LOGINMelody sesaat terdiam menatap Langit, bagaimana lelaki itu tahu kalau dirinya sedang menangis. Sejenak berpikir, tapi gadis berambut panjang itu tersadar karena lelaki di depannya berani menyentuh pipinya dengan berani.
"Bisa singkirkan tanganmu," ucap Nada menatap Langit dengan tajam. Langit tersadar, dan menjauhkan jemarinya dari pipi Melody. "Maaf, saya hanya refleks ketika melihat kamu menangis," jawab Langit yang memang terbiasa bersikap formal. Melody semakin mengerutkan keningnya, dari mana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya menangis tadi? Wanita itu menatap Langit dengan begitu intens, seolah mencurigai sesuatu dibalik perkataan lelaki berambut hitam itu. "Menjauhlah," ucap Melody dengan ketus, karena merasa lelaki itu begitu berani. "Baiklah, tapi sebelum itu. Saya antar kamu ke tempat berteduh yang aman," jawab Langit tetap tersenyum meski Melody ketus padanya, "saya tidak akan macam-macam, kalau itu yang kamu takutkan," tambah Langit begitu senang melihat Melody. Melody tampak berpikir, saat ini memang sedang hujan dan dirinya malah terlanjur basah kuyup. Wanita itu berusaha tetap tenang dan mengangguk dengan ajakan Langit. "Mari saya antar," pinta Langit mempersilahkan Melody jalan lebih dulu, Langit sedikit berjalan di belakangnya. Langit tampak tersenyum tipis saat ini, setelah bertahun-tahun lamanya menunggu momen ini. Melody masih tetap cantik seperti dulu, tatapan mata yang indah selalu membuat Langit terhipnotis. Sementara itu, Melody tampak tidak begitu nyaman berada di dekat Langit. Dia merasa kalau lelaki itu terus menatapnya, apalagi tatapan itu seolah mendamba dirinya. Melody bergidik ngeri jika sampai dia memiliki stalker, sungguh mengerikan. Langit menunjukkan tempat berteduh yang lumayan sepi, keduanya tampak duduk bersama untuk menunggu hujan reda. Tampak Melody menelan beberapa kali saliva karena suasana mencekam yang dia rasakan, pasalnya Langit seperti mendominasi dirinya hanya dengan tatapan saja. Langit begitu memuja Melody, apalagi sekarang wanita itu tumbuh menjadi gadis cantik nan jelita. Membuat Langit semakin tergila-gila padanya, tak dapat dipungkiri kalau Langit sudah menjatuhkan hatinya pada Melody ketika pertama kali bertemu. Kepolosan, ketulusan, dan kebaikan Melody begitu membuat luka hatinya terobati, bahkan satu-satunya kenangan berupa gelang itu masih tersimpan rapi. Bahkan Langit begitu merawat gelang tersebut supaya tetap bagus, karena itu adalah gelang penyembuh segala luka. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Melody seketika terkejut karena Langit membuka jas miliknya, "jangan macam-macam, aku bisa memukulmu," ancam Melody menatap Langit tanpa takut. Langit hanya tersenyum melihat raut wajah menggemaskan Melody. "Pakailah ini," jawab Langit menutupi tubuh Melody dengan jas miliknya. "Pakaian dalam kamu terlihat, dan saya tidak ingin orang lain melihatnya," ucap Langit membuat Melody menunduk seketika. Dan benar, bra kuning yang dia pakai begitu tercetak gelas dibalik dress yang dia pakai. Seketika Melody langsung merapatkan jas Langit untuk menutupinya, tampak Langit malah tertawa pelan melihat tingkah lucu Melody. "Pasti kamu juga melihatnya," tuduh Melody tidak ingin malu. "Tentu saya melihatnya, tepat di depan mata. Bagaimana mungkin itu bisa terlewat?!" jawab Langit begitu jujur. "Sialan," umpat Melody kesal sendiri. Perkataan Langit memang ada benarnya juga, lelaki itu tentu sudah melihatnya. Ingin malu, tapi Melody tidak ingin Langit tahu. Oleh karena itu, dia berusaha mengelak tapi tetap saja. Entahlah. Entah ini nasib sial atau memang kebetulan yang tak sengaja, begitu hujan reda Melody memilih untuk segera pulang karena sebagian bajunya sudah basah. Hanya saja ketika sampai di Parkiran, ban mobilnya kempes. "Kamu membutuhkan bantuan?" tanya Langit menghampiri Melody. Melody merasa kalau Langit mengikutinya sejak tadi, tangannya terasa merinding ketika lelaki itu datang. "Ban ku hanya kempes, aku akan telepon sopir dulu," jawab Melody menghubungi sopir rumah, tapi tidak di angkat juga. "Bagaimana kalau saya antar pulang? Saya hanya khawatir kalau kamu sakit, baju kamu basah dan harus segera diganti," tawar Langit. Melody semakin curiga, baru saja bertemu sudah ingin mengantarnya pulang. Wanita itu semakin dilema, pasalnya tubuhnya sudah mulai kedinginan saat ini. Melody membutuhkan sesuatu yang hangat saat ini, dan bisa mati membeku menunggu sopir rumahnya yang entah pergi ke mana. "Saya bukan orang jahat, ini kartu nama saya," ucap Langit yang tahu kalau Melody bersikap waspada. Melody menerima kartu nama tersebut, tertulis nama Langit Biru Mahapura, Presdir LB Group. Tampak Melody berpikir, nama perusahaan ini seperti tidak asing, seperti pernah Brandon dan Ivander bicarakan akhir-akhir ini. "Kalau saya berbuat jahat, kamu bisa laporkan atau mencari saya di alamat itu," ucap Langit untuk meyakinkan Melody. Beberapa saat Melody berpikir, dan dirinya sudah tidak tahan lagi. "Antar aku pulang langsung, dan awas kalau macam-macam. Papaku akan menggorok lehermu," ancam Melody. Bukannya takut, tapi Langit ingin sekali tertawa melihat Melody yang begitu menggemaskan. Tak dapat Langit pungkiri, hal ini begitu membuat jantungnya berdebar kencang. "Tidak masalah," jawab Langit membimbing Melody menuju mobilnya. Melody sejenak terdiam melihat mobil yang dikendarai oleh Langit saat ini, Audi R8 seharga 7-8 M. Dan itu adalah salah satu mobil incaran Melody kala itu. "Silakan masuk," ucap Langit membukakan pintu untuk Melody dengan sopan. Melody masuk dan Langit mulai menjalankan mobilnya menembus jalanan kota berpenduduk padat ini, tak ada pembicaraan apa pun. Melody sibuk menatap ke arah luar jendela, dan memilih mengabaikan Langit. Melody menoleh seketika, karena ini bukanlah tujuan ke Rumah besarnya. Kenapa berhenti, dan itu membuat Melody panik bukan main. Hanya saja wanita itu bersikap biasa saja. "Ini bukan rumahku, jangan bilang kalau kamu ingin menculikku," tuduh Melody hanya ditanggapi senyum tipis Langit. Langit membuka seatbelt, membuat Melody bersiap jika sesuatu hal terjadi. "Tunggulah di sini sebentar," kata Langit keluar dari mobil. Melody semakin takut, beberapa kali menggigit bibir karena berpikir terlalu jauh pada Langit. Bagaimana kalau lelaki itu berbuat nekat, seperti menculiknya, dan memperkosa dirinya. Atau kalau tidak, menjadikan dia sandera dan budak penghangat ranjang lelaki itu. Sungguh mengerikan. "Astaga," seru Melody terkejut bukan main ketika Langit kembali masuk mobil. Jantung Melody berpacu dengan kuat, harap-harap cemas apa yang akan dilakukan oleh Langit setelah ini. "Aku belikan teh hangat supaya kamu tidak kedinginan." Melody langsung menaikkan satu alisnya, jadi Langit keluar hanya ingin membelikan dirinya teh hangat supaya tidak kedinginan. Melody hanya memaksakan senyumnya, padahal tadi dia sudah bersiap dengan segala kemungkinan yang ada. "Maaf membuat kamu takut," kata Langit tersenyum ketika menyerahkan teh hangat tersebut. "Iya, terima kasih," jawab Melody kembali malu, dan sejujurnya teh hangat ini memang sangat membantu menghangatkan tubuhnya. "Kamu habiskan dulu, setelah itu saya akan mengantarmu pulang," ujar Langit ingin segera memiliki Melody. Melody segera menghabiskan teh hangat tersebut supaya segera bisa pulang, rasanya bersama Langit membuatnya tidak bisa bergerak dengan bebas. Seolah lelaki itu begitu mengintimidasi dirinya, dan Melody tidak suka. "Terima kasih sudah mengantarku," kata Melody yang terburu-buru karena ingin menjauh dari Langit. "Tunggu," panggil Langit ketika Melody ingin keluar dari mobilnya, dan wanita itu berbalik, "perkenalkan, nama saya Langit." "Iya, aku udah tahu. Dan permisi," jawab Melody. "Saya harap kita bisa bertemu lagi," ucap Langit mulai menunjukkan ketertarikan pada Melody. "Sepertinya ini pertemuan pertama dan terakhir kita, jadi jangan mengharapkan apa pun," jawab Melody dengan sarkas. Langit tampak tersenyum dengan tenang. "Baiklah, tapi jika kita bertemu lagi. Itu berarti kamu adalah jodoh saya," kata Langit menatap Melody. Karena kesal, Melody langsung saja keluar dari mobil Langit dan memasuki rumahnya. "Dasar lelaki gila," umpatnya. Tampak Langit masih terpaku melihat kepergian Melody yang mulai menghilang. "Sejak pertama melihatmu, sudah saya pastikan kalau kamu adalah jodoh saya. Melody Cinta Mahaprana!"Nada tahu rasa sakitnya seperti apa dan tahu rasanya ditahan juga seperti apa, maka dari itu Nada tidak ingin melarang ataupun menyetujuinya. Biarlah Melody berusaha dan juga memperjuangkan sesuatu dalam hidupnya, entah apa alasan Melody sampai menyimpan perasaan itu terlalu lama.Padahal Melody tipe wanita yang langsung menyampaikan perasaannya seperti apa, dan itu membuat Nada penasaran tapi dia tidak ingin terlalu ikut campur lebih jauh. Cukup Nada selalu memantau dan tetap melindungi Melody, memastikan semuanya berjalan pada mestinya.Nada tidak ingin memanjakan Melody, tidak ingin sang anak hanya bergantung pada orang tua dalam mengambil keputusan. Orang tua boleh ikut campur hanya sekedar memberi nasehat yang baik dan mengarahkan jika hal tersebut memang salah.Sementara itu, Alfred merasa resah sendiri dengan pernyataan Melody. Dia sangat hapal bagaimana sikap sang sahabat jika keras kepalanya sudah muncul, dan itu membuat Alfred cemas bukan main."Sialan memang," umpat Alf
"Tapi aku nggak mau kamu sama Nesya, aku nggak setuju," balas Melody sudah memutuskan."Mel, jangan memperumit keadaan," ucap Alfred sangat hapal dengan sikap Melody."Selama janur kuning belum melengkung, kamu masih milik umum dan aku masih berhak atas diri kamu," tegas Melody dengan keras kepala."Melll," pinta Alfred dengan sangat, dia tahu saat ini Melody sedang bersikap nekat padanya."Kenapa? Kamu takut kalau pada akhirnya bisa jatuh cinta padaku," tantang Melody."Jangan seperti ini, kamu akan semakin sakit," balas Alfred mengingatkan Melody."Aku udah sakit sejak lama, dan hanya diam saja tanpa bisa memperjuangkan perasaanku," ujar Melody berdiri, "bersiap aja, aku nggak akan sungkan pada Nesya. Dia harus tahu kalau kamu adalah milikku!"Melody meninggalkan Alfred tanpa mempedulikan lelaki itu yang masih ingin berbicara dengannya, Alfred sendiri meremas rambutnya dengan kasar. Bertahun-tahun dia bertahan, akhirnya sampai pada keadaan ini juga."Sialan," umpat Alfred.
Melody baru saja memasuki rumah dan ingin naik menuju kamarnya, tetapi Ivander lebih dulu memanggilnya. Dengan malas Melody memutar kembali tubuhnya dan menghampiri Ivander, pasti sang ayah ingin mengomel padanya."Kenapa kamu basah begitu, Honey?" tanya Ivander menutup buku yang dia baca."Tadi hujan pas acara pernikahan, berhubung acaranya pesta kebun dan hujannya tiba-tiba. Alhasil beginilah," jawab Melody yang tahu Ivander begitu posesif padanya."Lalu itu jas siapa? Tentu itu bukan milik Alfred, kan," kata Ivander menyelidik, pasalnya dia hapal jenis jas yang sering dipakai oleh Alfred."Ohh, ini punya teman, Yah. Besok Melo kembalikan," jawab Melody dengan santai."Teman yang mana?" tanya Ivander yang selalu memastikan pergaulan Melody, maklum saja anak gadis satu-satunya keluarga Mahaprana."Ayah," panggil Brandon yang duduk bersama dengannya."Ya," jawab Ivander menoleh."Biarlah Kakak ganti baju dulu, lihatlah! Pakaian dia masih basah," kata Brandon mencoba mengalihka
Melody sesaat terdiam menatap Langit, bagaimana lelaki itu tahu kalau dirinya sedang menangis. Sejenak berpikir, tapi gadis berambut panjang itu tersadar karena lelaki di depannya berani menyentuh pipinya dengan berani. "Bisa singkirkan tanganmu," ucap Nada menatap Langit dengan tajam.Langit tersadar, dan menjauhkan jemarinya dari pipi Melody. "Maaf, saya hanya refleks ketika melihat kamu menangis," jawab Langit yang memang terbiasa bersikap formal.Melody semakin mengerutkan keningnya, dari mana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya menangis tadi? Wanita itu menatap Langit dengan begitu intens, seolah mencurigai sesuatu dibalik perkataan lelaki berambut hitam itu."Menjauhlah," ucap Melody dengan ketus, karena merasa lelaki itu begitu berani."Baiklah, tapi sebelum itu. Saya antar kamu ke tempat berteduh yang aman," jawab Langit tetap tersenyum meski Melody ketus padanya, "saya tidak akan macam-macam, kalau itu yang kamu takutkan," tambah Langit begitu senang melihat Melody.Mel
“Aku mencintaimu, Alfred.”Sejak dulu Melody hanya memandang satu pria, sahabatnya yang bernama Alfred. Namun, cintanya yang sejak lama dia rasakan harus bertepuk sebelah tangan karena Alfred mencintai wanita lain. Ungkapan cinta Melody pun hanya dianggap sebuah candaan semata.“Berhentilah bercanda, tidak lucu sama sekali, Melo.”Alfred tampak santai berbaring di tepi pantai ketika mereka sedang berlibur, menikmati indahnya sore dan bermain air.Melody yang berbaring bersama Alfred pun kini duduk. “Kamu kenapa selalu menganggap hal yang aku ucapkan sebagai candaan semata?” kesalnya.“Kita sudah lama mengenal, kita sahabat sejak masih kecil dan berhentilah bercanda. Aku tidak ingin persahabatan kita rusak hanya karena cinta,” kata Alfred dengan entengnya, dan lagi rasanya tidak mungkin Melody mencintainya.Terkadang mereka lebih banyak bercanda jika dibandingkan dengan serius, terlebih Alfred yang memiliki tingkah konyol dan suka bercanda.“Memang salah jika aku mencintai kamu?







