Share

Bab 5

Author: RIANNA ZELINE
last update Last Updated: 2025-03-19 15:55:00

Mendengar hal itu, perasaanku menjadi tidak tenang. Sebenarnya aku sudah menebak jika kecurigaanku selama ini tidaklah salah. Tapi, demi membuktikan semua itu, aku meraih berkas-berkas yang Selina berikan meski dengan tangan gemetar. Begitu melihat apa yang ada di lembar paling atas, seketika kurasakan air mata langsung menggenang.

Bagaimana tidak? Hatiku terasa ditikam ribuan pedang, disayat sembilu tajam, dan dihantam batu besar, hingga sebagian nyawaku terasa hilang. Lembar yang kulihat adalah sebuah foto di mana Mas Evan dengan mesranya mencium pipi seorang wanita yang sangat kukenal. Vania Priscilla, sekretaris pribadi Mas Evan. Foto lain menunjukkan bagaimana Mas Evan memeluk erat Vania sambil mencium kening wanita itu.

Air mataku luruh. Meski sudah berhari-hari kusiapkan diri menerima kenyataan ini, tapi tetap saja hatiku rasanya sakit sekali. Rasanya masih tak percaya jika Mas Evan tega mengkhianati.

“Apa aku tidak cukup baik menjadi seorang istri, Sel?” tanyaku dengan tatapan nanar. Pandanganku buram dipenuhi genangan air mata yang terus keluar.

“Apa aku tidak cukup cantik?”

“Apa aku adalah wanita yang tidak cukup menarik bagi seorang pria? Sampai Mas Evan tega mendua?”

Aku menangis terisak, kututup wajahku dengan kedua tangan setelah meletakkan semua bukti-bukti itu di atas pangkuan. Dapat kudengar Selina bangkit dan melangkah duduk di sampingku. Tangannya dengan lembut mengusap pundak dan punggungku.

“Bu Dinara sabar, ya. Yang tenang. Saya tahu ini pasti menyakitkan, tapi tolong jangan salahkan diri Anda sendiri,” ujar Selina padaku.

“Bahkan menurut saya, Bu Dinara sudah cukup sempurna untuk menjadi seorang istri. Cantik, menarik, perhatian dan berkelas. Bu Dinara juga mencintai Pak Evan dengan tulus. Jadi kalau Pak Evan selingkuh, saya rasa yang salah adalah dia, bukan Anda,” ujarnya lagi.

Aku tahu Selina mencoba menghibur dan menguatkanku, tapi tetap saja, aku belum bisa menerima kenyataan ini dengan mudah. Air mataku terus tumpah. Sakitnya menjalar pada aliran pembuluh darah. Hingga aku merasa tak sanggup menghadapi apa yang kualami saat ini.

Kuhela napas kasar demi mengurai sesak yang begitu menyiksa. Kusandarkan punggungku dan menatap kosong ke depan. Sementara Selina pun ikut diam sambil tetap mengelus lembut lenganku.

“Menurutmu apa yang harus aku lakukan pada mereka berdua?” tanyaku dengan nada bergetar. Tubuhku terasa lemas, seolah harapan hidup menguap entah ke mana.

Helaan napas keluar dari mulut Selina sebelum akhirnya menjawab, “Mungkin sebaiknya dibicarakan baik-baik dulu dengan Pak Evan atau pihak keluarga, Bu.”

Aku mendengkus. “Aku tidak yakin Mas Evan akan mengakui perbuatannya. Bahkan jika dia mengakui dan memohon maaf pun, suatu saat dia akan mengulanginya,” jawabku putus asa.

“Tapi bukankah lebih baik jika semuanya diselesaikan dengan bicara? Siapa tahu ada keajaiban yang membuat Pak Evan menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya.”

“Menurutmu begitu?” tanyaku dengan nada tak begitu yakin.

Selina menunduk. “Saya juga tidak sepenuhnya yakin, tapi saya rasa setiap masalah rumah tangga harus dibicarakan lebih dulu agar bisa dicari solusinya,” jawabnya bijak.

***

Aku terdiam di kamar. Mataku sembab bekas tangisan. Tapi, air mata yang terlanjur bercucuran tak serta merta membuatku merasa baik-baik saja.

Meski kini kepalaku bersandar pada headboard ranjang, tapi tanganku masih sibuk membuka lembar demi lembar bukti perselingkuhan Mas Evan. Namun, masih ada bukti video yang sampai sekarang belum kuputar. Aku ragu. Takut jika aku tak mampu menahan diriku. Melihat foto mesra mereka saja sudah membuatku merasa sangat terluka, bagaimana jika aku melihat langsung videonya?

Tak ingin mati penasaran, segera kunyalakan laptop dan memasukkan flasdisk untuk melihat video apa saja yang sudah berhasil direkam oleh orang suruhan Selina. Lagi-lagi jantungku bak genderang perang saat tanganku yang gemetar mulai sibuk membuat sentuhan di atas touchpad. Dan setelah beberapa kali sentuhan, sebuah folder yang berisi 3 video akhirnya terpampang di layar. Segera kuklik salah satu agar tak membuang waktu.

Video mulai berjalan dan memperlihatkan suasana di dalam mobil Mas Evan. Senyumnya merekah dengan tatapan ke luar jendela. Hingga saat pintu mobil terbuka, Vania masuk ke dalam dan duduk di samping Mas Evan dengan penampilan yang menawan.

“Ya Tuhan!” Aku menutup mulut bersamaan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata. Mas Evan, dengan begitu posesif menarik Vania dan mencium bibir wanita itu dengan penuh gairah.

“Tahan dulu dong, Mas! Nanti keterusan lagi, main di sini,” ucap Vania sambil mendorong pelan tubuh Mas Evan. Dia juga tersenyum manja sambil membenahi blazernya yang sempat terbuka akibat perbuatan Mas Evan.

“Habisnya udah gak tahan, nih!” jawab Mas Evan. Tak ada keraguan sama sekali dari ucapan dan raut wajahnya.

Selama dalam perjalanan itu, tak ada percakapan serius yang mereka bahas, kecuali belanja, makan dan bersenang-senang.

Sejenak aku terdiam setelah video pertama selesai diputar. Namun sudah kepalang basah, aku pun melanjutkan pada video kedua. Jika video yang pertama berhasil membuatku menutup mulut dengan rasa tak percaya, justru pada video kedua membuatku tak sanggup melihatnya.

Di dalam ruang remang-remang yang aku yakini adalah sebuah kamar, Mas Evan dan Vania telah begulat di atas ranjang. Saling mencumbu dan memuaskan hasrat binatang. Mengecup dan memberikan sentuhan-sentuhan terlarang demi merasakan kenikmatan.

“Kamu sangat pandai memuaskanku, Sayang,” ucap Mas Evan dengan napasnya yang memburu setelah berhasil menyemburkan lava pijar.

Aku tak mengerti, apa yang ada dalam pikiran Mas Evan sampai dia begitu menikmati permainan itu. Apakah benar Vania lebih bisa memuaskannya daripada aku?

Seketika tanganku mengepal. Ingin sekali kuluapkan amarahku pada Selina yang sudah memberikanku video seperti ini. Tapi aku juga ingin berterima kasih atas keberaniannya yang mampu menyewa orang sampai bisa merekam aktivitas tak bermoral suamiku dengan selingkuhannya.

Cklek!

Aku terkesiap saat mendengar pintu kamarku terbuka. Begitu aku menoleh, Mas Evan sudah berdiri di sana.

“Mas, tumben kamu sudah pulang?” tanyaku gugup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 57

    Hujan baru saja reda. Sisa-sisa rintiknya masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah menggantung di udara. Suasana malam begitu sunyi ketika bel rumahku berbunyi. Aku melirik jam dinding. Hampir pukul sembilan. Siapa yang datang malam-malam begini?Langkahku pelan menapaki lorong menuju pintu utama. Begitu kubuka, sosok tinggi berbalut jaket hitam berdiri di bawah teras, cahaya lampu kuning mengguratkan garis-garis letih di wajahnya."Kak Rafael?"Dia mengangguk pelan. Matanya menatapku, tenang namun penuh kegelisahan yang tak bisa dia sembunyikan.“Aku nggak ganggu, 'kan?” tanyanya.Aku membuka pintu lebih lebar. “Nggak. Masuklah.”Tapi Kak Rafael menggeleng. “Aku nggak akan lama. Boleh kalau kita ngobrol di teras saja?”Aku mengangguk, mencoba menenangkan gelombang kecil di dada yang tiba-tiba muncul. Kami duduk berseberangan, hanya dipisahkan meja kecil dan dua cangkir teh yang baru saja kubuat.“Aku datang bukan untuk membuat segalanya lebih rumit,” katanya memulai. “Aku cu

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 56

    Pagi itu masih menyisakan jejak dari pesan semalam. Aku menatap layar ponselku yang kosong, berharap pesan ancaman itu masuk ke nomorku. Meski Kak Rafael sudah memintaku untuk tenang karena dia akan menyelidikinya, tapi rasa penasaranku tak bisa diredam begitu saja.Aku juga berharap bahwa pesan itu hanyalah mimpi buruk yang kebetulan terasa nyata. Tapi tidak. Ancaman itu nyata, dan entah siapa yang mengirimnya.Revan duduk di meja makan, menggambar sesuatu dengan krayon warna-warni. Tangannya kecil, tapi imajinasinya besar. Aku berusaha tersenyum, meski mataku menyimpan gelisah yang sulit disembunyikan."Mama, lihat!" serunya riang sambil menunjukkan gambar. Sebuah lingkaran dengan beberapa kotak di bagian kelilingnya."Apa ini bianglala yang kita naiki kemarin?" tanyaku, berusaha menebak gambarnya sekaligus mengalihkan pikiranku untuk fokus pada keluarga.Revan mengangguk dengan senyum lebar. Lalu melanjutkan lagi menggambar permainan lain yang ada dalam imajinasinya.Sejujurnya aku

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 55

    Dan itu pukulan telak.Aku tak bisa menolak Revan. Anak itu terlalu manis, terlalu polos untuk jadi korban dalam sandiwara orang dewasa. Maka, meski batinku berkecamuk, aku mengangguk perlahan."Baiklah," jawabku akhirnya.Kak Rafael tersenyum lega. Membuatku ikut merasakan hal yang sama. Tapi sayangnya masih ada sesuatu yang mengganjal dalam perasaanku, yaitu Amelia.***Akhir pekan datang dengan langit cerah dan tawa anak-anak yang riuh di sekitar taman hiburan. Aku berdiri di samping Kak Rafael dan Revan yang sedang mengantre untuk naik komidi putar. Revan melompat-lompat kecil, menggenggam tangan Kak Rafael, lalu menarikku agar ikut bersama mereka."Aku mau duduk di kereta!" katanya ceria.Aku tersenyum, mengangguk, lalu mengikuti mereka. Di sepanjang wahana, Kak Rafael tak henti-hentinya menunjukkan perhatian—menawarkan air minum, memakaikan topi Revan, bahkan beberapa kali dengan sengaja menyentuh pundakku saat berjalan terlalu dekat.Aku mencoba menjauh, menjaga jarak. Tapi Rev

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 54

    "Halo, Ra."Suaranya terdengar, tapi kegugupanku masih belum sepenuhnya hilang.Kuhembus napas panjang lalu dengan nada pelan aku bertanya, "Halo, Kak Rafael. Apa bisa kita bertemu hari ini? Sepertinya ada masalah kecil yang harus kita selesaikan bersama."Aku menggigit bibir ragu. Masih tidak yakin dengan apa yang baru saja kukatakan padanya. Padahal aku berusaha keras menghindar agar tidak lagi melibatkannya dalam masalahku. Tapi tetap saja, aku memang tak punya pilihan untuk menyelesaikannya sendiri. Aku butuh pendapatnya untuk masalah ini."Masalah kecil?" tanyanya dengan nada penasaran di seberang telepon."Aku akan jelaskan saat kita bertemu," jawabku dengan suara bergetar ragu.Entahlah, setelah berusaha keras menghindar dan kini harus kembali mendekat, aku merasa sulit mengontrol debaran jantungku yang terus berdegup kencang. Aku merasa seperti orang jahat yang hanya butuh bantuannya saat terdesak."Baiklah, di cafe seperti biasa siang ini. Bagaimana?" tanyanya."Tidak masalah

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 53

    Kupeluk dan kuusap lembut punggung Revan saat tangannya melingkar erat di kakiku.Bu Maureen tampak terpaku. Matanya membelalak kecil, lalu mengalihkan pandangannya padaku, lalu Revan, lalu kembali lagi padaku."Dia… anak kamu?" tanyanya dengan suara lembut.Aku hanya mengangguk kecil tanpa menjelaskan. Tapi sebelum Bu Maureen sempat bertanya lebih jauh, suara Mas Evan terdengar menyahuti."Seperti yang sudah Evan bilang, Ma. Dinara sudah menikah. Dia Revan, putra Dinara yang usianya hampir sama dengan Vano."Bu Maureen tak bereaksi atas pernyataan itu. Tatapannya justru tetap terpaku pada Revan yang kini berdiri sambil memegang jariku.Senyum lembut muncul di wajah Bu Maureen, entah karena haru atau kenangan. Yang jelas jantungku masih terus berdegup kencang. Ada ketakutan yang tiba-tiba menjalar. Mungkinkah Bu Maureen akan mengenali Revan sebagai cucunya?Bu Maureen berjongkok perlahan di depan Revan, penuh kehangatan. "Namamu siapa, Nak?" tanyanya lembut."Revan," jawabnya polos. T

  • Kusiapkan Perpisahan Terindah   Bab 52

    Aku memutar tubuhku menghadap tepat ke arahnya. Tatapanku tajam, penuh emosi. "Apa aku yang harus mengingatnya? Lalu bagaimana saat kamu memutuskan bersenang-senang bersama Vania? Kamu bahkan lupa bahwa aku adalah istrimu yamg menunggu di rumah. Aku yang mengkhawatirkanmu saat kamu justru meraih kenikmatan bersama Vania. Dan sekarang kamu masih ingin aku mengingat semua kebersamaan dan cinta yang pernah ada di antara kita? Cih! Aku lebih ingin menghapusnya daripada mengingatnya.""Tapi itu hanya kesalahan kecil saja, Dinara. Kenapa kamu tidak bisa memaafkannya?""Apa! Kesalahan kecil kamu bilang? Lama-lama nggak waras ya otak kamu, Mas!" Aku menatap tak percaya dengan ucapannya, yang begitu mudah menganggap masalah itu hanyalah masalah kecil yang pantas untuk dimaafkan."Mungkin bagi kamu itu hanya masalah kecil, Mas. Tapi bagiku, itu masalah serius yang tidak mudah untuk dimaafkan begitu saja. Tidak mudah bagi aku menghapus semua pengkhianatan yang sudah jelas di mataku. Bahkan serib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status