"Ibu! Anaya! Tunggu aku!" pekik Gendis secepat kilat kabur menyusul Ibunya dan Anaya masuk ke rumah. Liam menatap datar sikap aneh Gendis dimatanya, lalu memasuki rumah menyusul mereka. "Kamu ini kenapa sih, Dis? Kelakuan kayak anak kecil gitu!" tegur Bu Darwin setengah kesal dengan kekanakan putrinya itu. "Nay, teman yang bersamamu itu seram sekali!" sungut Gendis dengan muka bergidik ngeri. "Astaghfirullah, aku kok bisa lupa!" seru Anaya dengan nyengir kuda sambil menoleh ke belakang. Karena posisi sofa ruang tamu yang ia duduki membelakangi pintu utama, ia jadi menoleh ke belakang melihat keberadaan Liam. "Loh, Anaya! Aku kira siapa yang datang, nyatanya kamu! Bagaimana kabar kamu sekarang Nay? Apa kamu baik-baik saja selama ini?" ucap Samudra terkejut melihat Anaya saat pria itu mendatangi ruang tamu. Ia bahkan tidak sungkan menanyakan kabar Anaya dengan suara yang hangat sehingga membuat Liam menatap tajam bapak dua anak itu dengan terang-terangan. Merasa ada tatapan y
Amira berubah menjadi lebih liar dan bebas pergi kemana saja sejak ia heeling ke Mall waktu itu. Ia tidak lagi peduli teguran Ibu mertuanya saat ia pulang kesorean hingga terkadang malam baru pulang. Seperti sekarang ini, ia ingin bermain ke kantor kakaknya guna menghilangkan rasa suntuk dan bosan di rumah. Namun karena Andika ada pertemuan dengan kliennya di hotel, Amira pun ikut menyusul ke sana setelah menghubungi Andika. Amira memutuskan untuk menunggu Andika di restoran hotel sambil memesan beberapa makanan dan minuman sebagai teman menunggu. "Rasanya perasaan ku lega begitu keluar dari rumah, dan aku tidak peduli lagi dengan pandangan orang-orang! Bodo amat dengan larangan Mama mertua!" gumamnya sambil matanya menelisik keadaan di sekitar restoran tersebut. Ia pun memanggil pelayan dan memesan beberapa makanan serta minuman yang ia sukai sebagai teman menunggu kakaknya selesai meeting. Seseorang dari meja yang tidak jauh dari Amira melihat wanita hamil itu dengan
Karena Liam sudah memutuskan untuk segera menikah, Anaya membuat keputusan untuk jujur pada keluarga Bu Darwin tentang dirinya. Lagi pula ia juga ingin meminta maaf karena tidak pernah lagi memberikan kabar kepada mereka yang selama ini sudah membantunya dengan tulus. "Baiklah, kita akan ke rumah mereka nanti malam. Daddy akan menemani Mommy pergi ke sana dan sekalian mengundang mereka untuk datang ke pernikahan kita besok," ucap Liam ikut setuju dengan keputusan Anaya. Di samping itu juga, ia juga ingin melihat secara langsung orang-orang yang katanya membantu Anaya saat wanita itu sedang terpuruk. "Tapi, Daddy gak marah kan kalau Mommy bicara jujur tentang kita pada mereka? Mommy tidak mau mereka merasa dibohongi karena mereka pasti bisa menebak apa yang terjadi pada kita berdua. Mommy hanya ingin jujur dan membuat mereka mengerti jika Mommy melakukannya bukan karena disengaja. Meskipun demikian, Mommy tidak pernah menyesal dengan kehadiran anak-anak kita dan juga Daddy," s
Amira dan Raka baru sehari menjadi suami istri, tetapi kehidupan mereka bukan seperti saat ia bersama Anaya dulu. Mereka lebih tepatnya seperti dua orang yang hidup bersama dalam satu atap tetapi tidak saling bertegur sapa. Bahkan Raka dengan terang-terangan tidur di kamar yang berbeda karena Amira ngotot ingin kamar lama Anaya menjadi kamarnya. Raka tanpa banyak bicara langsung memindahkan semua barang-barang Anaya yang masih ada ke kamar lainnya yang ia huni saat ini. Hal itu membuat Amira marah dan kesal sehingga ia mengadukan hal itu pada Bu Yati, mertuanya. "Kamu yang sabar ya, Amira! Mama yakin Raka hanya masih canggung dengan status kalian saat ini, dan Mama yakin lambat laun Raka akan kembali seperti dulu, terlebih ada anak kalian sebagai pengikat hubungan ini," ucap Bu Yati dengan lembut menghibur Amira yang sedang emosi. Amira mendengkus kesal seraya menahan amarah yang memuncak. Kalau bukan karena janin dalam kandungannya saat ini, rasanya ia ingin melampiask
Anaya tersenyum geli saat mendengar bisikan Roxy sebelum gadis itu meninggalkan mereka berdua disana. Liam yang balik lagi posisinya membenamkan mukanya di perut Anaya tidak melihat senyum geli wanita itu. Hatinya masih panas mengingat rekaman video tadi, tetapi perasaanya menjadi tenang begitu berinteraksi dengan bayi-bayi yang ada dalam kandungan Anaya, meskipun ia hanya menciumi perut yang mulai membuncit itu. "Dad, antarkan Mommy ke kamar! Mommy lelah pengen istirahat," pinta Anaya dengan suara yang nyaris seperti bisikan saking pelannya. Kepala Liam langsung tegak lalu perlahan ia bangkit tanpa buru-buru dan menatap dalam wajah cantik yang membuat ia terperangkap lebih dalam akan pesonanya. "Ayo, Daddy juga mau istirahat! Daddy mau cas dulu biar tenaganya kembali penuh," ajak Liam dengan sangat bersemangat. Anaya terkekeh melihat semangat Liam yang sangat ia paham apa maksud pria itu. Ia mengangkat kedua tangannya sebagai tanda ia siap di gendong seperti biasanya.
Liam dalam situasi hati yang tidak senang saat ini, rasanya ia ingin memukul Raka sampai puas saking kesalnya. Ia menatap Naren yang duduk di bangku kemudi dengan tatapan curiga jika pria itu sengaja merekam semua ini hanya untuk membuat dirinya kesal. Wajah Naren mendadak pucat tatkala perasaannya tiba-tiba saja tidak enak, punggungnya terasa panas seakan-akan ada kekuatan panas yang sedang membakarnya. "Sir, apakah kita akan pulang sekarang?" tanya nya dengan suara tecekat di tenggorokan. Ia sekuat tenaga menahan rasa takut yang tiba-tiba agar Liam tidak mencurigai nya. "Apa tidak ada yang ingin kau katakan terkait rekaman video ini?" tanya Liam balik tanpa menjawab pertanyaan Naren. "Tidak ada, Sir!" jawab Naren cepat agar Liam tidak mencurigai jika ia takut dan gugup setengah mampus. "Ck," Liam berdecak kesal seraya membuang kasar napasnya. "Kita ke toko Bakery kesukaan Nyonya sebelum pulang ke Mansion!" titah Liam dengan nada dingin. Naren diam-diam mengelus dad