LOGINMelody baru saja memasuki rumah dan ingin naik menuju kamarnya, tetapi Ivander lebih dulu memanggilnya. Dengan malas Melody memutar kembali tubuhnya dan menghampiri Ivander, pasti sang ayah ingin mengomel padanya.
"Kenapa kamu basah begitu, Honey?" tanya Ivander menutup buku yang dia baca. "Tadi hujan pas acara pernikahan, berhubung acaranya pesta kebun dan hujannya tiba-tiba. Alhasil beginilah," jawab Melody yang tahu Ivander begitu posesif padanya. "Lalu itu jas siapa? Tentu itu bukan milik Alfred, kan," kata Ivander menyelidik, pasalnya dia hapal jenis jas yang sering dipakai oleh Alfred. "Ohh, ini punya teman, Yah. Besok Melo kembalikan," jawab Melody dengan santai. "Teman yang mana?" tanya Ivander yang selalu memastikan pergaulan Melody, maklum saja anak gadis satu-satunya keluarga Mahaprana. "Ayah," panggil Brandon yang duduk bersama dengannya. "Ya," jawab Ivander menoleh. "Biarlah Kakak ganti baju dulu, lihatlah! Pakaian dia masih basah," kata Brandon mencoba mengalihkan pembicaraan. "Benar, kamu ganti baju sana," jawab Ivander meminta Melody pergi. Melody mengedipkan satu mata untuk Brandon, meski sang adik terkadang menyebalkan tapi tetap berguna disaat seperti ini. Melody meninggalkan keduanya yang kembali membahas tentang bisnis perusahaan, akhirnya bisa terlepas dari aksi wawancara Ivander tadi. Melody terlihat segar dan memakai piyama berwarna kuning, kesukaan yang menurun dari sang Ibunda. Tapi hanya berbeda saja, Nada menyukai merah dan Melody lebih cenderung berkaitan dengan warna kuning. Melody melihat ponsel miliknya dengan malas, terlihat beberapa panggilan dan pesan dari Alfred. Melody melihat pesan tersebut, Alfred menanyakan di mana keberadaan Melody saat ini. Dan masih banyak lagi pertanyaan yang Alfred tanya karena Melody menghilang di tengah hujan tadi. Melody membanting ponselnya di atas ranjang, memilih untuk merentangkan tangannya menatap langit-langit yang bertuliskan Melody dan Alfred. Seisi kamar Melody masih terdapat beberapa foto kebersamaan dirinya dan Alfred sejak kecil, memikirkan Alfred yang akan melamar Nesya membuatnya kesal sekaligus sakit. "Alfred emang brengsek, tapi aku cinta," ucap Melody berbaring miring dan meraih ponselnya. Menyalakan layar, dan terlihat wallpaper dirinya dan Alfred ketika berlibur ke Paris beberapa tahun silam. Melody tersenyum kecut, mengusap wajah Alfred dalam layar ponselnya. Pintu diketuk dan memperlihatkan Nada masuk menghampiri sang putri, seketika Melody memeluk sang Ibunda. Memejamkan mata, mencari rasa nyaman untuk menetralisir hatinya yang sedikit sakit. "Kamu ada masalah?" tanya Nada duduk di samping Melody, mengusap rambut dan pipi sang Putri. Melody mencoba tersenyum. "Hatiku hanya terasa sakit, Bunda," jawab Melody menunduk. "Alfred kembali menolakmu?" tanya Nada yang tahu kalau Melody menyukai Alfred sejak dulu, tapi Nada memilih untuk tidak terlalu ikut campur dalam urusan perasaan Melody. Itu karena Melody sudah besar, dan bisa menentukan sendiri arah hatinya seperti apa. Nada tidak pernah melarang Melody untuk berhubungan dengan lelaki mana pun, tapi Melody tidak melakukan hal itu. Hatinya sudah terpaut pada Alfred, Nada jadi teringat pada dirinya yang begitu mencintai Ivander dulu. "Kenapa kamu tidak mencari lelaki lain?" tanya Nada tersenyum. Melody menekuk bibirnya. "Selama ini belum ada yang bisa mengalihkan hatiku dari Alfred, Bunda. Aku juga ingin bisa menyukai lelaki lain dan move on, tapi susah banget," keluh Melody harus berbuat apa pada hatinya. "Sudah pernah pacaran dengan lelaki lain?" tanya Nada. "Udah, dan kandas karena campur tangan Ayah," balas Melody semakin menekuk wajahnya, "Ayah kenapa, sih, selalu aja overprotektife banget, Bun?" keluh Melody terkadang merasa sikap Ivander berlebihan. "Ayah terlalu menyayangi kamu, Sayang. Kasih sayang seorang ayah tak akan pernah terkalahkan oleh siapa pun, apalagi untuk putrinya. Ayahmu ingin menjagamu dengan baik, apa pun yang dia lakukan itu karena dia sayang dan peduli denganmu," ucap Nada mengusap rambut Melody. "Tapi ini berlebihan, Bunda," jawab Melody. "Kamu akan tahu ketika menjadi orang tua, Sayang. Jadi, bersabarlah," kata Nada dan Melody masih saja menekuk bibirnya. Pintu terbuka, terlihat Brandon berdiri dengan santai. Memasukkan kedua tangannya di saku, sang adik ini memang terlihat menawan. "Di cari kak Alfred di bawah," kata Brandon pergi begitu saja. Melody dan Nada saling pandang, wanita itu menghembuskan napasnya dengan kasar. Baru saja dia mengabaikan pesan dari Alfred, lelaki itu malah datang menemuinya. "Kalau kamu ingin berjuang, ya, berjuanglah. Jangan setengah-setengah! Tapi kalau kamu ingin move on, maka relakan Alfred," tutur Nada dan mengajak Melody untuk turun, "sekarang temui saja Alfred di bawah." Melody turun sendiri, terlihat Alfred sedang bersama dengan Ivander. Terkadang mereka berdua sangat menyebalkan, begitu posesif padanya. "Aku bawain martabak kesukaan kamu," kata Alfred menunjuk martabak di atas meja. "Rajin amat ke sini," jawab Melody duduk dan memakan martabak tersebut. "Iya, emang mau ke mana lagi?" kata Alfred mengangkat kedua bahunya. "Kali aja pergi ke Rumah Nesya," balas Melody asal, dan Alfred malah tertawa mengacak-acak rambutnya. "Kata om Ivan, kamu pulang diantar laki-laki, ya. Siapa dia? Kok, aku nggak tahu," cecar Alfred dan hanya ditatap datar oleh Melody yang terlalu menikmati martabak dalam mulutnya. Alfred tampak menunggu jawaban darinya, pasti ini ulah Ivander yang bertanya pada sahabatnya itu. Beginilah yang Melody tidak suka, menyebalkan semuanya. "Bukan siapa-siapa," jawab Melody memilih lebih menikmati martabak saja daripada meladeni Alfred. "Wah, sekarang main rahasia denganku," kata Alfred melipat kedua tangannya menatap Melody dengan menyipitkan mata, "siapa lelaki itu? Apa aku kenal dengannya? Berani sekali dia mendekatimu." "Bukan urusanmu lelaki itu siapa, jangan ikut campur," balas Melody sewot. "Dih, galak sekarang," goda Alfred duduk lebih dekat dengan Melody, bahkan menyenggol lengannya. Melody menatap Alfred dan berbicara dengan mulut penuh makanan. "Aku emang galak, baru sadar," jawab Melody mendorong wajah Alfred menjauh darinya. "Jangan begitu, Melo-ku itu cantik dan menggemaskan," goda Alfred. Melody menirukan perkataan dan gaya bicara Alfred, membuat lelaki itu gemas bukan main. "Cantik dan menggemaskan, tapi kamu juga nggak pernah melihatku sebagai wanita. Percuma," sindir Melody menghabiskan martabaknya. "Kamu serius mencintaiku?" tanya Alfred kini terlihat berbeda. "Iya, dari dulu," jawab Melody balas menatap Alfred. Detik demi detik mereka saling pandang, sampai saat Alfred mengusap kepala Melody dengan lembut. "Aku nggak ingin kehilangan kamu, Mel. Dan lagi aku udah sama Nesya, aku nggak mungkin ninggalin dia," jawab Alfred membuat Melody terdiam. "Apa aku nggak bisa memperjuangkan perasaanku padamu? Kita bisa mencobanya," minta Melody tidak peduli pada harga dirinya. "Inilah yang aku takutkan selama ini, salah satu dari kita memiliki perasaan lebih. Hubungan kita akan menjauh karena tak ingin menyakiti satu sama lainnya, dan itu yang aku alami," jelas Alfred, "aku secara nggak langsung udah menyakiti hatimu, aku nggak ingin kamu sedih ataupun patah hati." Alfred sendiri juga bingung harus melakukan apa, dia juga dilema. Dia sudah memiliki Nesya dalam hidupnya, dia tidak ingin menjadi lelaki yang serakah dengan menginginkan dua wanita dalam hidunya. Alfred hanya ingin hubungannya dengan Melody kembali seperti dulu, bahagia tanpa ada rasa cinta di antara mereka. "Lalu aku harus gimana?" tanya Melody putus asa. "Relakan aku," tegas Alfred tidak ingin Melody semakin tersiksa. Melody menggelengkan kepala. "Kita selalu bersama, aku nggak mungkin bisa merelakanmu dengan mudah," balas Melody menolak. "Kamu sakit, dan aku pun juga ikut sakit, Mel. Aku menyayangi kamu, nggak ingin kamu sedih dan menderita. Hal ini juga sangat berat untukku," kata Alfred menatap Melody dengan sendu. Seperti inilah jika terjebak friendzone, di posisi Melody juga merasa patah hati melihat Alfred bersama Nesya. Tapi di sisi Alfred, lelaki itu juga merasa bersalah karena menyakiti Melody. Karena jujur, Alfred tidak ingin kehilangan Melody sebagai sahabatnya.Nada tahu rasa sakitnya seperti apa dan tahu rasanya ditahan juga seperti apa, maka dari itu Nada tidak ingin melarang ataupun menyetujuinya. Biarlah Melody berusaha dan juga memperjuangkan sesuatu dalam hidupnya, entah apa alasan Melody sampai menyimpan perasaan itu terlalu lama.Padahal Melody tipe wanita yang langsung menyampaikan perasaannya seperti apa, dan itu membuat Nada penasaran tapi dia tidak ingin terlalu ikut campur lebih jauh. Cukup Nada selalu memantau dan tetap melindungi Melody, memastikan semuanya berjalan pada mestinya.Nada tidak ingin memanjakan Melody, tidak ingin sang anak hanya bergantung pada orang tua dalam mengambil keputusan. Orang tua boleh ikut campur hanya sekedar memberi nasehat yang baik dan mengarahkan jika hal tersebut memang salah.Sementara itu, Alfred merasa resah sendiri dengan pernyataan Melody. Dia sangat hapal bagaimana sikap sang sahabat jika keras kepalanya sudah muncul, dan itu membuat Alfred cemas bukan main."Sialan memang," umpat Alf
"Tapi aku nggak mau kamu sama Nesya, aku nggak setuju," balas Melody sudah memutuskan."Mel, jangan memperumit keadaan," ucap Alfred sangat hapal dengan sikap Melody."Selama janur kuning belum melengkung, kamu masih milik umum dan aku masih berhak atas diri kamu," tegas Melody dengan keras kepala."Melll," pinta Alfred dengan sangat, dia tahu saat ini Melody sedang bersikap nekat padanya."Kenapa? Kamu takut kalau pada akhirnya bisa jatuh cinta padaku," tantang Melody."Jangan seperti ini, kamu akan semakin sakit," balas Alfred mengingatkan Melody."Aku udah sakit sejak lama, dan hanya diam saja tanpa bisa memperjuangkan perasaanku," ujar Melody berdiri, "bersiap aja, aku nggak akan sungkan pada Nesya. Dia harus tahu kalau kamu adalah milikku!"Melody meninggalkan Alfred tanpa mempedulikan lelaki itu yang masih ingin berbicara dengannya, Alfred sendiri meremas rambutnya dengan kasar. Bertahun-tahun dia bertahan, akhirnya sampai pada keadaan ini juga."Sialan," umpat Alfred.
Melody baru saja memasuki rumah dan ingin naik menuju kamarnya, tetapi Ivander lebih dulu memanggilnya. Dengan malas Melody memutar kembali tubuhnya dan menghampiri Ivander, pasti sang ayah ingin mengomel padanya."Kenapa kamu basah begitu, Honey?" tanya Ivander menutup buku yang dia baca."Tadi hujan pas acara pernikahan, berhubung acaranya pesta kebun dan hujannya tiba-tiba. Alhasil beginilah," jawab Melody yang tahu Ivander begitu posesif padanya."Lalu itu jas siapa? Tentu itu bukan milik Alfred, kan," kata Ivander menyelidik, pasalnya dia hapal jenis jas yang sering dipakai oleh Alfred."Ohh, ini punya teman, Yah. Besok Melo kembalikan," jawab Melody dengan santai."Teman yang mana?" tanya Ivander yang selalu memastikan pergaulan Melody, maklum saja anak gadis satu-satunya keluarga Mahaprana."Ayah," panggil Brandon yang duduk bersama dengannya."Ya," jawab Ivander menoleh."Biarlah Kakak ganti baju dulu, lihatlah! Pakaian dia masih basah," kata Brandon mencoba mengalihka
Melody sesaat terdiam menatap Langit, bagaimana lelaki itu tahu kalau dirinya sedang menangis. Sejenak berpikir, tapi gadis berambut panjang itu tersadar karena lelaki di depannya berani menyentuh pipinya dengan berani. "Bisa singkirkan tanganmu," ucap Nada menatap Langit dengan tajam.Langit tersadar, dan menjauhkan jemarinya dari pipi Melody. "Maaf, saya hanya refleks ketika melihat kamu menangis," jawab Langit yang memang terbiasa bersikap formal.Melody semakin mengerutkan keningnya, dari mana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya menangis tadi? Wanita itu menatap Langit dengan begitu intens, seolah mencurigai sesuatu dibalik perkataan lelaki berambut hitam itu."Menjauhlah," ucap Melody dengan ketus, karena merasa lelaki itu begitu berani."Baiklah, tapi sebelum itu. Saya antar kamu ke tempat berteduh yang aman," jawab Langit tetap tersenyum meski Melody ketus padanya, "saya tidak akan macam-macam, kalau itu yang kamu takutkan," tambah Langit begitu senang melihat Melody.Mel
“Aku mencintaimu, Alfred.”Sejak dulu Melody hanya memandang satu pria, sahabatnya yang bernama Alfred. Namun, cintanya yang sejak lama dia rasakan harus bertepuk sebelah tangan karena Alfred mencintai wanita lain. Ungkapan cinta Melody pun hanya dianggap sebuah candaan semata.“Berhentilah bercanda, tidak lucu sama sekali, Melo.”Alfred tampak santai berbaring di tepi pantai ketika mereka sedang berlibur, menikmati indahnya sore dan bermain air.Melody yang berbaring bersama Alfred pun kini duduk. “Kamu kenapa selalu menganggap hal yang aku ucapkan sebagai candaan semata?” kesalnya.“Kita sudah lama mengenal, kita sahabat sejak masih kecil dan berhentilah bercanda. Aku tidak ingin persahabatan kita rusak hanya karena cinta,” kata Alfred dengan entengnya, dan lagi rasanya tidak mungkin Melody mencintainya.Terkadang mereka lebih banyak bercanda jika dibandingkan dengan serius, terlebih Alfred yang memiliki tingkah konyol dan suka bercanda.“Memang salah jika aku mencintai kamu?







