Amira dan Raka baru sehari menjadi suami istri, tetapi kehidupan mereka bukan seperti saat ia bersama Anaya dulu. Mereka lebih tepatnya seperti dua orang yang hidup bersama dalam satu atap tetapi tidak saling bertegur sapa. Bahkan Raka dengan terang-terangan tidur di kamar yang berbeda karena Amira ngotot ingin kamar lama Anaya menjadi kamarnya. Raka tanpa banyak bicara langsung memindahkan semua barang-barang Anaya yang masih ada ke kamar lainnya yang ia huni saat ini. Hal itu membuat Amira marah dan kesal sehingga ia mengadukan hal itu pada Bu Yati, mertuanya. "Kamu yang sabar ya, Amira! Mama yakin Raka hanya masih canggung dengan status kalian saat ini, dan Mama yakin lambat laun Raka akan kembali seperti dulu, terlebih ada anak kalian sebagai pengikat hubungan ini," ucap Bu Yati dengan lembut menghibur Amira yang sedang emosi. Amira mendengkus kesal seraya menahan amarah yang memuncak. Kalau bukan karena janin dalam kandungannya saat ini, rasanya ia ingin melampiask
Anaya tersenyum geli saat mendengar bisikan Roxy sebelum gadis itu meninggalkan mereka berdua disana. Liam yang balik lagi posisinya membenamkan mukanya di perut Anaya tidak melihat senyum geli wanita itu. Hatinya masih panas mengingat rekaman video tadi, tetapi perasaanya menjadi tenang begitu berinteraksi dengan bayi-bayi yang ada dalam kandungan Anaya, meskipun ia hanya menciumi perut yang mulai membuncit itu. "Dad, antarkan Mommy ke kamar! Mommy lelah pengen istirahat," pinta Anaya dengan suara yang nyaris seperti bisikan saking pelannya. Kepala Liam langsung tegak lalu perlahan ia bangkit tanpa buru-buru dan menatap dalam wajah cantik yang membuat ia terperangkap lebih dalam akan pesonanya. "Ayo, Daddy juga mau istirahat! Daddy mau cas dulu biar tenaganya kembali penuh," ajak Liam dengan sangat bersemangat. Anaya terkekeh melihat semangat Liam yang sangat ia paham apa maksud pria itu. Ia mengangkat kedua tangannya sebagai tanda ia siap di gendong seperti biasanya.
Liam dalam situasi hati yang tidak senang saat ini, rasanya ia ingin memukul Raka sampai puas saking kesalnya. Ia menatap Naren yang duduk di bangku kemudi dengan tatapan curiga jika pria itu sengaja merekam semua ini hanya untuk membuat dirinya kesal. Wajah Naren mendadak pucat tatkala perasaannya tiba-tiba saja tidak enak, punggungnya terasa panas seakan-akan ada kekuatan panas yang sedang membakarnya. "Sir, apakah kita akan pulang sekarang?" tanya nya dengan suara tecekat di tenggorokan. Ia sekuat tenaga menahan rasa takut yang tiba-tiba agar Liam tidak mencurigai nya. "Apa tidak ada yang ingin kau katakan terkait rekaman video ini?" tanya Liam balik tanpa menjawab pertanyaan Naren. "Tidak ada, Sir!" jawab Naren cepat agar Liam tidak mencurigai jika ia takut dan gugup setengah mampus. "Ck," Liam berdecak kesal seraya membuang kasar napasnya. "Kita ke toko Bakery kesukaan Nyonya sebelum pulang ke Mansion!" titah Liam dengan nada dingin. Naren diam-diam mengelus dad
"Ada apa?" tanya Liam dengan mendongak melihat ke bangku depan. Ia dan Naren baru saja keluar dari kantor urusan agama guna melengkapi berkas-berkas pernikahan nya dengan Anaya. "Sir, sepertinya itu mantan suami Nyonya," Naren menunjuk ke luar jendela pada pasangan beda usia yang memasuki kantor KUA. "Ck, kau mengenali mereka dengan baik," sindir Liam sambil melanjutkan kembali kegiatannya memeriksa email yang masuk. "Bukan begitu, Sir? Apa Anda tidak mau tahu apa yang mereka lakukan di tempat ini?" sahut Naren dengan membantahnya sambil menggoda Liam. Ia tahu jika Tuannya itu bukan orang yang kepo akan urusan orang lain, jadi ia sengaja menggodanya. "Boleh juga, pergilah cari tahu apa yang mereka inginkan di tempat ini!" ucap Liam yang langsung membuat wajah Naren melongo saking kagetnya. "Sir, Anda tidak sedang demam kan?" tanya Naren yang dibalas tatapan tajam Liam. Pria itu nyengir kuda sambil menggaruk ujung hidungnya yang tidak gatal. "Maaf, Sir. Saya tadi hanya b
Amira berdiam diri dalam kamarnya sepulangnya Raka dan Bu Yati dari kediamannya. Ia duduk bersandar di kepala ranjang sembari mengelus perutnya yang sudah memasuki empat bulan dan sudah begitu terasa buncitnya saat di raba. Wanita itu berulangkali menghembuskan nafasnya sejak beberapa menit yang lalu. "Mama begitu bahagia dan bangga saat mendapati kamu ada di rahim Mama saat itu. Mama sudah tidak sabar kala itu untuk menikah dengan papamu, tetapi sekarang Mama ragu karena merasa papamu seperti tidak menginginkan kita berdua. Ia seperti orang yang kehilangan arah dan Mama tidak mau hidup selamanya dengan orang yang seperti itu. Mama masih muda, masih banyak impian yang ingin Mama raih, dan sepertinya itu tidak bisa Mama lakukan jika bersama papamu," keluh Amira mengajak janin dalam kandungannya bicara. Ia masih sangat mencintai Raka, tetapi ia masih bisa menilai jika kehidupannya di masa depan tidak akan berkembang dengan baik jika hanya dirinya saja yang berusaha. Ia juga in
Amira baru mau membuka mulutnya tatkala suara tidak sabaran memasuki halaman rumah mereka dengan begitu nyaring. "Mana anak saya, dimana dia?" teriak Bu Yati memasuki halaman rumah orang tanpa sopan santun apalagi mengucapkan salam. Nyonya Betari yang sudah menilai buruk Raka semakin masam melihat sikap sembrono ibunya Raka yang memasuki kediamannya tanpa sopan santun. Bu Yati tidak melihat wajah masam dan tidak suka ibunya Amira, matanya mencari keberadaan putranya yang sudah menghilang hampir tiga minggu lamanya. "Amira, katakan pada Mama dimana Raka?" tanya Bu Yati menghampiri Amira dengan tatapan penuh harap. Amira membisu, tetapi tangannya menunjuk pria berambut gondrong dengan wajah penuh jambang dan kumis. Tidak ketinggalan badannya yang kurus dengan pakaian yang berantakan warnanya. "Kamu jangan bercanda? Tidak mungkin itu adalah Raka? Raka tidak mungkin menyamar menjadi gembel hanya karena tidak mau pulang ke rumah," ucap Bu Yati menolak percaya. Nyonya B