Share

Ridwan (Keputusan Sulit)

Aku memacu mobil di kecepatan seratus kilometer perjam, hal yang tak pernah ku lakukan, untung saja mobil sport keluaran terbaru yang di belikan mama seminggu lalu sangat mendukung untuk dikendarai dengan kecepatan tinggi. Awalnya aku menolak mobil itu karena merasa tak butuh barang mewah seperti itu, tapi mama beralasan bahwa karena aku direktur sebuah perusahaan elite, transportasi yang aku pake harus mencerminkan siapa aku.

Sesekali aku melirik ke arah Rahma, jantungku semakin cepat terpacu ketika kulihat wajah istriku semakin pucat, lantai mobil tempat kakinya berpijak hampir tertutupi darah.

“Ya... Allah, selamatkan istri dan anakku, aku membutuhkan mereka, jangan kau ambil mereka secepat ini!” doaku dalam hati.

Tangan kiriku mengelus lembut bahunya, tak ada reaksi, ku goncang bahu sambil memanggil namanya tapi tetap tak ada sahutan. Tanganku bergetar, keringat sebesar biji jagung mengalir di dahiku.

Untung saja jalan yang ku lalui tak macet, berkali-kali shalawat dan doa ku rapalkan. Memohon perlindungan, aku tak pernah merasa setakut ini selama hidupku. Bahkan ketika hendak di sunat pun, rasa takut tak sehebat ini.

Ku lihat Rahma tak lagi bergerak, kepalanya terkulai ke belakang. Entah kenapa air mataku jatuh melihat istriku seperti itu.

Setelah setengah jam perjalanan, sampailah aku di rumah sakit hati mulia, ku gendong istriku ke ruang IGD sambil berlari. Perawat yang melihatku segera mengambil brangkar, membantuku menaikkan Rahma.

Kami bersama-sama mendorongnya, sampai di pintu IGD aku di larang masuk.

“Maaf, Bapak tidak boleh masuk,” ucap perawat yang menahan langkahku.

“Dia istri saya, Sus!” jawabku, pandanganku mengikuti arah brangkar yang membawa Rahma.

“Tetap tidak boleh Pak! Silahkan menunggu di luar, kami akan membantu semampunya,” ucap perawat, dengan kekuatan penuh dia mendorong ku mundur, aku menurut tak mau menambah lama Rahma di beri pertolongan.

Aku mondar mandiri, sesekali menatap jam yang ada di tangan, baru lima belas menit, tapi rasanya sudah seperti setahun, ku rogoh kantong celana, mencari benda pipih yang selalu setia menemani di kala sendiri. Ku cari nomor Mama, berencana untuk mengajarinya.

“Assalamu’alaikum, Mama lagi sibuk?” ucapku saat terdengar suara seseorang dari seberang mengangkat telpon.

“”Waalaikumsalam, ini mau siap-siap pergi arisan, ada apa sayang?” tanya mama lembut.

“Ma, Rahma masuk rumah sakit, dia pendarahan, tolong Mama ke sini temani aku!” rengekku. Sejak dulu, aku paling takut sendiri ndan Mama yang selalu hadir menemani.

“Astaga, i— ya, sekarang Mama ke sana, kamu di rumah sakit mana?”

Ku sebutkan nama rumah sakit tempatku sekarang berada, tak lama Mama mengakhiri panggilanku.

Kembali ku scroll layar di hape, lalu mengetik sebuah pesan yang ku kirim kepada Papa. Entah kenapa, hari ini aku butuh support dari orang-orang terdekatku.

Selang beberapa lama, Mama dan Papa telah datang, entah bagaimana ceritanya mereka bisa sama-sama. Setahuku, setiap hari papa akan di kantor sampai sore.

Mama menghambur ke arahku, segera ku peluk dia, menangis di pundaknya terasa nyaman, kini aku bisa berbagi kegelisahan dengan cinta pertamaku.

Papa mengelus punggung, memberi kekuatan, dia tipe lelaki yang pantang menangis namun lembut hatinya.

Aku masih di pelukan mama, ketika suara derit pintu di buka, nampak seorang dokter keluar lalu mendekat ke arah kami.

“Dok, ba— “

“Kita bicara di ruangan saya saja,” ucap dokter tersebut, wajahnya nampak serius, masih tergambar raut tegang yang sulit ku artikan.

Dokter tersebut melangkah lebih dulu, di ikuti olehku, papa dan mama.

“Silahkan duduk,” ucapnya ramah.

Aku di dampingi papa duduk menghadap dokter, sedangkan mama duduk di sofa yang di sediakan.

“Alhamdulillah, pasien bisa kami selamatkan, untung bapak membawanya tepat waktu, sekarang dia masih di IGD, sambil menunggu tindakan selanjutnya....”

“Maksud dokter?” tanyaku tak sabaran.

“Maaf, Pak... kami tak bisa menyelamatkan bayi yang ada di dalam kandungan istri Bapak.” Ucapan dokter tersebut, membuatku terasa di hantam palu besi dan tepat mengenai ulu hati, nyeri sampai membuatku tak bisa bernapas.

Aku memegang dada, mendongakkan kepala, menahan bulir yang telah mendesak ingin keluar.

“Aku lelaki, pantang menangis di depan orang lain,” lirihku.

Papa yang sedari tadi diam, tiba-tiba menarik pundakku, mengecup pucuk kepala, dan berbisik.

“Sabar!”

Luruh sudah benteng pertahananku, satu kata itu seolah menjadi kunci yang membuka keran air mata yang sedari tadi berusaha ku tahan. Aku tergugu, memeluk lelaki yang selalu ada di setiap sedihku, ku rasakan basah di bahu, ternyata papa pun ikut menangis, bedanya aku menangis sesenggukan, sedangkan dia menangis tanpa suara.

“Ya Allah, cobaan apa ini? Mengapa secepat ini engkau tarik nikmat bahagia yang kau berikan kepada keluarga kami, apa tak cukup sepuluh tahun sabar yang kami lewati,” ucapku.

Elusan lembut terasa di punggung, aku menoleh, melihat mama sedang mengusap punggungku, dua malaikat berwujud manusia sedang menguatkanku, ku lerai pelukan dari papa, lalu beralih memeluk mama, tangisku semakin pecah, aku merosot ke lantai, memeluk kaki mama. Rasanya aku tak memiliki tulang untuk menopang badanku yang tinggi tegap ini.

“Istighfar, Nak!” Masih ku dengar papa mengucapkan kata agar aku istigfar, ucapan yang selalu ku sebut saat aku mendapatkan musibah.

Dokter tak berucap sepatah katapun, dia pastinya maklum akan kondisiku sekarang, siapa yang tak akan bersedih jika kehilangan sesuatu yang telah lama di dambakan.

Setelah berkali-kali mengucap istigfar, dadaku sedikit lega, rasanya aku kembali memiliki tenaga, aku bangkit di bantu oleh papa lalu duduk kembali di kursi.

Pandanganku mengarah ke dokter yang tepat duduk di depanku, ku lihat jelas nampak bias prihatin dari matanya yang di lindungi kacamata.

“Jadi bagaimana? Kapan istri saya bisa di pindahkan ke kamar perawatan?” tanyaku dengan suara parau khas orang yang habis menangis.

“Begini Pak, kalau tidak salah beberapa hari yang lalu, Bapak datang kesini untuk periksa kondisi istri kan?” tanya dokter tersebut.

Aku mengangguk, ternyata ingatan dokter ini cukup kuat, sampai bisa mengenali kami.

“Kebetulan, tadi pagi hasil tes laboratorium nya sudah keluar dan sudah saya baca, di tambah waktu tadi saya melakukan pertolongan, saya kembali melakukan USG kepada istri Bapak.”

Hening, dokter tersebut menjeda kata-katanya, mungkin sedang berpikir kata apa yang pantas dia ucapkan agar terdengar enak di telingaku.

“Terus?!” tanyaku tak sabar.

“Maaf Pak, kami harus melakukan operasi untuk pengangkatan kanker ovarium yang di idap istri Bapak, mumpung masih stadium dua, tapi resikonya satu ovarium istri Bapak sudah tidak bisa berfungsi dengan baik, sehingga kemungkinan memiliki anak akan lebih sulit karena hanya satu ovarium.” Jelas dokter tersebut.

Wajahku menegang, baru saja tangisku reda karena harus kehilangan buah hati yang masih dalam kandungan, kini kembali aku di hadapkan pada kabar yang selama ini tak pernah ku harapkan.

Aku menunduk, beberapa kali membenturkan kepala di meja yang menjadi penghalang aku dan dokter.

Tangan papa menahan badanku, agar tak melakukan hal konyol tersebut, tapi tak kuhiraukan.

“Wan— Ridwan, sabar, Nak! Jangan seperti ini,” bujuk Papa.

Terdengar isak tangis dari samping, ku pastikan itu suara mama yang sedang menangis.

“Kenapa cobaan Ridwan seberat ini, Pa?” tanyaku pada lelaki yang telah berdiri di sampingku.

“Karena kamu bisa melewatinya!” ucap papa tegas.

Berkali-kali ku usap air mata, mencoba tegar, istigfar kuucapkan berkali-kali, tiba-tiba aku teringat kepada istriku yang sedang terbaring tak berdaya di ruangan, kalau aku saja bisa serapuh ini, bagaimana dengan dia?

Aku harus kuat, ada seorang bidadari yang harus aku tenangkan nanti.

Kupejamkan mata, lalu menarik napas panjang, menahannya beberapa saat, kemudian menghembuskannya pelan. Kuulangi ritual itu berulang kali, aku kembali nampak tenang, walau ku akui hatiku sedang tak baik-baik saja.

Melihat aku yang tak menangis lagi, dokter lalu menarik laci meja, mengeluarkan sebuah dokumen, lalu menyodorkannya kepadaku.

“Sekali lagi, saya minta maaf Pak. Semoga Bapak tidak berpikir kalau saya tidak mengetahui situasi yang sedang terjadi, tapi saya memiliki beban yang sama beratnya dengan yang Bapak rasakan, silahkan baca berkas ini, dan jika setuju silahkan tanda tangan supaya secepatnya tim kami melakukan operasi untuk menyelamatkan nyawa istri Bapak.”

Ucapan dokter kembali membuatku gamang, bisakah aku menghilang dari tempat ini sekarang? Rasanya hati ini tak sanggup lagi menerima kenyataan sedih yang masih harus ku terima.

“Apa yang harus aku lakukan ya Allah,” ucapku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status