Share

Bab 6

Penulis: RIANNA ZELINE
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-22 17:23:50

Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.

Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya.

“Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata.

Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi.

Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya.

“Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, lalu kudorong pelan tubuh Mas Evan agar pelukannya terlepas. “Aku kasihan sama si istri karena diselingkuhi suaminya. Padahal hubungan mereka tampak baik-baik saja. Menurutku si istri ini juga cantik loh, Mas. Kok tega ya suaminya malah selingkuh,” lanjutku.

Aku memicing, memperhatikan ekspresi di wajah Mas Evan yang tampak biasa. Bahkan masih bisa menunjukkan senyum lembut di bibirnya. Sungguh, melihat itu membuatku tersenyum sinis dalam hati.

“Ya, mungkin karena suaminya merasa tidak mendapatkan sesuatu yang dia inginkan dari istrinya, makanya dia selingkuh. Lagi pula itu hanya drama, ‘kan, Sayang. Ya berarti skenarionya sengaja dibuat sperti itu,” tuturnya yang disertai tawa kecil.

“Tapi walaupun cuma skenario ‘kan sering kali diambil dari realita kehidupan, Mas.”

Mas Evan mengangguk dengan senyum simpul. “Ya bisa jadi juga, sih,” jawabnya sembari melangkah meletakkan tas lalu membuka kancing kemejanya satu per satu dengan membelakangiku.

“Mas mau mandi dulu ya, udah gerah soalnya,” katanya sambil berbalik dan melangkah ke kamar mandi. Seolah sengaja menghindari pembicaraan yang menyangkut tentang perselingkuhan. Dia bahkan tampak menghindari bertatapan mata langsung denganku.

***

Aku begitu fokus menumis masakan di dapur saat tiba-tiba dua tangan melingkar pelan di perutku yang ramping. Memeluk dari belakang lalu mendaratkan sebuah kecupan. Tentu saja itu adalah Mas Evan. Namun, aku tak bereaksi. Membiarkan dagunya bersandar di atas pundak dan memperhatikanku memasak.

“Hmm, wanginya enak. Mas jadi gak sabar untuk memakannya,” ujarnya.

“Coba aku tahu Mas bakal pulang cepet, pasti udah aku siapin dari tadi,” jawabku.

“Nggak apa-apa, kok. Justru Mas seneng bisa nemenin kamu masak dulu kayak gini.”

“Daripada cuma nemenin, mending bantuin biar cepet selesai.” Aku menoleh ke samping sambil nyegir, melirik Mas Evan yang masih betah menyandarkan dagunya di atas pundakku. Hingga tawa kecil kudengar keluar dari mulutnya.

Dengan senang hati, Mas Evan berdiri di sampingku dengan tangannya yang cekatan membantu. Salah satu hal yang sering kita lakukan bersama. Dan sampai sekarang pun hal itu tak pernah berubah. Dan itulah yang membuatku merasa jatuh cinta setiap hari padanya.

Saat kegiatan memasak usai, kami pun menyiapkannya bersama-sama di atas meja. Menatanya dengan sempurna dan menciptakan suasana romantis yang sudah lama tidak terlaksana. Namun, bukannya merasa bahagia, aku justru teringat pada pesan Vania yang membahas makan malam romantis bersama Mas Evan. Seketika itu juga nafsu makanku pun menguap bersama udara sekitar.

“Kenapa diam? Apa ada yang kamu pikirkan?” tanya Mas Evan. Tangannya terulur mengambil piringku dan menuangkan makanan di atasnya tanpa kuminta. Salah satu bentuk perhatiannya dalam memanjakanku sejak dulu mulai awal menikah.

Aku menghela napas pelan. Tatapan seriusku mengarah pada Mas Evan. “Aku ingin bertanya tentang suatu hal yang serius, Mas.”

Mas Evan seketika memicing, tampak sekali dia merasa sedikit aneh dengan ucapanku. “Kenapa harus bilang dulu? Kamu ‘kan bebas mau bertanya apapun ke Mas,” jawabnya.

“Sebenarnya aku masih kepikiran soal drama itu, Mas. Aku jadi takut kalau itu terjadi pada kita,” ujarku ragu.

Mas Evan sedikit tersedak, lalu segera mengambil gelas di dekatnya yang sudah berisi air dan langsung meminumnya.

“Maksud kamu terjadi pada kita apa? Kamu mau selingkuh gitu?” tuduhnya. Nada yang terdengar tak hanya sebuah candaan di telinga, tapi seolah benar-benar menuduh bahwa aku akan melakukannya. Walaupun ada kekehan kecil, tapi aku rasa aku tak salah memaknai ucapannya.

Bibirku mengerucut sebal. “Kok aku, sih, Mas. ‘Kan yang aku tonton itu yang selingkuh si suami. Jadi ya aku takut kamu yang selingkuh, gitu.”

“Hahaha…! Kamu ini ada-ada saja, Sayang. Lagi pula kenapa aku harus selingkuh sedangkan aku sudah punya istri yang cantik, baik, pengertian, sayang sama aku, dan juga… pandai nyenengin suami di atas ranjang,” jawabnya santai, bahkan sengaja menggodaku pada kata-kata terakhir itu. Dia sengaja memelankan suaranya sambil menaik-turunkan alisnya.

“Ih, aku serius loh, Mas. Aku tuh khawatir.”

Lagi-lagi Mas Evan tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tangannya meraih punggung tanganku di atas meja dan mengelusnya lembut sambil berkata, “Makanya kamu jangan terlalu sering nonton drama, kalau ikut kebawa gini ‘kan jadi repot. Kamu sendiri yang akhirnya gak tenang.”

Aku terdiam dengan wajah sebal. Namun, Mas Evan seolah tak menganggap bahwa itu sebuah maslah besar dan justru fokus pada makanan. Ya, nasihatnya memang benar jika aku tak seharusnya terpengaruh akan sebuah drama. Tapi sayangnya drama yang kutonton adalah drama nyata di mana suamiku sendiri yang menjadi pemeran di dalamnya. Bagaimana mungkin aku bisa tetap tenang dan tidak gelisah?

Setelah ucapannya itu, aku semakin sadar bahwa dia sangat pandai menyembunyikan kebohongan. Sehingga dalam hati aku bertekad untuk membuatnya menyesal. Entah bagaimana caranya, tapi aku tidak akan membuang waktu terlalu lama. Lihat saja!

“Walaupun drama, aku rasa ada banyak kasus yang sama di luaran sana. Jadi sepertinya aku harus tetap waspada. Bukan begitu, Mas?” Sengaja aku menyindirnya dan menatapnya penuh keseriusan.

Mas Evan menghentikan makannya, lalu menatapku dengan sedikit bimbang yang coba dia sembunyikan. “Sudah, ya? Jangan membahas hal-hal yang bisa bikin kamu kepikiran kayak gini. Dalam hubungan rumah tangga seharusnya kita bisa saling percaya. Mas pasti akan menjaga hubungan kita, begitu pula sebaliknya,” jawabnya.

Aku mengangguk samar. Namun tersenyum kecut dalam hati mengetahui ada racun yang dibungkus madu pada setiap kata-katanya.

***

Siang ini aku pergi ke suatu tempat tanpa lebih dulu memberi tahu Mas Evan. Tentu saja, sebab aku sedang menyiapkan rencana besar untuknya. Rencana yang harus disusun dengan sangat matang, sehingga aku perlu meminta bantuan seseorang.

Aku memasuki sebuah perusahaan besar dengan ditemani Selina. Setiap langkah yang kupijak seiring ketukan heel di sepanjang koridor yang terus menggema. Hingga sampailah aku di depan ruangan bertuliskan CEO. Setelah mendapat arahan dari seorang sekretaris, aku dan Selina bergegas masuk ke dalam sana.

Di dalam sana, seorang pria tampan duduk tenang menatap kedatanganku dengan senyum lebar. Posturnya tinggi dengan tubuh atletis yang dibalut jas mahal. Bagaimana aku tahu bahwa dia memilki tubuh atletis? Tentu saja karena pria yang menjabat CEO itu adalah sahabat baik kakakku, namanya Rafael Dominic Elson. Usianya hanya terpaut tiga tahun denganku.

“Selamat datang, Bu Dinara. Silakan duduk!” ucap Rafael dengan senyum ramah namun penuh wibawa.

Aku mengangguk dengan senyum tipis, dan mengambil duduk di hadapannya dengan batasan meja. Begitu pula Selina yang mengambil tempat duduk tepat di sampingku. Namun, sebelum satu kata terucap, aku dan Rafael saling menatap untuk sesaat hingga tawa kecil keluar dari bibir kami berdua.

“Lama tidak bertemu, Pak Rafael. Maaf jika saya datang secara tiba-tiba,” ucapku masih dengan senyum tipis menghiasi wajah..

Rafael tertawa kecil lalu menggeleng pelan. “Bukan masalah, Dinara. Senang bisa bertemu denganmu lagi,” jawabnya yang beralih pada percakapan santai. “Jadi, apa yang membawamu ke sini? Apa ada yang bisa aku bantu?”

Aku menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan tujuanku datang. Meyakinkan diri sekali lagi bahwa Rafael adalah orang yang tepat untuk membantuku menyelesaikan masalah ini. Sehingga dengan nada pelan aku pun menjawab, “Maaf jika aku harus melibatkanmu dalam masalahku yang satu ini. Tapi aku tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa. Sebab aku tidak bisa jika harus meminta bantuan pada kakakku atau keluargaku.”

Rafael langsung mengernyit menatapku. “Memangnya masalah apa sampai kamu tidak bisa meminta bantuan keluargamu, bahkan kepada Ravin pun tidak. Apa ini menyangkut masalah keluarga?” tebaknya.

“Ya, tebakanmu benar Kak Rafael. Ini memang menyangkut masalah keluarga, lebih tepatnya masalah pribadiku dengan Mas Evan. Karena itulah aku tidak bisa meminta bantuan pada keluargaku. Apa kamu bersedia membantuku?” Aku menatap penuh harap pada Rafael yang masih menatapku dengan penuh tanya.

“Memangnya masalah apa sampai kamu berpikir akulah yang bisa membantumu?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 57

    Hujan baru saja reda. Sisa-sisa rintiknya masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah menggantung di udara. Suasana malam begitu sunyi ketika bel rumahku berbunyi. Aku melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan. Siapa yang datang malam-malam begini?Langkahku pelan menapaki lorong menuju pintu utama. Begitu kubuka, sosok tinggi berbalut jaket hitam berdiri di bawah teras, cahaya lampu kuning mengguratkan garis-garis letih di wajahnya."Kak Rafael?"Dia mengangguk pelan. Matanya menatapku, tenang namun penuh kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.“Aku nggak ganggu, 'kan?” tanyanya.Aku membuka pintu lebih lebar. “Nggak. Masuklah.”Tapi Kak Rafael menggeleng. “Aku nggak akan lama. Boleh kalau kita ngobrol di teras saja?”Aku mengangguk, mencoba menenangkan gelombang kecil di dada yang tiba-tiba muncul. Kami duduk berseberangan, hanya dipisahkan meja kecil dan dua cangkir teh yang baru saja kubuat.“Aku datang bukan untuk membuat segalanya lebih rumit,” katanya memulai. “Aku cu

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 56

    Pagi itu masih menyisakan jejak dari pesan semalam. Aku menatap layar ponselku yang kosong, berharap pesan ancaman itu masuk ke nomorku. Meski Kak Rafael sudah memintaku untuk tenang karena dia akan menyelidikinya, tapi rasa penasaranku tak bisa diredam begitu saja.Aku juga berharap bahwa pesan itu hanyalah mimpi buruk yang kebetulan terasa nyata. Tapi tidak. Ancaman itu nyata, dan entah siapa yang mengirimnya.Revan duduk di meja makan, menggambar sesuatu dengan krayon warna-warni. Tangannya kecil, tapi imajinasinya besar. Aku berusaha tersenyum, meski mataku menyimpan gelisah yang sulit disembunyikan."Mama, lihat!" serunya riang sambil menunjukkan gambar. Sebuah lingkaran dengan beberapa kotak di bagian kelilingnya."Apa ini bianglala yang kita naiki kemarin?" tanyaku, berusaha menebak gambarnya sekaligus mengalihkan pikiranku untuk fokus pada keluarga.Revan mengangguk dengan senyum lebar. Lalu melanjutkan lagi menggambar permainan lain yang ada dalam imajinasinya.Sejujurnya aku

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 55

    Dan itu pukulan telak.Aku tak bisa menolak Revan. Anak itu terlalu manis, terlalu polos untuk jadi korban dalam sandiwara orang dewasa. Maka, meski batinku berkecamuk, aku mengangguk perlahan."Baiklah," jawabku akhirnya.Kak Rafael tersenyum lega. Membuatku ikut merasakan hal yang sama. Tapi sayangnya masih ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaanku, yaitu Amelia.***Akhir pekan datang dengan langit cerah dan tawa anak-anak yang riuh di sekitar taman hiburan. Aku berdiri di samping Kak Rafael dan Revan yang sedang mengantre untuk naik komidi putar. Revan melompat-lompat kecil, menggenggam tangan Kak Rafael, lalu menarikku agar ikut bersama mereka."Aku mau duduk di kereta!" katanya ceria.Aku tersenyum, mengangguk, lalu mengikuti mereka. Di sepanjang wahana, Kak Rafael tak henti-hentinya menunjukkan perhatian—menawarkan air minum, memakaikan topi Revan, bahkan beberapa kali dengan sengaja menyentuh pundakku saat berjalan terlalu dekat.Aku mencoba menjauh, menjaga jarak. Tapi Rev

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 54

    "Halo, Ra."Suaranya terdengar, tapi kegugupanku masih belum sepenuhnya hilang.Kuhembus napas panjang lalu dengan nada pelan aku bertanya, "Halo, Kak Rafael. Apa bisa kita bertemu hari ini? Sepertinya ada masalah kecil yang harus kita selesaikan bersama."Aku menggigit bibir ragu. Masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan padanya. Padahal aku berusaha keras menghindar agar tidak lagi melibatkannya dalam masalahku. Tapi tetap saja, aku memang tak punya pilihan untuk menyelesaikannya sendiri. Aku butuh pendapatnya untuk masalah ini."Masalah kecil?" tanyanya dengan nada penasaran di seberang telepon."Aku akan jelaskan saat kita bertemu," jawabku dengan suara bergetar ragu.Entahlah, setelah berusaha keras menghindar dan kini harus kembali mendekat, aku merasa sulit mengontrol debaran jantungku yang terus berdegup kencang. Aku merasa seperti orang jahat yang hanya butuh bantuannya saat terdesak."Baiklah, di cafe seperti biasa siang ini. Bagaimana?" tanyanya."Tidak masalah

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 53

    Kupeluk dan kuusap lembut punggung Revan saat tangannya melingkar erat di kakiku.Bu Maureen tampak terpaku. Matanya membelalak kecil, lalu mengalihkan pandangannya padaku, lalu Revan, lalu kembali lagi padaku."Dia… anak kamu?" tanyanya dengan suara lembut.Aku hanya mengangguk kecil tanpa menjelaskan. Tapi sebelum Bu Maureen sempat bertanya lebih jauh, suara Mas Evan terdengar menyahuti."Seperti yang sudah Evan bilang, Ma. Dinara sudah menikah. Dia Revan, putra Dinara yang usianya hampir sama dengan Vano."Bu Maureen tak bereaksi atas pernyataan itu. Tatapannya justru tetap terpaku pada Revan yang kini berdiri sambil memegang jariku.Senyum lembut muncul di wajah Bu Maureen, entah karena haru atau kenangan. Yang jelas jantungku masih terus berdegup kencang. Ada ketakutan yang tiba-tiba menjalar. Mungkinkah Bu Maureen akan mengenali Revan sebagai cucunya?Bu Maureen berjongkok perlahan di depan Revan, penuh kehangatan. "Namamu siapa, Nak?" tanyanya lembut."Revan," jawabnya polos. T

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 52

    Aku memutar tubuhku menghadap tepat ke arahnya. Tatapanku tajam, penuh emosi. "Apa aku yang harus mengingatnya? Lalu bagaimana saat kamu memutuskan bersenang-senang bersama Vania? Kamu bahkan lupa bahwa aku adalah istrimu yamg menunggu di rumah. Aku yang mengkhawatirkanmu saat kamu justru meraih kenikmatan bersama Vania. Dan sekarang kamu masih ingin aku mengingat semua kebersamaan dan cinta yang pernah ada di antara kita? Cih! Aku lebih ingin menghapusnya daripada mengingatnya.""Tapi itu hanya kesalahan kecil saja, Dinara. Kenapa kamu tidak bisa memaafkannya?""Apa! Kesalahan kecil kamu bilang? Lama-lama nggak waras ya otak kamu, Mas!" Aku menatap tak percaya dengan ucapannya, yang begitu mudah menganggap masalah itu hanyalah masalah kecil yang pantas untuk dimaafkan."Mungkin bagi kamu itu hanya masalah kecil, Mas. Tapi bagiku, itu masalah serius yang tidak mudah untuk dimaafkan begitu saja. Tidak mudah bagi aku menghapus semua pengkhianatan yang sudah jelas di mataku. Bahkan serib

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status