LOGIN"Tapi aku nggak mau kamu sama Nesya, aku nggak setuju," balas Melody sudah memutuskan.
"Mel, jangan memperumit keadaan," ucap Alfred sangat hapal dengan sikap Melody. "Selama janur kuning belum melengkung, kamu masih milik umum dan aku masih berhak atas diri kamu," tegas Melody dengan keras kepala. "Melll," pinta Alfred dengan sangat, dia tahu saat ini Melody sedang bersikap nekat padanya. "Kenapa? Kamu takut kalau pada akhirnya bisa jatuh cinta padaku," tantang Melody. "Jangan seperti ini, kamu akan semakin sakit," balas Alfred mengingatkan Melody. "Aku udah sakit sejak lama, dan hanya diam saja tanpa bisa memperjuangkan perasaanku," ujar Melody berdiri, "bersiap aja, aku nggak akan sungkan pada Nesya. Dia harus tahu kalau kamu adalah milikku!" Melody meninggalkan Alfred tanpa mempedulikan lelaki itu yang masih ingin berbicara dengannya, Alfred sendiri meremas rambutnya dengan kasar. Bertahun-tahun dia bertahan, akhirnya sampai pada keadaan ini juga. "Sialan," umpat Alfred. "Anak sialan, berani mengumpat pada orang tua," kata Ivander begitu terkejut ketika datang ingin menghampiri keduanya. "Anak om ngeselin," jawab Alfred pergi begitu saja. "Dasar itu anak tidak berubah, kurang ajar" kata Ivander menggelengkan kepalanya, padahal dia ingin mengajak Alfred dan Melody nonton bola sambil makan popcorn yang sudah dia bawa. Bagi Ivander, Alfred sudah seperti putranya sendiri. Alfred selalu menemani masa sulit Ivander dulu, begitu menghibur dan sedikit melupakan masalah berat dalam hidupnya. Ivander berbalik dan menuju ke lantai atas, tentu menemui Melody untuk mengajaknya menonton bola. Keduanya memang sama-sama menggilai bola, tentu Alfred juga dan mereka bertiga sering nobar. Ivander dan Melody menatap layar besar di depannya, acara bola sudah mulai. Tampak keduanya begitu serius menonton bola, apalagi club andalan mereka sedang bermain. Barcelona vs Real Madrid. "Ayah," panggil Melody, tapi keduanya masih tetap serius menonton bola. "Ada apa?" tanya Ivander sambil makan popcorn. "Aku mencintai Alfred," cetus Melody memberanikan diri. Perkataan Melody jauh lebih menggemparkan hati Ivander dibandingkan dengan gol dari club andalannya, bahkan Ivander langsung menoleh seketika. Rasanya tidak percaya kalau Melody bisa mencintai Alfred. "Jangan bercanda, Honey," kata Ivander kini lebih serius menatap Melody. "Aku serius, Ayah. Memang aku terlihat sedang bercanda, nggak, kan," jawab Melody memilih nekat menempuh jalan ini. Melody hanya ingin memperjuangkan perasaannya, entah itu berhasil atau tidak. Yang jelas setidaknya Melody pernah berusaha, dan tidak ingin menyesali kebodohannya di masa lalu yang memilih memendam semuanya. Kalau hancur, ya, hancur sekalian. Nanti tinggal bangkit dan jalani hidup kedepannya seperti apa, setidaknya Melody tahu bagaimana memperjuangkan seseorang yang dia cintai. Terdengar bodoh memang, dia sadar akan hal itu. Hanya saja hati memang mengalahkan logika, dan Melody memilih untuk mengikuti hatinya yang mungkin berisiko untuk sakit hati. "Kamu tahu kalau Alfred sudah memiliki kekasih dan dia akan melamarnya," kata Ivander memperjelas hal itu. "Aku tahu, tapi aku tidak peduli," jawab Melody tetap pada pendiriannya. "Ayah tidak menyetujui hal itu, tidak akan pernah," tolak Ivander dengan serius. "Aku nggak peduli Ayah setuju atau tidak, yang jelas aku ingin memperjuangkan cintaku pada Alfred. Titik," balas Melody dengan tegas. "Di luar sana masih banyak laki-laki lain, jangan Alfred," tegas Ivander dengan lantang. "Kenapa? Karena Alfred udah memiliki tunangan, begitu maksud Ayah?" balas Melody tertawa, "mereka belum menikah, dan aku masih memiliki waktu untuk merebut Alfred dari Nesya!" Ivander memiliki sikap keras, begitu pun dengan Melody. Lelaki itu hapal ketika sang putri sudah menginginkan suatu hal, terlihat dari cara pandang Melody saat ini. "Kalau kamu mencintai Alfred, kenapa tidak sejak dulu kamu mengejar dia? Kenapa harus sekarang disaat Alfred sudah memiliki hubungan serius?" tanya Ivander mempertanyakan hal itu. "Itu karena kebodohan yang aku lakukan, dan aku terlambat menyadarinya. Harusnya sejak dulu aku melakukan hal ini, dengan bodohnya aku malah memendam perasaan ini karena takut Alfred akan menjauh dan membenciku," cerita Melody pada Ivander untuk pertama kalinya. "Dan kamu semakin bodoh mengambil risiko untuk sakit hati," cetus Ivander mengingatkan Melody. Melody tahu, sangat tahu. "Bukankah cinta harus memperjuangkan? ...," "Itu kalau kalian sama-sama berjuang, berbeda kalau hanya satu saja. Pihak yang berjuang hanya akan sakit hati karena yang diperjuangkan tidak ikut memperjuangkan cintanya," potong Ivander lebih dulu. "Tapi aku nggak ingin menyesal, Yah. Cukup satu kali kebodohanku terjadi dulu, sekarang aku nggak akan menyerah. Entah bagaimana hasilnya, aku nggak peduli," balas Melody tidak ingin kalah. Ivander menghembuskan napasnya dengan kasar, selama ini lelaki itu selalu memantau setiap laki-laki yang dekat dengan putrinya. Mengambil jalan pintas jika dirasa lelaki itu hanya mengambil kesempatan dalam kesempitan saja, atau kalau tidak mereka menginginkan harta yang dimiliki oleh Melody. Ivander mengenal Alfred, tapi masih belum bisa memberikan kepercayaan jika hal itu menyangkut dengan Melody. Rasanya masih begitu berat mempercayakan Melody pada lelaki lain, kecuali dirinya. "Sekali aja, Yah. Biarkan aku melakukan apa yang menjadi keinginanku saat ini, biarkan aku mengejar apa yang menjadi impianku," pinta Melody memohon pada Ivander. "Ayah hanya tidak ingin kamu menderita, Honey," jawab Ivander menatap Melody dengan sendu. Hal itu mengingatkan Ivander pada perjuangan Nada dulu demi dirinya, meski ini kasus yang berbeda tapi tetap saja itu akan menyakitkan. Kecuali kalau Alfred juga memiliki perasaan yang sama, Ivander masih bisa mempertimbangkan hal itu. "Melo akan berhenti jika memang udah berada pada batasnya," ucap Melody dengan yakin. "Kenapa putri Ayah sudah sebesar ini? Dan tambah keras kepala," kata Ivander antara terharu dan kesal dengan keputusan Melody saat ini. "Melo mohon," pinta Melody menatap Ivander meminta persetujuan. Ivander terkadang melupakan kalau Melody sudah dewasa saat ini, baginya Melody masih putri kecilnya yang menggemaskan. Sikap overprotektife Ivander memang bentuk kekhawatiran yang berlebih, tapi setiap Ayah pasti juga pernah merasakan di posisi Ivander saat ini. Khawatir kalau sang putri tidak bahagia bersama lelaki lain, tidak mendapatkan cukup kasih sayang, tidak dihargai dan dicintai layaknya seorang ayah. Takut akan hidup menderita dan masih banyak lagi tertanam dalam benak Ivander, dia hanya terlalu sayang pada Melody melebihi apa pun. Ivander ingin memastikan Melody mendapatkan lelaki yang sungguh mencintai dia dengan tulus tanpa pamrih, lelaki yang mampu membuat Melody bahagia memilikinya. Dan tentu saja mampu memperjuangkan cintanya pada Melody. "Ayah memberikan kamu satu kali kesempatan, dan tidak ada tawar menawar lagi," putus Ivander memilih untuk mengalah sesaat, tapi dia tetap akan memantau segalanya. "Beneran, Yah?" tanya Melody langsung merasa bahagia, dan memeluk Ivander. "Hanya satu kali saja," jawab Ivander membuat Melody langsung cium pipi sang Ayah karena begitu bahagia. "Tapi kamu harus ingat satu hal," tegas Ivander membuat Melody menelan salivanya, "jika kamu gagal dan putus asa, kamu harus bangkit dan berusaha sendiri untuk menyembuhkan hatimu. Jangan menjadi wanita lemah, tunjukkan pada Alfred kalau kamu wanita yang berharga untuk diperjuangkan!" "Baik, Ayah," peluk Melody dengan erat. Ivander mengusap rambut Melody, mendekap hangat sang putri. "Tapi Ayah tidak akan sungkan jika Alfred menyakiti kamu lebih jauh, tidak peduli meski aku mengenal baik keluarga mereka!" "Jangan apa-apain dia, Yah," keluh Melody yang masih berada dalam pelukan Ivander. "Tergantung cara Ayah melihatnya seperti apa, dan itu bukan urusan kamu. Fokus saja apa yang menjadi tujuanmu," balas Ivander dengan tegas. "Baiklah, tapi awas aja kalau Ayah macam-macam sama Alfred," ancam Melody. "Paling meremukkan tulangnya," cetus Ivander asal. "Ayah," teriak Melody dan Ivander hanya tertawa. Dibalik celah pintu, Nada hanya tersenyum melihat interaksi mereka. Tampak masalah keduanya sudah terselesaikan, Nada sendiri sebenarnya khawatir pada Melody. Hal itu sama dengan perasaan tak terbalas dirinya dulu pada Ivander, tapi beruntung berakhir bahagia.Nada tahu rasa sakitnya seperti apa dan tahu rasanya ditahan juga seperti apa, maka dari itu Nada tidak ingin melarang ataupun menyetujuinya. Biarlah Melody berusaha dan juga memperjuangkan sesuatu dalam hidupnya, entah apa alasan Melody sampai menyimpan perasaan itu terlalu lama.Padahal Melody tipe wanita yang langsung menyampaikan perasaannya seperti apa, dan itu membuat Nada penasaran tapi dia tidak ingin terlalu ikut campur lebih jauh. Cukup Nada selalu memantau dan tetap melindungi Melody, memastikan semuanya berjalan pada mestinya.Nada tidak ingin memanjakan Melody, tidak ingin sang anak hanya bergantung pada orang tua dalam mengambil keputusan. Orang tua boleh ikut campur hanya sekedar memberi nasehat yang baik dan mengarahkan jika hal tersebut memang salah.Sementara itu, Alfred merasa resah sendiri dengan pernyataan Melody. Dia sangat hapal bagaimana sikap sang sahabat jika keras kepalanya sudah muncul, dan itu membuat Alfred cemas bukan main."Sialan memang," umpat Alf
"Tapi aku nggak mau kamu sama Nesya, aku nggak setuju," balas Melody sudah memutuskan."Mel, jangan memperumit keadaan," ucap Alfred sangat hapal dengan sikap Melody."Selama janur kuning belum melengkung, kamu masih milik umum dan aku masih berhak atas diri kamu," tegas Melody dengan keras kepala."Melll," pinta Alfred dengan sangat, dia tahu saat ini Melody sedang bersikap nekat padanya."Kenapa? Kamu takut kalau pada akhirnya bisa jatuh cinta padaku," tantang Melody."Jangan seperti ini, kamu akan semakin sakit," balas Alfred mengingatkan Melody."Aku udah sakit sejak lama, dan hanya diam saja tanpa bisa memperjuangkan perasaanku," ujar Melody berdiri, "bersiap aja, aku nggak akan sungkan pada Nesya. Dia harus tahu kalau kamu adalah milikku!"Melody meninggalkan Alfred tanpa mempedulikan lelaki itu yang masih ingin berbicara dengannya, Alfred sendiri meremas rambutnya dengan kasar. Bertahun-tahun dia bertahan, akhirnya sampai pada keadaan ini juga."Sialan," umpat Alfred.
Melody baru saja memasuki rumah dan ingin naik menuju kamarnya, tetapi Ivander lebih dulu memanggilnya. Dengan malas Melody memutar kembali tubuhnya dan menghampiri Ivander, pasti sang ayah ingin mengomel padanya."Kenapa kamu basah begitu, Honey?" tanya Ivander menutup buku yang dia baca."Tadi hujan pas acara pernikahan, berhubung acaranya pesta kebun dan hujannya tiba-tiba. Alhasil beginilah," jawab Melody yang tahu Ivander begitu posesif padanya."Lalu itu jas siapa? Tentu itu bukan milik Alfred, kan," kata Ivander menyelidik, pasalnya dia hapal jenis jas yang sering dipakai oleh Alfred."Ohh, ini punya teman, Yah. Besok Melo kembalikan," jawab Melody dengan santai."Teman yang mana?" tanya Ivander yang selalu memastikan pergaulan Melody, maklum saja anak gadis satu-satunya keluarga Mahaprana."Ayah," panggil Brandon yang duduk bersama dengannya."Ya," jawab Ivander menoleh."Biarlah Kakak ganti baju dulu, lihatlah! Pakaian dia masih basah," kata Brandon mencoba mengalihka
Melody sesaat terdiam menatap Langit, bagaimana lelaki itu tahu kalau dirinya sedang menangis. Sejenak berpikir, tapi gadis berambut panjang itu tersadar karena lelaki di depannya berani menyentuh pipinya dengan berani. "Bisa singkirkan tanganmu," ucap Nada menatap Langit dengan tajam.Langit tersadar, dan menjauhkan jemarinya dari pipi Melody. "Maaf, saya hanya refleks ketika melihat kamu menangis," jawab Langit yang memang terbiasa bersikap formal.Melody semakin mengerutkan keningnya, dari mana lelaki itu bisa tahu kalau dirinya menangis tadi? Wanita itu menatap Langit dengan begitu intens, seolah mencurigai sesuatu dibalik perkataan lelaki berambut hitam itu."Menjauhlah," ucap Melody dengan ketus, karena merasa lelaki itu begitu berani."Baiklah, tapi sebelum itu. Saya antar kamu ke tempat berteduh yang aman," jawab Langit tetap tersenyum meski Melody ketus padanya, "saya tidak akan macam-macam, kalau itu yang kamu takutkan," tambah Langit begitu senang melihat Melody.Mel
“Aku mencintaimu, Alfred.”Sejak dulu Melody hanya memandang satu pria, sahabatnya yang bernama Alfred. Namun, cintanya yang sejak lama dia rasakan harus bertepuk sebelah tangan karena Alfred mencintai wanita lain. Ungkapan cinta Melody pun hanya dianggap sebuah candaan semata.“Berhentilah bercanda, tidak lucu sama sekali, Melo.”Alfred tampak santai berbaring di tepi pantai ketika mereka sedang berlibur, menikmati indahnya sore dan bermain air.Melody yang berbaring bersama Alfred pun kini duduk. “Kamu kenapa selalu menganggap hal yang aku ucapkan sebagai candaan semata?” kesalnya.“Kita sudah lama mengenal, kita sahabat sejak masih kecil dan berhentilah bercanda. Aku tidak ingin persahabatan kita rusak hanya karena cinta,” kata Alfred dengan entengnya, dan lagi rasanya tidak mungkin Melody mencintainya.Terkadang mereka lebih banyak bercanda jika dibandingkan dengan serius, terlebih Alfred yang memiliki tingkah konyol dan suka bercanda.“Memang salah jika aku mencintai kamu?







