Sayup-sayup terdengar bunyi mesin mobil di luar sana. Itu pasti Mas Deno. Kucoba mengusap mata yang terasa perih dan tak kunjung bisa dibuka. Mataku tertuju ke benda yang melingkar di dinding. Sontak membuatku terperanjat kaget.
‘’Pukul 01.00? Ya Allah! Apa aku salah lihat kali, ya?’’ Aku terus saja mengusap bola mataku tak henti-hentinya. Tetapi tetap saja angka 01.00 yang terlihat olehku. ‘’Allah! Ternyata udah larut malam. Aku tertidur setelah curhat ke Bibi, saking lelahnya pikiranku ini,’’ gumamku dalam hati.Langkah kaki terdengar lirih olehku menuju kamar. Aku yakin itu adalah si lelaki pengkhianat. Aku bergegas berpura-pura tertidur lelap dan membelakangi punggungku ke arah pintu. Kupasang pendengaranku dengan sebaik mungkin. Langkah kakinya semakin terdengar dekat dan pintu pun sedikit berderit. Hidungku seakan-akan mencium seperti bau minyak wangi seorang wanita. Ya Allah! Apa itu minyak wangi si pelakor yang lengket baunya di pakaian suamiku? Hatiku sungguh terasa ditusuk ribuan belati berkali-kali. Dada terasa membuncah. ‘’Nel, kamu harus kuat. Kamu harus berpura-pura tidur.’’Aku sudah merasakan kehadirannya di kamar ini. Aku yakin dia tengah memperhatikanku, memastikan aku sudah tertidur atau belum. Seketika aku merasakan dia menyelimuti tubuhku. Ahh! Ternyata kamu masih peduli sama aku, Mas. Sayangnya aku sudah muak dengan sikapmu, aku sudah terlanjur sakit hati. Ranjang seketika berderit, kuyakin dia membaringkan tubuh kekarnya di sampingku.Aku tetap saja membelakang punggungku. Aku semakin merasa tak tenang apalagi sejak tadi hidungku terus saja mencium aroma minyak wangi wanita, aku yakin itu adalah minyak wanginya si pelakor itu. Dadaku terasa kian sesak dan rasa sakit hati yang begitu mendalam hingga air mata tak dapat lagi kubendung. Mataku berpura-pura terpejam, namun pikiranku melayang entah ke mana-mana. Hatiku sungguh tak tenang menghirup aroma minyak wangi yang kuperkirakan adalah minyak wangi si pelakor itu. ‘’Ya Allah! Tolong kuatkan aku dengan semua ini,’’ batinku sembari menarik napas pelan. Kulirikkan sedikit mata dan menoleh ke belakang.Ahh! Rupanya lelaki pengkhianat itu sudah terpejam matanya. Dasar lelaki tak tahu diri! Dia masih bisa terlelap dengan enak tanpa beban apapun, tak merasa bersalah sedikit pun. Manusia macam apa ini! Tak ada yang menganggu pikirannya hingga semudah itu matanya terpejam. Apa dia tak memikirkan kesalahannya selama ini? Apa dia tak memikirkan pengkhianatannya selama ini kepadaku? Ahh! Yang namanya lelaki pengkhianat tak kan sadar dengan perlakuannya yang salah itu.Kutarik napas pelan dan mataku masih saja terasa mengantuk, entah berapa kalinya aku menguap sejak tadi. Sebaiknya aku beristirahat dulu. Agar aku punya tenaga untuk menghadapi kenyataan hidup, agar aku kuat dengan semua ini. Ya, pikiran dan tubuhku butuh istirahat yang cukup. Aku mencoba tak menghiraukan bau minyak wangi yang menganggu kenyamananku. Aku paksa mata untuk terpejam. Beberapa jam kemudian, terdengar samar olehku derit ranjang. Siapa? Mas Deno? Mau ke mana dia?Perlahan kucoba membuka mata yang terasa perih untuk dibuka. Kuedarkan pandangan ke benda yang melingkar di dinding. Ahh! Masih jam 05.20. Masih subuh ternyata. Ke mana dia? Belum sempat aku menoleh, dia keburu pergi. Ingin rasanya melanjutkan kembali tidurku karena aku sedang dapat jatah, jadi belum bisa solat sampai hari ini. Mata pun masih merasa mengantuk. Tetapi penasaran kian menggerogotiku, ke mana sebenarnya Mas Deno? Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Ya, itu pasti dia. Aku bergegas merubah posisi tidurku, yang tadi telentang kini membelakangi punggung. Aku berpura-pura tertidur pulas. Seketika pintu berderit dan suara langkah kakinya semakin mendekat. Dari mana dia? ‘’Entah kenapa sejak pengkhianatannya terbongkar membuat aku curiga ke mana kakinya melangkah. Ya Allah, apa aku salah?’’Aku melirikkan sedikit mataku dan menoleh. Tampak lelaki yang masih berstatus suamiku itu tengah berdiri di atas sajadah. Hah? Dia solat subuh ternyata. ‘’Percuma kamu solat, Mas! Kalo kamu masih selingkuh. Jangan bohongi Allah, Allah Maha Tahu segalanya! Cepat atau lambat balasan dari Allah pasti datang untukmu!’’ gerutuku membatin. Ya, Allah Maha Adil. Di setiap perbuatan pasti ada balasan dari Allah, cepat atau lambat. Kamu tunggu saja Mas!‘’Hoaamm!’’ Masih saja terasa mengantuk. Aku ingin memutuskan kembali untuk memejamkan mata tetapi Naisya malah menggarut-garut kakinya, mungkin dengan kehadiran nyamuk membuat dia tak nyaman tidur. Bergegas kuhalau nyamuk menggunakan kerudungku. Ya, biasanya aku memakai hit colokan. Ini karena pikiranku yang kacau tak menentu membuat aku lupa menyalakan hit. Kupandangi Naisya kembali tertidur dengan nyenyak. Aku pun melanjutkan kembali istirahatku. ‘’Nel, Sayang bangun! Udah pagi nih.’’ Suara yang tak asing lagi di telingaku terdengar samar olehku. Mataku sulit untuk dibuka dan terasa perih. Allah! Masih belum cukup waktu tidurku, atau karena pikiran dan tubuhku yang begitu lelah?‘’Ummm!’’‘’Udah pagi loh, Sayang,’’ Mas Deno kembali yang membuatku muak mendengar kata-kata basi itu. Aku membuka mataku pelan. Kupandangi dia tengah bermain dengan putriku. Ternyata putriku sudah duluan terbangun dariku. Tapi Alhamdulillah dia enteng dan tak rewel.‘’Ma!’’ sapa Naisya ketika matanya refleks menatapku yang baru saja terbangun.Lantas aku tersenyum dan bergegas duduk.’’Iya, Sayang. Main sama Papa ya?’’ sahutku dengan suara khas bangun tidur. Dia tampak mengangguk dan tertawa kecil. Tampaknya dia bahagia bermain dengan papanya yang beberapa hari ini tak pernah bermain dengan Naisya. Ya, alasannya selalu sibuk dengan pekerjaan kantor. Setelah perselingkuhannya terbongkar, aku jadi berpikir kalau selama ini kata-kata ‘sibuk dengan pekerjaan kantor’ hanya untuk menutupi perselingkuhannya dan dia pasti menghabiskan waktu bersama si pelakor itu.‘’Nih, bonekanya lucu banget kan, Sayang? Apalagi anak bayi bonekanya,’’ ucapnya memperlihatkan boneka yang digenggamnya kepada Naisya, dia seketika terkekeh. ‘’Iya, Pa,’’ sahut putriku.‘’Kalo nggak ada Papamu, apa kamu akan tetap seceria ini, Dik?’’ batinku yang terus memandangi Naisya yang tengah bermain diiringi canda tawa dengan papanya.Hatiku sebenarnya sangat teriris akan tetapi aku berusaha menepisnya. Ya, bagaimana tidak. Melihat kedekatan putri semata wayangku dengan papanya. Memang wajar kedekatan antara seorang anak dengan Papa kandungnya, tetapi jika Mas Deno tak berada lagi di sini tentu Naisya akan merasa canggung dan kesepian. ‘’Adik mau juga kan punya Dedek bayi laki-laki?’’ sontak membuyarkan lamunanku dan membuatku terperanjat kaget. Apa-apaan Mas Deno ini, bisa-bisanya dia merayu putriku demi keinginannya untuk mendapatkan anak lelaki dariku. Secara tak langsung dia menyuruhku untuk hamil kembali, begitu? ‘’Mas, Mas! Kelakuanmu aja begitu, cukup satu anak dengan lelaki sepertimu.’’ Kupandangi Naisya tampak mengangguk lantas tertawa kecil, beralih menatapku.‘’Ayo Dik bilang ke Mama. Adik mau punya Dedek bayi dong.’’ Dia menatapku yang membuat aku semakin muak saja. Bisa-bisanya kamu membujuk Naisya untuk keinginan konyolmu itu Mas.‘’Ma, boleh ya? Punya Dedek bayi yang lucu,’’ pintanya kemudian dengan suara khas menggemaskan yang membuat amarahku reda seketika. Aku mencoba untuk tetap tersenyum meskipun itu hanyalah palsu semata.‘’Ma!’’ ulangnya kembali. Tampak papanya itu menyeringai tersenyum. Dasar lelaki tukang selingkuh!‘’Ah, iya, Dik,’’ sahutku seketika.‘’Bagaimana, Ma? Lagian Naisya juga udah gede kan, saatnya dia punya adik,’’ timpal Mas Deno itu yang memanggilku dengan sebutan Mama, membuat aku ingin muntah rasanya. Ya, jika berada di samping Naisya maka panggilan kami adalah Mama dan Papa. ‘’Janganlah, Pa. Naisya masih kecil, nanti kasih sayang kita malah terbagi. Kasihan Naisya,’’ kilahku mencari alasan. Ya, akhirnya aku menadapatkan alasan yang masuk akal. Semoga dia mengerti dan tak mencurigaiku. ‘’Enggaklah, Ma. Kasih sayang kita nggak akan berkurang ke Naisya kok. Lagian Papa juga kepengen punya anak laki-laki.’’ Duhh! Di luar dugaanku. Kukira dia tak bakalan menyahuti lagi. Aku harus beri alasan apa lagi ya? Mana mau aku hamil kembali, cukup Naisya saja. Bersuami seperti Mas Deno itu tak boleh banyak anak, cukup satu saja. Jika dia bukan tukang selingkuh, mungkin aku akan mau hamil anaknya lagi dan bahkan dulu aku pernah berkeinginan punya anak dua laki-laki serta dua perempuan. Kini keinginan itu lenyaplah sudah, bahkan aku merencanakan sesuatu yang sudah aku pikirkan matang-matang.‘’Pa, kasihan banget loh Naisya. Mama nggak mau dia nanti nggak terurus dan kasih sayang kita malah terbagi. Janganlah sekarang, tunggu Naisya gede dulu ya, Pa.’’ Akhirnya kata-kata ini keluar dari mulutku. Tampak wajahnya berubah masam. Aku hanya tersenyum sinis. Bersambung.Setelah bersalaman dengan mertua, sahabat, dan juga anakku. Saatnya kami berdua menaiki pelaminan. Lelakiku itu mengenggam erat tanganku untuk melangkah menuju pelaminan. Para tamu undangan pun langsung mengucapkan selamat dan bersalaman dengan kami berdua.‘’MaasyaaAllah. Mba Nelda? Akhirnya bertemu dengan Penulis favoritku.’’ Wanita yang kuperkirakan umurnya dua puluhan itu bergegas memelukku.‘’Alhamdulillah. Senang banget bertemu, Kakak.’’ Kami melepaskan pelukan. Matanya berbinar menatapku.‘’Semoga langgeng sampe Kakek Nenek yah, Mba.’’‘’Aamiin Ya Allah. Makasih banyak loh.’’Ternyata ada banyak pembaca yang kuundang hingga membuat kami tak bisa duduk beristirahat di kursi pelaminan karena menjabat tangan mereka satu-persatu.‘’Tapi kok Naisya belum ketemu sama aku sejak tadi?’’ Mataku sibuk mencari keberadaan si kecil.‘’Mama! Papa!’’ teriaknya yang membuat aku tertawa, anakku bergegas memelukku. Ternyata dia bersama Fani.‘’Duuh sayangnya Mama nih.’’ Aku memeluknya dengan era
Seminggu kemudian, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Semua persiapan pernikahanku Fani dan teman-temannya yang mengurus. Aku tengah duduk di depan cermin. MaasyaaAllah, aku terlihat begitu cantik dan anggun dengan polesan make up tipis dari Sang Perias.‘’Akhirnya aku melepas masa jandaku. Semoga ini adalah pernikahan terakhirku seumur hidup dan semoga Reno imam terbaik untuk aku, juga jadi Papa sambung buat anakku.’’ Aku tersenyum memandangi bayangan wajahku di pantulan cermin.Ini adalah pernikahanku yang kedua kalinya. Sebelumnya tak pernah terniat di hatiku untuk menikah lagi, aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Namun, apalah daya. Allah berkehendak lain. Lelaki itu selingkuh selama empat tahun lamanya. Menyisakan trauma dan luka yang mendalam. Hingga akhirnya datang seseorang yang dengan pelan-pelan bisa mengobati rasa luka dan traumaku. Dialah yang akan jadi calon imamku. Harapanku semoga ini adalah pernikahan terakhir dalam hidupku.‘’Cie-cie ada yang senyam-senyum
‘’Happy birth day, Om Reno.’’ Kali ini Naisya yang mengucapkan.‘’Makasih, Dik. Sayangnya Om Reno nih.’’ Tangannya mengelus kepala Naisya.‘’Ini kadonya dari aku, Om.’’ Anakku bergegas menyodorkan kado yang membuat para tamu undangan tersenyum.‘’Wah, ini Adik yang membungkus kadonya? Bagus banget. Makasih ya.’’ Lelaki itu langsung mengambil kado dari tangan Naisya lalu memandangi kado yang bersampul panda itu.‘’Bibi yang menyiapkan, Om. Dan uang untuk membeli kadonya minta ke Mama,’’ katanya dengan polos, berhasil membuat para tamu tertawa.Begitu juga dengan Reno dan orangtuanya. Aku memberi kode agar si Bibi memberikan kado yang tengah dipegangnya sedari tadi. Bibi langsung memberikannya padaku.‘’Dan ini dari aku ya, Ren. Jangan dilihat dari harganya. Tapi lihatlah siapa yang memberikannya.’’ Senyumannya mengembang lalu bergegas mengambil kado yang kusodorkan.‘’Makasi ya,’’ kata lelaki itu dengan suara lembut. Entah kenapa hatiku jadi tersentuh.***Tak ada acara hembus lilin. H
Setahun kemudian..Hari ini adalah ulang tahun Reno, lelaki yang selama ini kukira tidak baik. Lelaki yang selama ini aku ragukan ketulusan hatinya. Ternyata dia memang lelaki yang baik dan peduli padaku, terutama pada Naisya. Dia banyak sekali berkorban untukku dan juga anakku. Akibat kepeduliannya itu membuat sikap dinginku lenyap, apalagi Naisya sangat senang bermain dengan lelaki itu. Hingga sosok almarhum Papanya bisa digantikan oleh Reno. ‘’Udah setahun lebih tanpa kehadiran Mas Deno di sisiku dan juga Naisya. Semoga kamu tenang di alam sana ya, Mas. Dan diampuni segala dosa-dosamu,’’ lirihku sambil mematut diri di cermin.Ya, sudah setahun lebih lamanya aku menjanda. Sedangkan sahabatku Fani sudah menikah duluan dengan Fahmi, lelaki pilihan Mamanya. Yang ternyata dia adalah lelaki baik.Seiring berjalannya waktu rasa luka masa lalu itu dengan pelan mulai sembuh, disembuhkan oleh lelaki baik yang bernama Reno. Malaikat yang dititipkan Allah untukku.‘’Ma, yuk kita jalan sekaran
Dua hari kemudian..Anak semata wayangku sudah bisa dibawa pulang, Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, walaupun dia sering memanggil nama Papanya. Terutama di saat tengah tertidur pulas. Sesuai prediksi Dokter Nira, anakku itu kemungkinan tengah merindu berat pada Papanya. Ditambah dia kekurangan istirahat, dia sering begadang karena tak bisa tidur beberapa hari kemarin.Aku pun sudah mencoba menghubungi nomor kontak Mas Deno, tapi nihil. Lelaki itu malah mereject telepon dariku, bahkan sudah berulangkali aku hubungi namun sekali pun tak diangkatnya. Apa dia tak kepikiran Naisya di sana? Apa dia tak mengalami hal yang sama seperti Naisya yang tengah rindu berat padanya? Atau karena dia sedang asyik bersama si pelakor itu? Jadi lupa sama anaknya? Aku menghela napas lega. Biarkan saja lelaki itu, toh dia tak kan mau peduli pada anakku. Biarkan saja aku yang membesarkan dan mendidik Naisya.****Hari ini aku bersyukur sekali, karena anakku bisa dibawa pulang. Aku mengusap kepala putr
Tanpa berkata apapun aku bergegas berpindah posisi duduk. Aku memeluk putriku di kursi belakang. Sedangkan lelaki yang bernama Reno itu langsung melajukan si roda empat. Ya, kali ini aku tak boleh egois. Yang paling penting sekarang Naisya tiba di rumah sakit dan mendapatkan perawatan dari dokter. Aku terus saja mengecup kening putriku yang tengah dalam pangkuan. Kubelai rambutnya.‘’Sayang, Adik pasti kuat. Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi kita pasti akan sampe di rumah sakit,’’ kataku lirih.Kuraba kepalanya, membuat aku semakin cemas. Panas anakku malah semakin naik.‘’Ya Allah! Kuatkan anakku. Sembuhkan dia.’’‘’Nel, kamu yang tenang ya. Banyakin berdo’a,’’ kata lelaki yang tengah fokus menyetir itu sesekali melirik ke belakang lewat kaca spion.Entah kenapa kali ini membuat hatiku lebih tenang. Ada apa denganku?Tak berselang lama mobilku sudah tiba di depan rumah sakit. Lelaki itu bergegas turun. Aku yang akan membuka pintu mobil membuat tanganku terhenti. Karena lelaki itu sud