Share

Kenyataan

Aku mengerjapkan mata, nampak bayangan plavon berwarna putih. Kembali ku tutup mata, sepertinya aku sedang bermimpi.

Sayup-sayup ku dengar suara lantunan ayat suci Al-Quran, dari suaranya aku tersenyum, pasti mas Ridwan. Lelaki halalku itu memang paling suka mengaji, apalagi kalau sedang menunggu waktu shalat subuh.

Aku tertegun, kembali ku buka mata, cahaya lampu yang teranang kembali membuatku harus mengerjapkan mataku berkali-kali, berusaha untuk beradaptasi dengan cahaya yang ada di ruangan itu.

Berangsur-angsur penglihatanku telah kembali, aku mengedarkan pandangan.

“Aku dimana?” tanyaku, sambil berusaha bangkit.

“Auuuuu,” teriakku. Nyeri terasa menjalar dari perutku.

Mas Ridwan berhenti memurojaah hafalan, dia gehas mendekat kearah ku.

“Mau kemana sayang? Jangan bergerak dulu!” ujar mas Ridwan. Nampak dari caranya memandang terlihat rasa khawatir.

“Mas, aku kenapa? Perutku kok sakit?” tanyaku.

Ku tatap lekat mata elang lelakiku itu, dia hanya terdiam, ada embun di kelopak matanya. Hatiku kini gusar, aku memegang perutku, rasa nyeri yang menjalar kembali menyerang, perutku seperti tebal, ada beberapa lapisan, aku kembali mengedarkan pandangan.

Aku terkejut, baru menyadari kalau ternyata di tanganku terpasang infus, aku tiba-tiba menggigil, mas Ridwan memegang tanganku. Memanggil-manggil namaku, namun tak ku acuhkan.

“Ya Allah, aku kenapa?” lirihku.

Aku menutup mata, mencoba menenangkan diri, namun tak bisa aku malah merasa sesak. Kembali ku buka mata.

“Ma, kamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya mas Ridwan.

Kali ini kulihat embun yang sedari tadi menggantung telah jatuh membasahi pipinya.

Suamiku bukan lelaki cengeng, tetapi kenapa dia menangis?

“Mas! Aku kenapa? Perutku kenapa?” tanyaku setengah memaksa.

“Mas akan cerita, tapi kamu janji nggak bakalan histeris,” ucap mas Ridwan.

Aku mengangguk, ku tetap matanya, menunggu penjelasan. Mas Ridwan menarik kursi yang tadi dia pakai mengaji, dia mendekatkan kursi ke ranjang, lalu duduk menghadap ke arahku.

Dia menggenggam jari-jari tangan dan menciumnya berkali-kali.

“Maafkan Mas, Mas nggak punya pilihan lain,” ucapnya. Suaranya bergetar menahan tangis yang sepertinya sudah lama dia tahan.

“Kok minta maaf sih? Aku mau kamu cerita, bukan mau dengar permintaan maafmu!” jawabku ketus.

Mas Ridwan menunduk semakin dalam, bahunya terguncang, kali ini lelakiku betul-betul menangis.

“Maafkan, Mas. Mas nggak bisa menyelamatkan anak kita.”

Ucapannya bagai palu yang baru saja menghantam dadaku, sesak yang sedari tadi ku rasakan makin bertambah.

“Tidak! Kamu bohong kan, Mas?! Kamu Cuma mau ngerjain aku, kayak yang waktu aku ulang tahun kan? Jawab, Mas!” tanyaku tanpa jeda.

Ku pukul bahunya berkali-kali, tapi tak ada reaksi, dia membiarkanku menyakitinya, tanganku tak berhenti mencubit lengannya, menarik rambutnya agar dia mendongak, menatapku, tapi dia semakin menunduk.

Rasa nyeri di perutku kini menjalar ke punggung, sensasi sakitnya dua kali lipat dari yang pertama. Tanganku berhenti memukuli mas Ridwan, ku pegang perutku menahan sakit.

Merasakan aku tak lagi memukulnya, mas Ridwan mengangkat kepalanya, melihatku meringis membuatnya terlihat khawatir. Dia langsung berdiri, berlari keluar kamar, tak lama dia kembali dengan beberapa orang yang dari pakaiannya pasti dokter dan perawat.

Mereka menyuruhku berbaring, mau tak mau aku harus menurut, lalu mereka mulai mengecek denyut nadi, tekanan darah sampai memeriksa luka yang ada di perutku.

“Ibu jangan terlalu banyak berkuat, nanti jahitannua bisa lepas,” ucap dokter yang baru saja melakukan observasi kepadaku.

Setelah berbicara sebentar dengan mas Ridwan, mereka pamit untuk kembali ke ruangan.

“Dek, kamu nggak boleh banyak bergerak,” ucap mas Ridwan.

“Mas, kok kamu tega sama aku? Kamu kan tau aku menginginkan anak ini, kenapa kamu tidak berusaha mempertahankannya?” tanyaku dengan wajah di penuhi air mata.

Mas Ridwan masih terdiam, bahkan menatapku pun dia enggan.

“Mas! Jawab!” teriakku.

“Maaf, dia sudah keluar sebelum aku membawamu ke rumah sakit,” jawab mas Ridwan lirih.

Aku terdiam, kembali membuka lembaran ingatan yang terakhir ku ingat, tidak butuh waktu lama, akhirnya rentetan ingatan kembali terurai.

Aku tergugu, ternyata semua salahku, aku menangis meraung-raung.

“Maafkan aku Mas, aku yang membunuh anak kita!” ucapku di sela tangis.

Mas Ridwan menggeleng, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya. Kami menangis bersamaan.

“Mas, maafkan aku,” ulangku lagi.

“Kamu nggak salah, mas yang salah membiarkan mu mengerjakan pekerjaan rumah, harusnya aku mencarikanmu asisten rumah tangga,” ucap mas Ridwan.

*****

Setelah dua minggu di rumah sakit aku sudah di bolehkan pulang, mama Anita hampir tiap hari datang menjengukku, menemani bergantian dengan mas Ridwan.

Berangsur-angsur perasaanku sudah bisa menerima apa yang menjadi takdir kami, togh setelah keadaanku pulih, aku dan mas Ridwan bisa program lagi untuk mendapatkan anak.

Aku sedang menunggu mas Ridwan, ketika mama Anita datang bersama dengan tante Ani dan wanita yang waktu itu datang ke rumah mama. Kalau tak salah namanya Siska.

“Gimana keadaan kamu?” tanya tante Ani ketika baru saja masuk ke ruang perawatan ku.

“Baik tante,” ucapku sekenanya.

Dia tak mendekat ke arahku, malah langsung duduk di sofa yang berada di sudut kamar, begitu pun dengan Siska, mama Anita mendekatiku, mengecup pipi kiri dan kanan, lalu bertanya apakah aku sudah makan, kubjawab dengan sebuah anggukan. Mama Anita menyuruhku kembali istirahat, aku menutup mata mencoba untuk tidur, mertuaku mulai memperbaiki selimutan lalu ikut duduk bersama tante Ani, kami semua menunggu mas Ridwan yang sementara dalam perjalanan.

“Mbak, gimana? Sudah tanya Ridwan? Dia mau kan?” Kudengar tante Ani bertanya sesuatu kepada mama.

“Jangan bicara di sini yah An, nanti kita lanjutkan di rumah saja,” ucap mama, entah masalah apa yang mereka sedang bahas.

“Memang kenapa Mbak? Kebetulan ada Siska juga, supaya dia lebih termotivasi mendekati Ridwan, kalau dia dengar sendiri kalau Mbak setuju dan Ridwan juga tak keberatan.” Kata-kata tante Ani, membuatku tak jadi terlelap. Mata tetap ku tutup, tapi pendengaran ku pertajam.

“Ya, pokonya jangan bicara di sini. Nanti biar Siska ikut ke rumah juga,” jawab mama Anita.

“Ta— “

“Assalamu’alaikum.” Terdengar salam dari luar, pintu di dorong perlahan, wajah mas Ridwan menyembul, wajah yang tadinya cerah, langsung berubah masam ketika melihat siapa yang ada di dalam ruangan.

Mas Ridwan melangkah ke arahku, mengelus rambut dan mengecup kening, dia lalu duduk di kursi, samping ranjang tempat aku berbaring.

“Mas, kapan kita pulang?” tanyaku ketika suamiku baru saja menempelkan bokong ke kursi.

“Kamu sudah bisa bangun?” tanyanya. Aku mengangguk.

“Tunggu suster datang dulu, setelah itu kita siap-siap pulang.”

Tak berselang lama, suster yang kami tunggu akhirnya datang juga, dia membawa kwitansi pembayaran, dan beberapa macam obat. Setelah menjelaskan cara minumnya, suster itu pamit keluar kamar.

“Ma, ayo kita pulang,” ajak mas Ridwan setelah semua barang selesai di bawa ke mobil.

Mama yang sedang asyik bercerita perlahan bangkit.

“Wan, Siska ikut di mobil kalian yah! Tante sama mama kamu mau singgah sebentar di swalayan,” ucap tante Ani yang ikut bangkit bersama mama.

“Ngapain Siska ikut kami?” tanya mas Ridwan, wajahnya di tekuk delapan, ketika berbicara dengan tante Ani.

“Wan, dia mau ke rumah, tapi kasian kalau dia ikut kita ke swalayan, tau kan kalau emak-emak belanja, lama dan rempong, takutnya dia bete nunggu,” jelas tante Ani.

“Mau ngapain dia ke rumah?” tanya mas Ridwan lagi.

“Mau main, Mas!” jawab Siska memotong cepat.

“Di rumahku tak ada tempat mainan.” Jawaban mas Ridwan membuat Siska terdiam, aku menahan tawa sampai perutku sakit.

Mas Ridwan mengangkatku dari tempat tidur dan menggendonku, menurunkan badanku yang sedikit berisi ini ke kursi roda, kemudian mendorong ku meninggalkan kamar perawatan.

Sepanjang koridor, mas Ridwan tak berhenti membuatku tertawa dengan leluconnya. Mereka bertiga mengikuti dari belakang.

Sampai di parkiran, aku kembali di gendong masuk ke dalam mobil.

“Kamu ngapain?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Khara Asha
semangat thor ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status