Dengan bantuan rencana Samudra dan Gendhis, mereka menghubungi Raka dan mengabarkan keberadaan Anaya yang dirawat di rumah sakit.
Mereka sengaja mengabarkannya keesokan hari karena mempersiapkan kamar untuk Anaya di rumah sakit terlebih dahulu semalam. Anaya juga sudah dijadwalkan untuk melakukan operasi pada pagi hari jam delapan. Raka yang dikabarkan langsung pergi ke rumah sakit tanpa memberitahu Mamanya karena masih tidur. "Pak Raka, saya Samudra! Maaf karena kami baru bisa mengabari Anda!" panggil Samudra sembari meminta maaf pada Raka. "Tidak masalah, Pak Samudra! Saya mengerti karena istri saja sebatang kara, dan saya bersyukur Anda sekeluarga mau membantu istri saya yang bukan siapa-siapa kalian!" jawab Raka tidak mempermasalahkannya. Ia bersyukur ada yang menemukan istrinya saat pingsan. Ia menyalahkan dirinya sendiri karena tidak tahu kalau istrinya sedang sakit. "Mari, Pak, saya antar ke ruangan istrinya karena istri saya ada di sana!" ajak Samudra sembari berjalan menuju lift. Raka mengikutinya dari belakang dan mereka menaiki lift menuju lantai tiga ruangan VVIP. Begitu memasuki kamar rawat, hati Raka terenyuh saat melihat wajah pucat dan sembab istrinya. Ia sedih, pasti istrinya syok dan menangis mengetahui jika ia harus di operasi. "Sayang," "Mas," Ucap mereka berdua barengan dengan wajah sama-sama sedih. Raka sedih karena mengira sang istri syok tahu dirinya sakit. Sedangkan Anaya sedih karena teringat perbuatan Ibu mertuanya yang membuat ia seperti ini. Terbesit dendam di hati Anaya, namun karena rasa cintanya pada Raka, ia berusaha menghilangkan perasaan itu. "Maafkan Mas yang tidak tahu tentang penyakitmu! Mas benar-benar tidak berguna sebagai seorang suami!" ucap Raka dengan wajah benar-benar menyesal. "Tidak apa-apa, Mas! Aku juga tidak tahu jika punya penyakit ini. Aku kira selama ini aku baik-baik saja, tetapi nyatanya tidak!" sahut Anaya dengan wajah sendu. Melihat Anaya sudah ada yang menjaga, Samudra dan Gendhis pun pamit pulang. Raka memutuskan untuk menunggu Anaya saat istrinya dioperasi nanti. Namun karena jam operasi masih dua jam lagi, Raka memutuskan untuk pulang dahulu karena ia belum mandi. "Mas pulang dulu ya, sayang! Mas mau mandi dan akan bawa baju-baju kamu ke sini!" pamit Raka dengan memberikan kecupan di kening Anaya. Anaya mengangguk kecil dan kembali memejamkan mata begitu pintu ruangannya tertutup. "Darimana saja kamu, Raka! Subuh-subuh sudah pergi kelayapan!" tegur Bu Yati saat melihat Raka memasuki rumah. Ia terbangun saat mendengar suara mobil Raka keluar dari pekarangan rumah. Hal itu membuat wanita paruh baya itu heran, kemana anaknya pagi-pagi buta. "Nanti Raka jelasin Ma, Raka mau mandi dulu!" jawab Raka dengan melewati Mamanya. Bu Yati sungguh kesal dengan sikap Raka yang semakin sulit untuk diatur. Lagi-lagi ia menyalahkan Anaya atas sikap Raka padanya. "Dasar perempuan sial! Gara-gara menikah dengannya Raka berubah seperti ini! Awas kau Anaya, akan aku buat hidupmu menderita menjadi menantuku jika kau masih bersikeras untuk tetap menjadi istrinya Raka!" maki Bu Yati dengan hati diselimuti niat buruk. Ia pun pergi ke dapur untuk membuat sarapan, meskipun hatinya kesal dan marah, ia tidak mungkin membiarkan anak kesayangannya kelaparan. Raka keluar kamar dengan pakaian santai, dan membawa travel bag berisi perlengkapan Anaya. "Mau kemana kamu dengan penampilan yang seperti itu? Memangnya kamu gak kerja?" tanya Bu Yati dengan tatapan menyelidik. "Aku mengajukan cuti beberapa hari ini, Ma! Anaya sakit dan akan dioperasi pagi ini, jadi aku akan menemaninya beberapa hari selama aku cuti!" jawab Raka sembari menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. "Oh, jadi sudah ketemu perempuan itu? Cih, sudah mandul, penyakitan lagi! Jadi karena itu kamu keluar pagi-pagi buta! Dasar menantu tidak berguna, menyusahkan saja!" omel Bu Yati tanpa ada perasaan kasihan sedikitpun. Raka geleng-geleng mendengar omelan kasar sang Mama pada istrinya. Tidak ingin bertengkar dengan Mamanya, Raka diam saja dan tetap melanjutkan makannya. Ia langsung pamit begitu selesai sarapan tanpa menghiraukan panggilan Mamanya yang selalu membuat telinganya sakit. "Dasar anak kurang ajar! Bisa-bisanya bersikap seperti itu pada perempuan yang telah melahirkannya ke dunia ini!" umpat Bu Yati sambil menahan kesal. Tiba-tiba ia tersenyum menyeringai melihat ada kesempatan bagus. Ia langsung mengutak-atik ponselnya menghubungi seseorang dengan tersenyum licik. Begitu selesai berbincang dengan seseorang yang ia panggil tadi, Bu Yati cepat-cepat membersihkan diri dan bersiap karena ia ada janji temu dengan seseorang di sebuah kafe. "Sebentar lagi aku akan bisa menyingkirkan perempuan sialan itu dari sisi Raka!" gumamnya dengan tersenyum miring. Satu jam kemudian, Bu Yati sudah rapi dengan dandanan yang melebihi umurnya. Tidak henti-hentinya senyum tersungging dari wajahnya yang berseri-seri membayangkan Anaya akan tersingkir dari kedudukannya menjadi istri Raka. "Amira/Tante!" seru Bu Yati dan seorang gadis dengan penampilan seksi di sebuah kafe. Mereka berdua cipika-cipiki dan duduk di meja yang sudah gadis itu reservasi. "Amira, ini kesempatan bagus untuk kita melakukan rencana yang selama ini kita bicarakan! Perempuan mandul itu lagi sakit dan hari ini dia akan dioperasi! Raka sekarang ada di rumah sakit menunggui perempuan sialan itu! Kita harus bergerak cepat selagi perempuan itu tidak bisa ngapa-ngapain!" ucap Bu Yati penuh semangat untuk menyingkirkan Anaya. "Benarkah itu Tan? Kalau begitu, rencana kita akan aku percepat selagi perempuan itu sakit! Aku sudah tidak sabar ingin menjadi istri Raka dan menantu Tante!" sahut perempuan itu dengan mata berbinar. "Tante juga tidak sabar pengen jadi mertua perempuan cantik dan modis seperti kamu!" puji Bu Yati yang membuat Amira semakin besar kepala. Amira Putri Kurniawan, teman masa kecilnya Raka saat mereka tinggal di Bandung. Perempuan itu sedari kecil sudah menaruh hati pada Raka, namun karena ia mengira cintanya hanya cinta monyet saja, perempuan itu mengabaikannya hingga mereka lulus SMA. Tamat kuliah mereka dipertemukan lagi bekerja ditempat yang sama, dan perasaan cinta itu kembali lagi. Lagi-lagi Amira kecewa dan patah hati saat Raka menikah dengan perempuan lain yang ia temui saat mereka kuliah. Pertemuannya setahun lalu dengan ibunya Raka membuat Amira semakin senang karena ibunya Raka membenci Anaya menantunya. Ia semakin berambisi untuk memiliki Raka dan berusaha membuat laki-laki itu jatuh dalam pelukannya dengan bantuan ibunya Raka. "Kabari Tante saat kamu sudah siap dengan rencanamu, Tante akan melakukan bagian Tante untuk menjauhkan Raka dari perempuan itu pada hari tersebut!" ucap Bu Yati mengingatkan Amira. "Tenang saja, Tante! Semuanya sudah beres, tinggal pelaksanaan eksekusinya saja! Hahahaha, jadi tidak sabar untuk memiliki Raka!" jawab Amira dengan tertawa bahagia. Bersambung...Puk! "Astagfirullah hal azim!!" seru Gendis terkejut saat bahunya di pukul dari belakang. "Ya ampun, kenapa pada kaget gitu? Mama kan gak kuat pukul bahu kamu," ucap Bu Darwin cemberut dengan ekspresi putrinya. "Ya, jelas aja kaget Mama! Akunya lagi liatin orang yang mirip Anaya sebelum Mama kagetin aku," sahut Gendis masih memegang dadanya. "Loh, dimana Anaya nya? Kok Mama gak lihat? Masa Anaya gak sapa Mama dulu?" cerca Bu Darwin celingak-celinguk lalu memasang wajah kecewa. "Ma, Gendis kan bilangnya orang yang mirip Anaya? Bukan Anaya nya langsung?" jawab Gendis menjelaskan agar Mamanya gak salah paham. "Owalah, orang yang mirip Anaya. Mama kirain beneran Anaya, tapi memang mirip banget ya?" ucap Bu Darwin sembari ikutan kepo. "Gak tau deh, Ma. Aku liatnya sekilas dari samping, terus ada dua orang yang ngikutinnya dari belakang. Mereka keluar dari arah praktek dokter spesialis kejiwaan yang ada di lorong itu? Di lorong itu kan hanya ada praktek dokter spesialis kejiwa
Anaya menjemput Roxy ke ruangan Dokter Gwen setelah menunggu selama satu jam di taman. Naren dengan setia mengikuti dari belakang untuk menjaga sang Nyonya. "Nyonya Anaya, Dokter Gwen ingin bertemu Nyonya sebentar," panggil perawat saat Roxy keluar dari ruang praktek tersebut. "Naren, tolong temani Roxy menunggu di luar!" pinta Anaya pada pria itu setelah mengiyakan panggilan perawat. Pria itu mengangguk kecil, Anaya pun masuk ke ruang praktek Dokter Gwen bersama perawat yang memanggilnya tadi. "Nyonya Anaya," panggil Dokter Gwen begitu Anaya berjalan menuju kursi di depan mejanya dengan logat Jermannya. "Dokter Gwen, apa ada yang ingin Anda sampaikan kepada saya?" tanya Anaya dengan bahasa Jerman yang fasih. "Saya harap pertanyaan saya tidak menyinggung Nyonya Anaya. Apa selama ini Nona Summer hidup sendiri tanpa pengawasan keluarga atau orang dewasa?" jawab Dokter Gwen sedikit sungkan lalu mulai bertanya pada Anaya. "Apa terjadi sesuatu pada anak itu, Dokter?" t
Dengan perut buncitnya yang sudah begitu nampak, Amira berjalan mendekati Bu Yati dengan wajah tidak percaya. Baginya ini mimpi yang selama ini ia impikan dan ia mulai pesimis jika Anaya tidak mau melepaskan Raka semudah ini. "Ma, ini bukan prank kan? Mereka benar-benar sudah bercerai?" tanya Amira lagi yang tidak mampu mengungkapkan kebahagiaannya. "Mereka memang sudah bercerai, aku tidak sengaja mengetahuinya seminggu yang lalu. Tapi sejak saat itu Raka tiba-tiba pergi dari rumah sakit saat aku akan membawanya pulang ke rumah. Aku sudah mencari ke rumah sekretaris nya tetapi tetap tidak menemukan Raka, aku takut Raka kenapa-napa di luaran sana," jawab Bu Yati sambil menangis terisak dengan menunduk. "Tidak kusangka anak laki-laki Nyonya bisa bercerai secepat itu tak lama sadar dari komanya? Apakah anda tidak sedang membual dan menarik simpati kami?" cibir Tuan Mahatma tidak mempercayai perceraian Raka. Baginya sungguh mustahil bisa bercerai secepat itu jika orang-orang y
Anaya mendongak saat mendengar suara yang ia kenal menghampirinya dengan wajah tanpa dosa. Anaya menatap tidak suka saat Raka bertindak seolah-olah mereka masih bersama. Raka yang terlalu senang bisa bertemu dengan Anaya tidak menghiraukan tatapan tidak suka Anaya padanya. "Mas, apa mungkin kamu belum terima akta cerai dari pengadilan?" tanya Anaya ketus. Pertanyaan Anaya membangkitkan kembali kesadaran Raka yang menghujam jantungnya seketika itu juga. Rasa sakit dan kecewa akan tindakan Anaya kembali muncul menyiratkan aroma permusuhan yang kental di mata pria itu. "Kenapa kamu berubah, Anaya? Kemana perempuan lembut dan hangat yang dulu selalu membuatku bahagia itu? Apakah karena laki-laki ini?" tuduh Raka dengan menatap tajam Anaya dan Naren secara bergantian. Anaya mengerutkan keningnya mendengar tuduhan tidak berdasar Raka padanya. Matanya melihat suasana di sekitar mereka karena ia tidak mau membuat keributan di rumah sakit. "Anaya yang dulu sudah lama mati! Tud
Anaya menemani Roxy menjalani terapi di rumah sakit milik Liam pada pagi ini. Naren ditugaskan untuk mengantarkan keduanya oleh Liam, karena pagi ini pria itu akan bertemu klien dari Kesultanan Brunei. "Hati-hati bawa mobilnya, Naren! Saya tidak mau ada satu lecet di tubuh Ibu anak-anak saya termasuk pada Anne," pesan Liam dengan menatap tajam asisten pribadinya itu. "Baik, Sir. Saya akan menjaga Nyonya dan Nona muda dengan nyawa saya," jawab Naren dengan patuh. Liam pergi setelah berpamitan pada Anaya, Anaya pun juga pergi dengan Roxy tak lama setelah Liam. Di Mansion ini pelayan yang bekerja keluar masuk semuanya perempuan, hanya sopir dan penjaga yang berjenis kelamin laki-laki bekerja di bagian luar Mansion. Roxy masih merasa cemas dan berkeringat dingin jika bertemu laki-laki yang tidak terlalu ia kenal selain Liam, Naren dan Jupri sopir yang biasa mengantar Anaya setiap mau pergi. Karena itulah Liam meminta Roxy untuk fokus mengobati trauma dan takutnya terhadap l
Liam mengendarai mobil nya bak pembalap profesional dari kantor menuju Mansion. Beberapa menit yang lalu, ia dikabarkan orang-orang yang dipekerjakan oleh Naren untuk menjaga Anaya di luar secara diam-diam. Jantung pria matang itu berdebar kencang begitu mendapatkan laporan tersebut. Tanpa menunggu lama-lama, ia langsung berlari keluar dari lantai tiga lima menggunakan lift dan mengendarai mobil sendiri tanpa sopir. Ckiiittt.... Suara decitan ban mobil dengan aspal di halaman Mansion terdengar nyaring begitu Liam memberhentikan mobil itu. "Dimana Nyonya kalian?" tanya Liam datar pada pelayan yang ia jumpai. "Nyonya ada di ruang santai, Tuan," jawab pelayan itu dengan menunduk. Liam langsung berlari menuju ruangan santai yang ada di lantai dasar sambil membuka kancing kemeja bagian bawah leher, serta menggulung tangan baju hingga hampir ke siku. "Sweetheart," panggil Liam dengan penampilan berantakan mendekati Anaya dan Rozy yang sedang menonton kartun. Ia langsu