Share

Kutukan Perjaka Tua
Kutukan Perjaka Tua
Penulis: Julli Nobasa

Kutukan Sialan

"Naksir Bang Ayas?" Aku tergelak. "Maaf ya, Cha, seleraku bukan om-om!"

Enak saja. Biarpun jomblo, aku tidak seputus asa itu untuk berganti selera. Mana mungkin aku tertarik kepada laki-laki yang sembilan tahun lebih tua dariku. Gila! 

"Tapi, Bang Ayas  ganteng," kata Acha. "Kali aja kamu naksir."

"Gantengan juga JungKook," sahutku. 

Mau seganteng apa pun kalau usianya terpaut jauh pasti akan dianggap jalan sama om-om. Selain itu, berhubungan dengan laki-laki yang lebih tua pasti tidak akan nyambung karena pemikirannya kolot. ukannya romantis malah akan didikte dalam segala urusan. 

Acha tidak sedang mencomblangkan aku dengan kakak sulungnya. Tidak. Malahan dari kemarin dia gusar karena takut aku akan terpesona dengan Bang Ayas. 

"Pokoknya awas aja kalo kamu naksir Bang Ayas. Aku nggak mau kita jadi ipar dan rebutan warisan dari Mama." Tidak tanggung-tanggung, Acha sampai mengetukkan ujung sendok ke permukaan meja ketika memberi peringatan yang kesekian kalinya kepadaku. Kuah bakso di mangkuknya nyaris tumpah akibat ulahnya itu. 

Dengan entengnya aku mengangguk sembari mengunyah mie goreng. Walaupun belum pernah bertemu langsung dengan Bang Ayas, tapi aku yakin kalau tampang lelaki itu tidak seganteng aktor-aktor Korea. Lagi pula, semempesona apa orang yang sudah berkepala tiga? Pasti gayanya sudah seperti bapak-bapak yang perutnya buncit. 

Nama Ayas tidak asing di telingaku sejak berteman dengan Acha tiga tahun lalu. Bahkan dari apa yang Acha ceritakan, aku sedikit tahu bagaimana kehidupan abang sulungnya itu. 

Bang Ayas—mau tak mau aku ikut menyebut demikian—sudah bertahun-tahun hidup di Kalimantan. Laki-laki itu bekerja di sebuah perusahaan tambang dan katanya sekarang memutuskan untuk resign agar bisa meneruskan usaha kedua orang tuanya. 

Sudah menjadi rahasia umum kalau orang tua Acha adalah juragan tekstil. Jadi, sangat wajar kalau Bang Ayas kemudian memilih resign ketimbang menjadi karyawan terus-terusan meski jabatannya di perusahaan tambang cukup mentereng. Kata Acha, abangnya itu sudah lelah berkelana dan ingin dekat dengan keluarga. 

Acha memang berasal dari keluarga yang berkecukupan. Meski begitu dia tipe orang yang humble dan mau berteman dengan siapa saja termasuk rakyat jelata sepertiku. Ibaratnya, aku dan Acha itu seperti bumi dan langit. Hidupnya dipenuhi gemerlap bintang, sedangkan aku harus puas tinggal di kos-kosan setelah Ayah meninggal dan Ibu memilih hidup di Semarang. 

Mungkin karena itu juga orang tua Acha sangat menyayangiku. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik dan sering memintaku datang berkunjung ke rumahnya. Seperti malam ini, Tante Fatma meminta Acha untuk mengajak aku mampir. Katanya, beliau masak banyak. 

Tidak hanya kali ini saja Tante Fatma memintaku mampir hanya untuk sekadar makan malam. Terkadang beliau malah menitipkan kudapan kepada Acha saking takutnya aku kelaparan di kos-kosan. Aku jadi bertanya-tanya, apa tampangku seperti orang yang jarang makan? 

Tante Fatma menyambut dengan senyum semringah begitu aku dan Acha datang. Wanita yang jarang di rumah itu mengajak aku duduk di ruang tengah sembari menunggu waktu makan malam tiba. 

Selama hampir tiga puluh menit berbincang, tiba-tiba Tante Fatma pamit untuk menerima telepon. Sementara Acha masih berada di kamar karena sedang mandi terlebih dahulu. 

Layar televisi yang sebelumnya dinyalakan Tante Fatma masih menampilkan acara talk show. Namun, karena tidak suka menonton acara-acara televisi seperti itu, aku memilih untuk bermain ponsel, membaca beberapa komentar di sebuah foto yang aku unggah tadi siang. 

Derap langkah seseorang menuruni tangga membuat aku mendongak. Dari caranya melangkah, sebenarnya aku tahu itu bukan Acha. Namun, sebagai tamu, tentu aku tidak mungkin akan tetap bermain ponsel jika nanti ada orang lain di ruangan ini. 

Aku sudah mengenal sebagian besar anggota keluarga Acha. Dari abangnya yang nomor dua sampai adik bungsunya yang masih duduk di bangku SMP. Jadi, aku menebak kalau laki-laki yang saat ini sedang menuruni tangga adalah Bang Ayas. 

Aku bangkit dari duduk dan mengulas senyum semanis mungkin ketika orang yang aku tebak sebagai Bang Ayas itu menghentikan langkah di undakan tangga paling bawah. 

"Bang Ayas, ya?" sapaku penuh percaya diri. "Aku Resva, temannya Acha."

Laki-laki itu berdiri kaku. Hanya bola matanya saja yang bergerak seolah-olah memindaiku dari atas sampai bawah. 

Jujur saja dipandangi seperti itu membuat aku risi dan salah tingkah. Aku refleks pmerapikan rambut dan juga memandangi pakaian yang kukenakan, barangkali ada hal aneh. Tapi, aku merasa penampilanku layak untuk bertamu. Aku mengenakan celana jeans panjang yang dipadukan dengan kardigan. Jadi salahnya di mana? 

"Temannya Acha?" tanya Bang Ayas dengan suaranya yang terdengar dingin dan datar. 

Dengan gugup, aku mengangguk. "Iya, Bang," jawabku dengan senyum yang tetap berkembang. Namun, detik berikutnya sudut bibirku menciut karena laki-laki itu kembali bersuara. 

"Saya bukan abang kamu." 

Tadinya, aku pikir ucapan itu hanya candaan. Jadi, aku malah tertawa. Tapi, ternyata tatapan Bang Ayas terasa lebih tajam ketimbang sebelumnya. 

Bang Ayas seakan menunggu tawaku benar-benar hilang sebelum akhirnya dia kembali mengayunkan kaki. Ketika melintas tepat di depanku, dia bergumam, "Ganjen."

Tidak terlalu keras, tapi telingaku masih berfungsi dengan baik sehingga bisa mendengarnya. Dan dipastikan ucapannya barusan ditujukan kepadaku. Memangnya untuk siapa lagi? 

Kalau tidak sedang bertamu, atau diperlakukan seperti itu di luar rumah, tentu aku tidak segan-segan untuk berteriak dan melempar kepala Bang Ayas menggunakan vas bunga. Memangnya dia siapa? Berani-beraninya mengataiku ganjen! Pantas saja tidak laku-laku. Hanya perempuan gila yang mau hidup dengan laki-laki mulutnya sepedas Bon Cabe. 

Saking kesalnya dibilang ganjen, tanpa sadar aku berujar, "Dasar bangkotan!"

Aku pikir, Bang Ayas tidak mendengar karena dia sudah meninggalkan ruang tengah. Namun, ternyata dia berhenti di ambang pintu yang terhubung ke ruang tamu. Laki-laki itu berbalik. Menatapku lebih tajam, seperti burung elang yang hendak memangsa anak ayam. 

Nyaliku mendadak seciut daun kelor. Bisa-bisanya aku seceroboh ini, mengumpati tuan rumah yang sedang aku singgahi. Kalau Acha atau Tante Fatma tahu, pasti mereka akan sangat kecewa kepadaku. 

Aku mengusap tengkuk yang tiba-tiba meremang. Sumpah, tampang Bang Ayas jauh lebih seram ketimbang hantu jeruk purut. 

"Tadi bilang apa?" tanya Bang Ayas. "Saya bangkotan?"

Bodoh sekali kalau aku mengangguk, kan? Tapi, bukankah akan lebih konyol kalau aku mengelak karena jelas-jelas tadi memang berkata begitu? Lagi pula, bukankah seharusnya kami impas? Wajar kan kalau aku emosi dikatai ganjen? 

Bang Ayas mendekat dan berhenti sekitar tiga langkah dari tempatku berdiri. Sementara, aku hanya bisa menunduk. 

"Dengar baik-baik." Walaupun pelan, tapi suara laki-laki itu terdengar seperti sedang mengancam. "Nggak akan ada laki-laki yang mau menikahi kamu kecuali saya."

Aku refleks mendongak, tapi laki-laki itu lebih dulu melenggang pergi.

Sialan! 

Memangnya dia pikir, ucapannya itu akan dikabulkan Tuhan? Aku yakin, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tidak mungkin memberiku jodoh perjaka tua! 

Dan kalaupun di dunia ini tidak ada laki-laki yang mau menikahiku, aku lebih baik jomblo seumur hidup ketimbang harus menikah dengan manusia seperti Bang Ayas! 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
zahra
bab pertama aku langsung suka,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status