Share

Dia Cemburu

Sepulangnya dari rumah Acha, aku berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan Bang Ayas. Kalian tahu kenapa? Karena selain mulutnya sepedas Bon Cabe, tampangnya yang sedatar papan gilesan itu membuat aku rasanya ingin membenturkannya ke meja makan. 

"Tapi, ganteng kan, Va?"

Aku tidak tahu kenapa Acha terus-terusan meminta pendapatku tentang abang sulungnya yang menyebalkan itu. Salahku sendiri, semalam mengatakan kalau tampang Bang Ayas lumayan. Ya memang, laki-laki itu tidak jelek, tidak akan memalukan jika diajak ke kondangan. Tapi, mengingat mulutnya sepedas Bon Cabe, membuat aku ilfeel setengah mati. 

"Kalo cantik, bukan cowok dong, Cha," sahutku sekenanya. Aku tidak mungkin mengatakan kepada Acha kalau abang yang selalu dibangga-banggakan itu sangat menyebalkan. Setelah mengutuk agar tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku, ketika makan malam bersama pun Bang Ayas sesekali menyeringai setiap kali mata kami berserobok. 

Boro-boro ada love at the first sight, yang ada justru enek. Bisa-bisanya Tante Fatma punya anak sejutek dan semenyebalkan Bang Ayas. Padahal ketiga anak lainnya, termasuk Acha, sangat ramah dan ceria. Atau jangan-jangan Bang Ayas adalah produk gagal? 

"Dia lagi dijodohin sama Mama," kata Acha. Sekarang, kami sedang berjalan menuju perpustakaan. 

Aku yang biasanya acuh tak acuh setiap kali Acha menceritakan Bang Ayas, kini sedikit penasaran. Lebih tepatnya aku tertawa dalam hati begitu mengetahui kalau lelaki itu sedang berada di fase depresi karena didesak untuk menikah. 

"Jadi, kapan mau nikah?" tanyaku. 

Acha mengedikkan bahu. Dia lebih dulu mengisi daftar pengunjung. Begitu selesai, dia menjawab, "Bang Ayas nggak mau. Padahal anak temen Mama cantik banget. Dokter kecantikan."

"Kamu yakin Bang Ayas yang nggak mau?" Gantian aku yang mengisi daftar pengunjung perpustakaan. "Jangan-jangan si ceweknya yang nolak."

Tiba-tiba Acha mencubit lenganku. Beruntungnya aku bukan orang yang latah sehingga tidak memekik terlalu kencang. Bisa-bisa kami diusir dari perpustakaan sebelum menemukan buku referensi untuk tugas kuliah. 

"Beneran Bang Ayas nggak mau. Katanya mereka nggak akan cocok. Padahal belum pernah ketemuan." Acha setengah berbisik. Mungkin trauma karena pernah diusir oleh petugas karena kelepasan tertawa di sini. "Bang Ayas langsung nolak waktu lihat I*******m cewek itu."

"Wah …." Aku tidak habis pikir, di usianya yang sudah hampir tiga puluh satu tahun, Bang Ayas sempat pilih-pilih. Pantas saja dia masih membujang karena terlalu selektif. Atau ini yang dinamakan dengan tidak tahu diri? Sudahlah tampang pas-pasan, mintanya istri secantik bidadari kayangan. 

"Mama tuh kasian sama Bang Ayas karena tiap kumpul sama keluarga besar selalu ditanya kapan nikah mulu. Makanya Mama nggak nyerah buat nyari calon istri buat Abang."

"Semoga cepet dapet, ya, Cha," kataku walaupun sebenarnya aku mendoakan agar Bang Ayas melajang sampai kakek-kakek. 

Aku dan Acha sedang menaiki anak tangga menuju lantai dua dari gedung perpustakaan. Namun, tiba-tiba Acha yang berjalan di depan berhenti dan memutar tubuh ke arahku. 

"Va, tadi pagi Mama nanya, kamu udah punya pacar belum?"

***

Aku tidak pernah sebahagia ini didekati laki-laki. Biasanya aku enggan menanggapi mahasiswa teknik yang terkenal tukang PHP. Tapi, sekarang masalah Galih serius atau tidak, itu urusan belakangan. Setidaknya sekarang aku bisa membuktikan kepada Bang Ayas kalau aku tidak sejelek itu sampai dikutuk olehnya. 

Aku yakin Bang Ayas pasti akan kejang-kejang kalau tahu bahwa aku cukup populer di kampus. Bukannya sombong, banyak kok cowok yang secara terang-terangan bilang suka padaku. Hanya saja aku selektif dan sedang fokus kuliah. Jadi jomblo memang pilihanku, bukan lantaran tidak laku. 

"Gimana, Va. Besok bisa, kan?" 

Suara Galih mengalihkan pandanganku dari layar ponsel. Sebelum menjawab pertanyaan laki-laki itu, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke mobil Acha yang dikendarai Bang Ayas. 

Honda Civic itu belum meninggalkan area parkir karena menungguku. Tadi, Acha bilang akan mampir ke kos-kosanku untuk mengambil flashdisk. Padahal aku sudah berjanji akan mengirim file tugas kami via email, tapi dia tetap ngotot untuk mampir. 

Tak ingin membuat Acha menunggu terlalu lama, aku pun mengiyakan ajakan Galih untuk menonton besok siang. Sebelum meninggalkan pemuda itu, aku melambaikan tangan dan mengulas senyuman. 

"Udah luluh sama anak teknik, Va?" tanya Acha begitu aku masuk mobil dan duduk di bangku belakang. 

"Apaan. Enggaklah!" sahutku. Dari dulu aku yang memasang garis aman agar jangan sampai dekat dengan anak teknik. Tapi, bukankah sudah kubilang kalau kali ini adalah pengecualian? Kalau tadi Bang Ayas tidak melihat waktu Galih memanggil, sudah kupastikan Galih kuabaikan seperti teman-temannya. 

"Terus, tadi itu apa?" Acha memasang sabuk pengaman karena Bang Ayas mulai melajukan mobilnya ke luar dari area parkir. 

"Dia ngajak nonton doang, kok."

Acha menoleh dengan gerakan secepat kilat. "Kencan?!"

Bertepatan dengan itu, mobil yang kami tumpangi mendadak berhenti. Kalau tidak mengenakan sabuk pengaman, pasti aku sudah terlempar membentur jok depan. 

"Abang!" Acha meneriaki kakaknya. "Kaget tau!"

Tapi, Bang Ayas diam saja. Tatapannya lurus ke depan, ke sebuah mobil yang baru saja berbelok dan memotong jalan kami. 

Pengendara itu, yang ternyata adalah Galih, turun untuk mengecek bumper bagian belakang mobilnya. Kemudian, dia menatap kesal ke arah mobil Acha. 

Bang Ayas menurunkan kaca jendela. "Kenapa? Minta ganti rugi?"

Dari nada bicaranya, kentara sekali kalau Bang Ayas mengejek karena mobil yang dikendarai sama sekali tidak mengenai bumper mobil Galih. 

Galih tidak menyahut. Mungkin karena ternyata bumper mobilnya tidak apa-apa. Atau dia segan karena lawannya jauh lebih tua? 

Saat Galih masuk ke mobilnya dan pergi, Bang Ayas berujar pelan, "Pengecut." 

Kemudian, dia kembali melajukan mobil. Ada diam yang sempat memenjara kami bertiga sebelum akhirnya Bang Ayas berkata, "Jangan pacaran sama laki-laki seperti itu, Cha. Nggak jantan."

Bukan hanya itu saja, sebelum Acha menyahut, Bang Ayas lebih dulu berceramah banyak hal. Persis seperti orang tua yang memberi wejangan kepada anak gadisnya. 

Selama tiga tahun berteman, baru kali ini aku menyaksikan bagaimana Acha yang cerewet minta ampun, sekarang diam seperti kerupuk disiram air panas. Gadis itu hanya mengangguk, tanpa menyela atau membantah sedikit pun ucapan abangnya. 

"Laki-laki seperti itu tidak bisa diandalkan. Nggak pantes dijadikan suami."

Aku heran kenapa suara Bang Ayas terkesan emosional. Padahal tadi Galih hanya memotong jalan dan itu pun tidak menyebabkan celaka. Lalu, kenapa malah berujung ngomel-ngomel kepada Acha? 

Ocehan tidak jelas itu masih tetap berlanjut sampai akhirnya Acha minta mampir ke sebuah minimarket. Karena hanya akan membeli minuman, Acha memintaku untuk tetap berada di dalam mobil. 

Sepeninggal Acha, kabin mobil berselimut hening. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, memperhatikan dua anak muda yang sedang duduk di bangku teras minimarket. 

"Berapa banyak laki-laki yang kamu ladeni?" tanya Bang Ayas tiba-tiba. 

Aku menoleh. Tidak langsung menyahut karena takut dia sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon. Tapi, kedua tangannya memegang kemudi dan telinganya tidak tersumpal earphone. Meski begitu, aku belum yakin kalau dia berbicara padaku. Jadi, aku diam saja. 

"Jangan seperti itu lagi. Bisa?" 

Pandanganku tertuju ke spion tengah untuk mengetahui raut wajah Bang Ayas. Di saat yang bersamaan, lelaki itu pun menatapku dari sana. Sejenak, sorot mata kami beradu. 

"Saya nggak suka kamu ganjen."

Sebentar. Sebentar. Apa dia sedang cemburu? 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
duh, bujang menuju lapuk lucu. kawai wkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status