Zura sedang duduk di ruang kerjanya, mengenakan selimut di pangkuan dan laptop terbuka di hadapannya. Tangannya masih terasa nyeri jika digerakkan terlalu lama, tapi dia sedang menyelesaikan sketsa terakhir untuk klien luar negeri. Deadline besok pagi.
Bibi Sarti baru saja pamit pulang setelah membereskan dapur. “Saya titip rumah ya, Nona. Kalau ada apa-apa, tinggal telepon,” katanya tadi, sembari menutup pintu pagar.Zura mengangguk, merasa cukup nyaman. Hidupnya memang belum benar-benar baik. Tapi malam ini terasa lumayan—sebelum semuanya berubah.Di luar rumah, seorang gadis kecil dengan hoodie biru muda melangkah pelan. Di tangannya, korek gas dan dua botol kecil minyak tanah. Di balik hoodie, rambut ikal kecoklatan menyembul—dan sepasang mata yang kehilangan cahaya kewarasan.Kimi.Tak ada suara. Hanya suara gemericik sisa hujan di selokan depan. Kimi menyelinap lewat sisi belakang rumah. Dia tahu seluk-beluk bangunan itu—karena pernRuang tamu kediaman Juhar dipenuhi atmosfer tegang pagi itu. Bagas, datang dengan pembawaan tenang, duduk bersandar pada punggung sofa, menatap serius ke arah Papi Barra, Mami Naura, dan Zain yang duduk bersisian. Zura, dengan wajah pucat tapi tenang, berada di kursi rodanya, diam menyimak.“Aku akan langsung ke poin utamanya,” ujar Bagas, membuka map coklat di tangannya. “Hasil investigasi sementara dari kepolisian dan pemadam menyimpulkan bahwa kebakaran rumah Zura disebabkan oleh bahan bakar cair yang disiram di dua titik, lalu disulut dengan korek api. Ada saksi kunci—anak kecil bernama Kimi.”Wajah Zain menegang. “Kimi? Anak kecil yang sering dibantu Zura itu?”“Ya,” Bagas mengangguk. “Anak itu sudah diamankan. Tapi mohon catat, dia bukan dalangnya. Dia hanya pelaku lapangan, disuruh oleh seseorang.”Zura menggigit bibir bawahnya. Tangannya mengepal pelan. “Aku tahu Kimi nggak mungkin melakukan itu sendiri. Dia bahkan masih belum bisa mengeja
Mentari pagi menyusup lembut ke celah tirai jendela kamar tamu yang kini menjadi tempat tinggal sementara Zura. Aroma roti panggang dan coklat hangat tercium samar, menandakan ada seseorang yang tengah sibuk di dapur.Zura duduk di kursi rodanya, mengenakan atasan rajut warna lilac lembut dan rok panjang bermotif bunga kecil. Rambutnya dikepang samping dengan pita putih. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, penampilannya tetap memancarkan aura tenang dan manis.Zain mengetuk pintu perlahan. "Pagi, Zura," sapanya sambil membawa nampan berisi sarapan. "Aku kira kamu belum bangun. Tapi ternyata kamu sudah cantik begini."Zura melirik sekilas, tidak tersenyum tapi juga tidak cemberut. “Aku bangun sebelum ayam jantan bernyanyi. Kaki yang nyeri membuat tidur tidak begitu nyaman.”Zain meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidur. “Hari ini, fisioterapisnya datang agak siang. Supaya kamu bisa sarapan dulu. Bibi juga masak bubur ayam, aku minta sa
Sudah seminggu berlalu sejak tragedi kebakaran yang nyaris merenggut nyawa Zura. Seminggu pula sejak Papi Barra menumpahkan semua amarahnya kepada Appa Gio di rumah sakit. Dan seminggu itu pula Zura resmi ‘diboyong’ ke kediaman keluarga Juhar, demi satu alasan sederhana: agar calon menantu kesayangan Papi Barra bisa hidup dengan tenang, jauh dari ancaman dan pengkhianatan dari keluarganya.Rumah keluarga Juhar selalu terasa hangat. Zura sekarang tinggal di kamar lantai satu dengan jendela besar menghadap taman. Tirai putihnya melambai setiap kali angin sore bertamu. Zain, tentu saja, selalu ada. Terlalu ada, malah.Mulai dari mengurus makan, pakaian, bahkan mengecek stok camilan Zura. Pria itu berubah jadi asisten pribadi, perawat, sekaligus pelayan setia—dengan wajah menyebalkan yang tetap saja ganteng meski kurang tidur.“Zain, aku udah bilang, kamu nggak harus begini,” gumam Zura.Zain menoleh cepat, senyumnya menggantung manis. “Dan aku udah b
Brak!Vas bunga kristal yang berada di meja tamu pecah berkeping-keping, menyisakan air mawar yang mengalir membasahi lantai marmer mewah.Tante Evelin menjerit kaget, tubuhnya terlonjak mundur hingga hampir menyenggol pajangan perunggu di sudut ruangan. Sementara Om Andrian berdiri di tengah ruang keluarga, wajah merah padam, napas memburu, dan tangan masih mengepal menahan emosi.“Dia selamat?! Kamu bilang api membakar hampir seluruh rumahnya!” bentaknya pada pria berbadan tegap yang berdiri kaku tak jauh dari ambang pintu.Anak buahnya, Bram, menunduk dalam, tubuhnya nyaris membungkuk. “Kami sudah menyiram bagian belakang rumah dengan minyak tanah, Tuan. Tapi tetangganya keburu datang. Mereka memecahkan jendela dan menariknya keluar sebelum ledakan terjadi.”“Amatiran!” Om Andrian menendang meja kecil di samping sofa, membuatnya terjungkal. “Sudah kubayar mahal-mahal dan kau tak bisa menyelesaikan satu pekerjaan kotor!”Tante
"Kenapa bisa sampai seperti ini?!"Suara bariton nan berwibawa itu menggema di ruang tunggu rumah sakit. Semua kepala menoleh. Beberapa perawat yang lewat menunduk gugup. Suster jaga bahkan nyaris menjatuhkan berkasnya.Papi Barra berdiri di tengah ruangan, matanya merah, wajahnya penuh amarah tertahan. Di sebelahnya, Mami Narumi menggenggam tas tangan erat-erat, mencoba menenangkan suaminya, tapi sia-sia.Zain berdiri beberapa meter dari mereka. Kemeja putihnya kotor dengan bekas jelaga dan debu dari rumah yang nyaris hangus. Wajahnya kuyu, mata sembab, tapi tetap tegak.Di kursi panjang dekat pintu IGD, Appa Gio duduk diam. Bahunya turun, wajahnya murung. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, pria yang terbiasa mengatur segalanya itu—tak mampu menjawab sepatah kata pun."Kamu bilang dia aman!" bentak Papi Barra, menunjuk Appa Gio dengan tajam. "Tapi malam ini, nyawa Zura nyaris melayang! Di rumah miliknya sendiri! Di tempat yang seh
Zura sedang duduk di ruang kerjanya, mengenakan selimut di pangkuan dan laptop terbuka di hadapannya. Tangannya masih terasa nyeri jika digerakkan terlalu lama, tapi dia sedang menyelesaikan sketsa terakhir untuk klien luar negeri. Deadline besok pagi.Bibi Sarti baru saja pamit pulang setelah membereskan dapur. “Saya titip rumah ya, Nona. Kalau ada apa-apa, tinggal telepon,” katanya tadi, sembari menutup pintu pagar.Zura mengangguk, merasa cukup nyaman. Hidupnya memang belum benar-benar baik. Tapi malam ini terasa lumayan—sebelum semuanya berubah.Di luar rumah, seorang gadis kecil dengan hoodie biru muda melangkah pelan. Di tangannya, korek gas dan dua botol kecil minyak tanah. Di balik hoodie, rambut ikal kecoklatan menyembul—dan sepasang mata yang kehilangan cahaya kewarasan.Kimi.Tak ada suara. Hanya suara gemericik sisa hujan di selokan depan. Kimi menyelinap lewat sisi belakang rumah. Dia tahu seluk-beluk bangunan itu—karena pern