yang harus kita jalani atas kehendak Tuhan. Mami bisa menebus kasih sayang Mami dengan cucu-cucu kembar Mami nanti! Lagi pula Mami masih punya banyak waktu dan kesempatan buat melimpahkan kasih sayang Mami sama Naya." "Kamu benar, Liam! Mami tidak akan mele
"Apa ini benar?" tanya Lena seraya menatap Liam dan Anaya dengan jantung berdebar-debar. Anaya duduk di samping Liam dengan jantung dagdigdug sambil menggenggam tangannya sendiri yang mulai berkeringat dingin. "Aku tidak pernah mempermainkan hidup seseorang, Tante! Dan bukti di kertas itu memang benar adanya! Anaya adalah anak yang Tante lahirkan dua puluh tujuh tahun yang lalu, yang di buang oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan memisahkan kalian berdua sekian lamanya!" jawab Liam dengan ekspresi muka yang serius. Tangis Lena pecah begitu Liam selesai bicara. Ia meraung-raung sambil memukuli dadanya sehingga tubuhnya melorot dari atas sofa ke lantai. Anaya ikut menangis melihat reaksi Ibu kandungnya yang begitu dramatis saat mendengar kenyataan jika anak kandungnya masih hidup. "Sayangku! Anakku sayang! Maafkan Mami yang tidak bisa mempertahankan mu saat kau lahir! Maafkan kekurangan Mamimu ini, Sayang? Maafkan Mami!" ucap Lena saat Anaya mendatangi nya dan lang
Anaya terdiam karena teringat masa lalu saat masih menjadi menantu wanita itu. "Sweetheart, apa kau ingin melayat kesana? Aku akan menemanimu jika kau ingin ke sana," tanya Liam sembari tangannya merengkuh bahu sang istri. Anaya mendongak menatap wajah tampan suaminya yang semakin hari semakin enak dipandang. "Daddy, masa lalu biarkan menjadi masa lalu! Aku ikut berduka cita karena hal kemanusiaan, tapi aku tidak bisa pergi ke sana karena aku masih mengingat perlakuan jahat dia padaku dulu. Aku memaafkannya, tapi aku tidak pernah lupa jika aku hampir mati karena kejahatannya padaku! Biarkan Tuhan yang membalasnya karena setiap perbuatan pasti akan mendapatkan balasannya! Aku hanya manusia biasa yang tidak akan pernah lupa bagaimana mereka menjahatiku," jawab Anaya dengan mata berkaca-kaca. Liam membawa tubuh Anaya kedalam pelukannya. Ia mendukung sepenuhnya apa yang dilakukan sang istri. Bagaimanapun juga orang-orang itu sudah menyakiti istrinya dengan begitu dalam. "Ji
Anaya meremas kedua tangannya duduk di sofa dengan gelisah dan tidak sabaran. Begitu mendengar suara langkah kaki mendekat, Anaya bangkit dari duduknya dengan lincah. "Tetap di sana, Sweetheart!" teriak Liam yang mana langsung membuat Anaya tidak jadi melangkahkan kakinya. Liam yang menerima laporan dari Gladys akan sikap Anaya yang mondar-mandir dengan perut besarnya, menjadi khawatir dan ia langsung mencegahnya dengan cepat begitu melihat dari kejauhan gelagat sang istri. Anaya yang melihat wajah cemas dan khawatir suaminya langsung mengerti kenapa suaminya berteriak begitu. "Sir, maafkan saya yang tidak bisa mencegah Madam untuk tidak terlalu aktif," ucap Gladys dengan muka menyesal berdiri di belakang sofa. Liam hanya mengangguk kecil dan memandang isterinya dengan penuh kasih sayang, dimana muka sang istri cemberut dengan mulut manyun. Pria tampan itu terkekeh dalam hatinya melihat muka istrinya yang menggemaskan jika sedang cemberut atau merajuk. Pipinya yang tembe
Sugandi membawa buku tabungan berupa sisa uang yang menjadi milik Raka ke kediaman pria itu. Ibu Yati sudah sebulan lebih tergolek lemah di tempat tidur karena tubuhnya langsung drop akan cobaan yang bertubi-tubi ia alami. Andi masih berbaik hati menyewa perawat untuk merawat wanita paruh baya itu di rumahnya menggunakan uang milik Raka yang tersisa. "Nyonya, ini sisa uang yang dimiliki Pak Raka dari hasil akuisisi perusahaan setelah membayar semua hutang-hutang serta gaji karyawan! Setidaknya uang ini cukup untuk beberapa tahun ke depan jika digunakan dengan baik. Mohon Nyonya terima," ucap Andi sambil menyodorkan buku tabungan berwarna biru tua itu pada Yati. "Bantu aku duduk!" pinta Yati pada perawat nya yang berdiri di dekat tempat tidur. Perawat yang bernama Eli dengan patuh membantu Yati untuk duduk bersandar di kepala tempat tidur. "Andi, aku tidak bisa menerimanya! Raka masih belum ketemu sampai sekarang, entah ia masih hidup atau sedang dalam masalah sehingga tidak
Lena melamun sambil memandangi kebun sayur yang mulai tumbuh daun kecil dari kejauhan. Ia teringat bola mata Anaya dan senyum nya yang begitu mirip dengan laki-laki yang sangat ia cintai. Tiba-tiba saja ia merasakan perasaan rindu yang besar pada wanita itu, seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu. Pasalnya baru beberapa hari yang lalu mereka bertemu dan berkenalan. Akan tetapi bagi Lena rasanya mereka sudah mengenal lama. Wanita paruh baya itu mendesah kecil sembari menarik napasnya dalam-dalam. Ia bahkan tidak menyadari kedatangan Mariana yang berkunjung bersama putri semata wayangnya yang menginjak usia remaja. "Kakak, apa kau mendengarkan panggilanku?" tanya Ana yang berdiri di ambang pintu samping. Tidak ada sahutan dari Lena yang masih termenung memandang kearah kebunnya. Ana berjalan mendekat dengan sang anak mengikuti di belakang, lalu menyentuh lembut bahu sang Kakak. "Astaga, Ya ampun!" pekik Lena dengan raut muka terkejut sembari menoleh ke arah tangan yang menyent







