Mas Evan tersenyum, lalu berbalik dan menutup pintu. Sebelum langkahnya kembali menuju ke arahku, segera kumatikan video dan keluar dari semua folder yang sedang kubuka. Lalu menutup laptop begitu saja tanpa mematikannya. Tak lupa berkas lain pun aku kemas rapi seperti sedia kala.
Aku berdiri saat Mas Evan sudah berada di sampingku. Ada senyum hangat di bibirnya. Membuatku terpaksa membalas senyumnya. “Kamu habis nangis? Kenapa?” tanyanya, wajahnya berubah panik, sambil tangannya terulur menyentuh pipiku yang sudah memerah. Sorot matanya seolah mencari sesuatu yang membuatku berurai air mata. Sengaja aku tersenyum lebar hingga deretan gigiku terlihat. “Itu Mas, aku baru saja nonton drakor sedih, makanya aku ikut nangis,” jawabku beralibi. Mas Evan menghela napas lega. “Astaga, Mas pikir kenapa. Memangnya ceritanya tentang apa sampai berhasil buat kamu nangis? Hm?” tanyanya sembari menarik tubuhku dalam pelukannya. “Emm, itu soal perselingkuhan, Mas,” jawabku yang sengaja memancing, lalu kudorong pelan tubuh Mas Evan agar pelukannya terlepas. “Aku kasihan sama si istri karena diselingkuhi suaminya. Padahal hubungan mereka tampak baik-baik saja. Menurutku si istri ini juga cantik loh, Mas. Kok tega ya suaminya malah selingkuh,” lanjutku. Aku memicing, memperhatikan ekspresi di wajah Mas Evan yang tampak biasa. Bahkan masih bisa menunjukkan senyum lembut di bibirnya. Sungguh, melihat itu membuatku tersenyum sinis dalam hati. “Ya, mungkin karena suaminya merasa tidak mendapatkan sesuatu yang dia inginkan dari istrinya, makanya dia selingkuh. Lagi pula itu hanya drama, ‘kan, Sayang. Ya berarti skenarionya sengaja dibuat sperti itu,” tuturnya yang disertai tawa kecil. “Tapi walaupun cuma skenario ‘kan sering kali diambil dari realita kehidupan, Mas.” Mas Evan mengangguk dengan senyum simpul. “Ya bisa jadi juga, sih,” jawabnya sembari melangkah meletakkan tas lalu membuka kancing kemejanya satu per satu dengan membelakangiku. “Mas mau mandi dulu ya, udah gerah soalnya,” katanya sambil berbalik dan melangkah ke kamar mandi. Seolah sengaja menghindari pembicaraan yang menyangkut tentang perselingkuhan. Dia bahkan tampak menghindari bertatapan mata langsung denganku. *** Aku begitu fokus menumis masakan di dapur saat tiba-tiba dua tangan melingkar pelan di perutku yang ramping. Memeluk dari belakang lalu mendaratkan sebuah kecupan. Tentu saja itu adalah Mas Evan. Namun, aku tak bereaksi. Membiarkan dagunya bersandar di atas pundak dan memperhatikanku memasak. “Hmm, wanginya enak. Mas jadi gak sabar untuk memakannya,” ujarnya. “Coba aku tahu Mas bakal pulang cepet, pasti udah aku siapin dari tadi,” jawabku. “Nggak apa-apa, kok. Justru Mas seneng bisa nemenin kamu masak dulu kayak gini.” “Daripada cuma nemenin, mending bantuin biar cepet selesai.” Aku menoleh ke samping sambil nyegir, melirik Mas Evan yang masih betah menyandarkan dagunya di atas pundakku. Hingga tawa kecil kudengar keluar dari mulutnya. Dengan senang hati, Mas Evan berdiri di sampingku dengan tangannya yang cekatan membantu. Salah satu hal yang sering kita lakukan bersama. Dan sampai sekarang pun hal itu tak pernah berubah. Dan itulah yang membuatku merasa jatuh cinta setiap hari padanya. Saat kegiatan memasak usai, kami pun menyiapkannya bersama-sama di atas meja. Menatanya dengan sempurna dan menciptakan suasana romantis yang sudah lama tidak terlaksana. Namun, bukannya merasa bahagia, aku justru teringat pada pesan Vania yang membahas makan malam romantis bersama Mas Evan. Seketika itu juga nafsu makanku pun menguap bersama udara sekitar. “Kenapa diam? Apa ada yang kamu pikirkan?” tanya Mas Evan. Tangannya terulur mengambil piringku dan menuangkan makanan di atasnya tanpa kuminta. Salah satu bentuk perhatiannya dalam memanjakanku sejak dulu mulai awal menikah. Aku menghela napas pelan. Tatapan seriusku mengarah pada Mas Evan. “Aku ingin bertanya tentang suatu hal yang serius, Mas.” Mas Evan seketika memicing, tampak sekali dia merasa sedikit aneh dengan ucapanku. “Kenapa harus bilang dulu? Kamu ‘kan bebas mau bertanya apapun ke Mas,” jawabnya. “Sebenarnya aku masih kepikiran soal drama itu, Mas. Aku jadi takut kalau itu terjadi pada kita,” ujarku ragu. Mas Evan sedikit tersedak, lalu segera mengambil gelas di dekatnya yang sudah berisi air dan langsung meminumnya. “Maksud kamu terjadi pada kita apa? Kamu mau selingkuh gitu?” tuduhnya. Nada yang terdengar tak hanya sebuah candaan di telinga, tapi seolah benar-benar menuduh bahwa aku akan melakukannya. Walaupun ada kekehan kecil, tapi aku rasa aku tak salah memaknai ucapannya. Bibirku mengerucut sebal. “Kok aku, sih, Mas. ‘Kan yang aku tonton itu yang selingkuh si suami. Jadi ya aku takut kamu yang selingkuh, gitu.” “Hahaha…! Kamu ini ada-ada saja, Sayang. Lagi pula kenapa aku harus selingkuh sedangkan aku sudah punya istri yang cantik, baik, pengertian, sayang sama aku, dan juga… pandai nyenengin suami di atas ranjang,” jawabnya santai, bahkan sengaja menggodaku pada kata-kata terakhir itu. Dia sengaja memelankan suaranya sambil menaik-turunkan alisnya. “Ih, aku serius loh, Mas. Aku tuh khawatir.” Lagi-lagi Mas Evan tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Tangannya meraih punggung tanganku di atas meja dan mengelusnya lembut sambil berkata, “Makanya kamu jangan terlalu sering nonton drama, kalau ikut kebawa gini ‘kan jadi repot. Kamu sendiri yang akhirnya gak tenang.” Aku terdiam dengan wajah sebal. Namun, Mas Evan seolah tak menganggap bahwa itu sebuah maslah besar dan justru fokus pada makanan. Ya, nasihatnya memang benar jika aku tak seharusnya terpengaruh akan sebuah drama. Tapi sayangnya drama yang kutonton adalah drama nyata di mana suamiku sendiri yang menjadi pemeran di dalamnya. Bagaimana mungkin aku bisa tetap tenang dan tidak gelisah? Setelah ucapannya itu, aku semakin sadar bahwa dia sangat pandai menyembunyikan kebohongan. Sehingga dalam hati aku bertekad untuk membuatnya menyesal. Entah bagaimana caranya, tapi aku tidak akan membuang waktu terlalu lama. Lihat saja! “Walaupun drama, aku rasa ada banyak kasus yang sama di luaran sana. Jadi sepertinya aku harus tetap waspada. Bukan begitu, Mas?” Sengaja aku menyindirnya dan menatapnya penuh keseriusan. Mas Evan menghentikan makannya, lalu menatapku dengan sedikit bimbang yang coba dia sembunyikan. “Sudah, ya? Jangan membahas hal-hal yang bisa bikin kamu kepikiran kayak gini. Dalam hubungan rumah tangga seharusnya kita bisa saling percaya. Mas pasti akan menjaga hubungan kita, begitu pula sebaliknya,” jawabnya. Aku mengangguk samar. Namun tersenyum kecut dalam hati mengetahui ada racun yang dibungkus madu pada setiap kata-katanya. *** Siang ini aku pergi ke suatu tempat tanpa lebih dulu memberi tahu Mas Evan. Tentu saja, sebab aku sedang menyiapkan rencana besar untuknya. Rencana yang harus disusun dengan sangat matang, sehingga aku perlu meminta bantuan seseorang. Aku memasuki sebuah perusahaan besar dengan ditemani Selina. Setiap langkah yang kupijak seiring ketukan heel di sepanjang koridor yang terus menggema. Hingga sampailah aku di depan ruangan bertuliskan CEO. Setelah mendapat arahan dari seorang sekretaris, aku dan Selina bergegas masuk ke dalam sana. Di dalam sana, seorang pria tampan duduk tenang menatap kedatanganku dengan senyum lebar. Posturnya tinggi dengan tubuh atletis yang dibalut jas mahal. Bagaimana aku tahu bahwa dia memilki tubuh atletis? Tentu saja karena pria yang menjabat CEO itu adalah sahabat baik kakakku, namanya Rafael Dominic Elson. Usianya hanya terpaut tiga tahun denganku. “Selamat datang, Bu Dinara. Silakan duduk!” ucap Rafael dengan senyum ramah namun penuh wibawa. Aku mengangguk dengan senyum tipis, dan mengambil duduk di hadapannya dengan batasan meja. Begitu pula Selina yang mengambil tempat duduk tepat di sampingku. Namun, sebelum satu kata terucap, aku dan Rafael saling menatap untuk sesaat hingga tawa kecil keluar dari bibir kami berdua. “Lama tidak bertemu, Pak Rafael. Maaf jika saya datang secara tiba-tiba,” ucapku masih dengan senyum tipis menghiasi wajah.. Rafael tertawa kecil lalu menggeleng pelan. “Bukan masalah, Dinara. Senang bisa bertemu denganmu lagi,” jawabnya yang beralih pada percakapan santai. “Jadi, apa yang membawamu ke sini? Apa ada yang bisa aku bantu?” Aku menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan tujuanku datang. Meyakinkan diri sekali lagi bahwa Rafael adalah orang yang tepat untuk membantuku menyelesaikan masalah ini. Sehingga dengan nada pelan aku pun menjawab, “Maaf jika aku harus melibatkanmu dalam masalahku yang satu ini. Tapi aku tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa. Sebab aku tidak bisa jika harus meminta bantuan pada kakakku atau keluargaku.” Rafael langsung mengernyit menatapku. “Memangnya masalah apa sampai kamu tidak bisa meminta bantuan keluargamu, bahkan kepada Ravin pun tidak. Apa ini menyangkut masalah keluarga?” tebaknya. “Ya, tebakanmu benar Kak Rafael. Ini memang menyangkut masalah keluarga, lebih tepatnya masalah pribadiku dengan Mas Evan. Karena itulah aku tidak bisa meminta bantuan pada keluargaku. Apa kamu bersedia membantuku?” Aku menatap penuh harap pada Rafael yang masih menatapku dengan penuh tanya. “Memangnya masalah apa sampai kamu berpikir akulah yang bisa membantumu?”Genggaman kasar di lenganku membuat tubuhku nyaris tak berdaya. Napasku sudah tidak beraturan, tapi mataku terus mencari celah. Hingga sebuah suara lain membuat darahku seakan berhenti mengalir.Klik.Pintu belakang mobilku terbuka. Aku menoleh cepat, jantungku mencelos. Dua pria lain—si perokok dan yang berperawakan ramping—bergerak ke arah kursi belakang mobilku.“Jangan!” suaraku pecah, panik.Terlambat. Tangan besar mereka meraih tubuh kecil Revan yang sedang tertidur pulas di kursi belakang. Satu orang mengangkatnya dengan gerakan cepat, seolah anak itu hanyalah boneka ringan.Revan sempat tergerak, kelopak matanya bergetar. Lalu, begitu tubuhnya berpindah dari kursi nyaman ke gendongan kasar orang asing, ia terbangun. Matanya melebar, bingung, sebelum akhirnya tangisan keras meledak dari mulut mungilnya.“Mamaaaa!” jeritnya, suara yang menghantam jantungku lebih keras daripada apa pun.Aku berteriak, histeris. “Lepaskan dia! Jangan sentuh anakku!”Tubuhku meronta liar, berusaha
Jalanan malam itu sunyi, hanya cahaya lampu jalan yang menyoroti aspal yang basah, entah sisa air dari mana. Jantungku berdentum begitu cepat, seperti berusaha melompat keluar dari dadaku, saat pintu mobil hitam itu terbuka dan satu bayangan besar turun dari dalamnya. Namun ternyata, bukan satu orang.Dua pria menyusul keluar hampir bersamaan. Wajah mereka keras, dingin, tanpa ekspresi ramah sedikit pun. Salah satunya memakai jaket kulit hitam lusuh, tatapannya tajam, sorot matanya seperti binatang buas yang sudah mengunci mangsanya. Yang lain berperawakan lebih ramping, tapi rahangnya mengeras dengan otot-otot wajah yang tegas, seperti orang yang terbiasa memberi perintah. Satu lagi menyalakan rokok, kepulan asap putih keluar dari bibirnya, membuat suasana semakin mencekam.Aku tetap berada di dalam mobil. Tangan kiriku menggenggam erat setir, sementara tangan kanan bergetar di atas tombol kunci otomatis. Aku tahu satu hal: jangan panik.Salah satu dari mereka—pria berjaket kulit—mel
Kiano duduk di kursinya, condong ke arah Vania yang kini sedikit miring menghadapnya. Tangannya terulur, jemari panjangnya mengelus lembut kepala Vania, gerakannya perlahan, intim… terlalu intim. Lalu, tanpa jeda, tangannya bergeser ke pipi wanita itu. Sentuhan itu bukan sekadar sapaan keluarga—terlalu lembut, terlalu penuh makna.Darahku seperti berhenti mengalir saat melihat Vania menutup matanya sesaat, seolah menikmati sentuhan itu. Dan sebelum aku sempat memproses apa yang terjadi, dia bergerak maju, memagut bibir Kiano. Bukan ciuman singkat atau basa-basi. Tidak. Itu adalah ciuman yang sarat gairah—dengan kepala sedikit miring, bibirnya menekan milik Kiano dengan kesadaran penuh akan apa yang ia lakukan.Aku merasa seluruh udara di paru-paruku menguap. Tanganku refleks menggenggam sisi rak pajangan, mencoba menahan getaran di tubuhku. Suara di kepalaku bising—pertanyaan demi pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Bagaimana bisa? Di rumah ini? Di meja makan yang sama? Saat Mas Evan
Seketika aku berhenti mengunyah. Kuangkat sedikit wajah hingga sorot mataku jatuh tepat di mata Vania. Senyumnya menyeringai, jelas ia sedang memancing masalah denganku. Tapi, aku masih tak bisa menebak tujuannya berkata seperti itu. Apalagi harusnya ia tak senang jika tahu anak itu memang darah daging Mas Evan. Tapi kenapa ia justru tersenyum penuh misteri. Apa yang sebenarnya diinginkan Vania?Kulirik Mas Evan yang seketika mengamati wajah Revan dengan serius. Jujur saja hal itu membuat jantungku semakin berdebar kencang. Pikiranku mulai sibuk mencari alasan atau sekedar mengalihkan perhatian."Bagaimana mungkin kamu berpikir seperti itu?" ucapku dengan tenang. "Revan itu mirip denganku. Bukankah tidak aneh jika anak laki-laki lebih mirip dengan ibunya ketimbang ayahnya? Pun sama dengan anak perempuan yang kebanyakan lebih mirip ayahnya ketimbang ibunya."Vania membuang napas kasar, tapi senyum seringai di bibirnya itu sama sekali tidak pudar."Memang itulah yang seharusnya. Sebab a
Di bagian sudut terjauh cafe, Vania duduk mesra dengan pria yang pernah menemaninya belanja. Pria yang dikenalkan sebagai sepupunya di hadapanku. Tapi kedekatan itu, terasa ganjil di mataku.Mereka tertawa bersama. Kadang kepala Vania bersandar sejenak di pundak pria itu. Bahkan ia juga disuapi dengan penuh kelembutan bak pasangan muda yang sedang kasmaran. Tapi, jelas itu bukan hal yang wajar. Mungkinkah pria itu sebenarnya adalah seorang selingkuhan?Ingin aku abaikan dan tak peduli urusan mereka. Tapi mataku seolah enggan berpaling dan terus mencuri pandang. Sampai akhirnya aku mengambil ponsel. Lalu dengan hati-hati aku merekam aktivitas mereka di kejauhan. Entah akan kuberikan pada Mas Evan atau tidak, tapi semoga ini akan berguna di kemudian hari.Setelah merekam dan kupastikan jika wajah keduanya cukup jelas di dalam layar, aku mengirim rekaman itu pada Selina. "Selidiki pria yang ada dalam video itu. Termasuk hubungannya dengan wanita di sampingnya," titahku d
Hembusan napas panjang keluar perlahan. Kucoba tenang meski ada ketakutan yang menjalar. Tapi rasa penasaran itu semakin membesar. "Kalau boleh tahu, sedekat apa kamu dengannya?" tanyaku menyelidik. Selina semakin menautkan dua alisnya. Jelas dia curiga dari caraku bertanya. "Tidak dekat, Bu. Hanya sekedar tahu saja. Memangnya kenapa Anda menanyakan hal itu? Apa ada masalah?" "Tidak apa-apa. Aku lihat akhir-akhir ini dia dekat dengan Kak Rafael. Mungkin kamu tahu sesuatu tentang mereka? Aku sengaja tak langsung mengungkap niatku yang sebenarnya. Mencoba memancing seberapa jauh Selina mengenal Amelia. Kutatap dan kuperhatikan Selina dengan serius untuk membaca ekspresi di wajahnya. Namun, Selina justru tersenyum penuh arti menatapku. Seketika aku sadar akan apa yang saat ini dipikirkan Selina tentangku. "Sepertinya ada benih cemburu, nih!" godanya. Aku mendelik, lalu segera menyangkalnya. "Bukan itu maksudku. Jangan menuduh yang tidak-tidak," kataku sambil memalingkan wajah. Se