LOGIN***
Pagi itu kamar Arumi masih terasa pengap. Udara dari AC yang bocor di pojokan sama sekali nggak bikin lega. Ia bolak-balik di atas kasur tipisnya, rambut awut-awutan, tatapannya kosong menatap plafon. “Nikah kontrak? Terima nggak yah?” gumamnya pelan. “Tapi aku kan nggak mau nikah muda. Tapi… daripada tinggal di neraka ini?” Ia menggulingkan badannya ke kanan, lalu ke kiri, lalu tengkurap, lalu tiba-tiba manjat tembok seakan lagi cosplay cicak. Tangannya nempel ke dinding, wajahnya meringis penuh drama. “Duh pusing banget! Kenapa hidup aku jadi kayak sinetron FTV tengah malam sih?” Arumi menggaruk kepalanya sendiri. Tiba-tiba pintu kamarnya kebuka. Lili masuk dengan santai, sambil ngemil snack ciki yang entah dapet dari mana. Matanya langsung melebar begitu liat Arumi lagi nempel kayak cicak. “Arumi… Kau? Kau kenapa?” Lili ngakak sampai hampir keselek ciki. “Astaga, ini cosplay apa? Cosplay wall gecko edition?” Arumi langsung loncat turun, wajahnya manyun. “Kak, aku bingung.” “Bingung kenapa? Jangan bilang mau kabur lagi,” Lili masuk, duduk di ujung kasur sambil nyelonjoran. “Bukan karena itu, kak…” Arumi menggigit bibirnya, lalu berbisik dramatis, “Ada pangeran tampan yang ngajak aku nikah.” Lili spontan nge-spray ciki dari mulutnya. “WHAT!!!” “Apaan sih, kaget banget. Yah, itulah kenyataannya. Aku diajak nikah sama om tampan itu. Tapi…” Arumi menarik napas panjang, “Aku takut. Wajahnya aja… mesum vibes gitu.” Lili yang tadinya kaget, mendadak terdiam. Senyumnya pudar. Ada sedikit rasa iri yang diam-diam muncul, meski nggak berani ditunjukin jelas. “Nikah?” gumam Lili lirih. “Beneran dia nawarin nikah?” Arumi mengangguk. “Yah, nikah kontrak katanya. Setahun doang. Abis itu aku bebas, dikasih rumah sama mobil. Kayak dream come true gitu kan? Tapi aku masih belasan, kak. Aku nggak siap jadi istri.” Lili mendesah, pura-pura cuek sambil ngemil lagi. “Aku rasa… Kau tolak aja.” Arumi bengong. “Apa? Tolak?” “Yah! Lebih baik kau disini. Takutnya, pria itu hanya berbohong. Daripada nikah sama pria yang nggak dikenal. Mana tau istrinya banyak, trus kau dijadiin istri kesekian. Atau malah disuruh lahirin anak tiap tahun. Gimana? Mau?” Nada suaranya sengaja dibuat kocak, tapi ada getir di baliknya. Arumi memeluk bantal, wajahnya makin galau. “Kak… Tapi itu satu-satunya jalan aku keluar dari club ini.” “Arumi, jangan bahas ini keras-keras,” Lili langsung mendekat, wajahnya serius. “Kalau Bunga tau, dia bisa ngamuk dan malah oper kamu ke club lain. Lebih parah lagi.” Mata Arumi melebar. “Kau serius, kak?” “Yah! Jadi lebih baik kau tolak tawaran itu. Jangan asal nerima. Kau cantik, masa depanmu masih panjang. Jangan buang di tangan cowok random,” Lili bangkit, lalu keluar kamar dengan ekspresi nggak jelas. Arumi bengong, kepalanya makin berisik. Kata-kata Lili bikin hatinya makin dilema. Siang berlalu, tiba-tiba dari luar terdengar suara ribut. Teriakan, makian, kursi geser. Arumi penasaran, ia buka pintu kamar. Terlihat beberapa LC lagi adu mulut, saling tarik rambut kayak adegan sinetron jam 7 malam. “Dasar perebut pelanggan!” salah satu teriak. “Kau yang murahan!” balas yang lain. Arumi langsung menutup telinga, wajahnya meringis. “Astaga… tiap hari ribut mulu. Aku nggak tahan dengar ginian.” Ia kembali ke kamar, menarik selimut, berusaha tidur. *** Malamnya, Arumi kembali dipanggil ke ruang VIP. Jantungnya deg-degan. “Please, jangan aki-aki lagi,” doanya dalam hati. Begitu pintu dibuka, ia terkejut. “Syukurlah!” ia berseru pelan. “Aku pikir bakal ketemu kakek-kakek creepy lagi.” Dayandra duduk santai di sofa kulit, wajahnya kalem, senyum tipis. Ia melambaikan tangan. “Duduklah di sampingku, cantik.” Arumi mendengus, tapi tetap duduk. “Kau harus bayar aku. Satu gombalan sepuluh dolar.” Dayandra tertawa kecil. “Oh, gadis nakal. Kau makin pintar.” Ia lalu mengambil selembar uang dolar dan… menyelipkannya di dada Arumi. Arumi langsung kaku, tubuhnya menegang. “Hei! Bisa nggak sopan? Tanganmu modus banget!” Dayandra hanya mengelus rambut panjang Arumi. “Kau tegang sekali. Relax. Jadi… bagaimana? Kau mau jadi istri kontrak saya?” Arumi menelan ludah, jari-jarinya meremas gaun navy yang ia pakai. “Sebenarnya…” suaranya lirih. “Sebenarnya aku menolaknya. Aku nggak mau jadi istri kamu. Aku nggak mau nikah!” Dayandra terdiam. Lalu ia menghela napas kasar, mengambil gelas whisky di meja, meneguknya dalam-dalam. “Kenapa?” suaranya dalam. Arumi memberanikan diri menatapnya. “Aku nggak tau kau siapa. Aku nggak tau keluargamu. Bisa jadi… kau jual aku ke orang lain. Bisa jadi kau manfaatin kepolosanku. Aku… aku nggak percaya.” Seketika Dayandra bergerak cepat, tangannya menutup mulut Arumi. “Ssttt… Diamlah.” Mata Arumi langsung membesar, jantungnya berdegup kencang. Ia bisa melihat jelas mata elang Dayandra, tajam, penuh rahasia. “Kau ragu padaku?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. Arumi mengangguk pelan, masih dengan mata melebar. Dayandra menurunkan tangannya, lalu duduk lebih dekat. “Kau punya alasan. Wajar kau takut. Tapi satu hal, Arumi…” Ia menatapnya dalam. “Kalau aku mau memanfaatkanmu, aku sudah lakukan dari awal. Tapi aku tidak. Aku justru menawarkan jalan keluar.” Arumi mengerjap, suaranya gemetar. “Tapi… nikah itu bukan mainan. Aku masih muda, aku belum siap.” Dayandra tersenyum miring. “Kontrak, Arumi. Setahun saja. Setelah itu kau bebas. Kau dapat hidup baru. Rumah, mobil, uang. Kau bisa mulai dari nol.” Arumi menutup wajahnya dengan tangan. “Kenapa harus aku? Kenapa nggak LC lain? Yang lebih dewasa, lebih berpengalaman?” Dayandra mendekat lagi, hampir berbisik di telinganya. “Karena kau beda. Kau polos, tengil, asli. Bukan boneka plastik seperti mereka. Kau… istimewa.” Arumi terdiam. Kata-kata itu bikin dadanya aneh. Antara malu, takut, dan entah kenapa sedikit bangga. “Tapi kalau aku nolak?” ia berani bertanya. “Kalau kau nolak…” Dayandra menatapnya lama. “Kau akan tetap di sini. Di bawah Bunga. Hidupmu akan jadi milik club. Kau siap?” Arumi tercekat. Bayangan wajah pria tua tadi, bau rokok, tatapan jijik pelanggan—semuanya muncul di kepalanya. Ia langsung menggigil. Dayandra menyentuh tangannya. “Saya nggak paksa. Pilih sendiri. Tapi ingat… waktu nggak akan nunggu.” Arumi menarik napas panjang. Pikirannya kacau. Kata-kata Lili masih terngiang: ‘lebih baik kau tolak saja’. Tapi di sisi lain, tawaran Dayandra terasa seperti cahaya kecil di ujung terowongan. Ia menatap Dayandra, matanya berkaca-kaca. “Aku… Aku butuh waktu. Jangan buru-buru. Masih ada 2 hari lagi bukan?” Dayandra mengangguk pelan, senyumnya tipis. “Baik. Tapi jangan terlalu lama, Arumi. Dunia ini nggak pernah sabar menunggu keputusan orang lemah.” Arumi terdiam. Jantungnya berdebar, hatinya jungkir balik. Malam itu, ia pulang ke kamarnya dengan kepala penuh tanda tanya. Tiba-tiba saja, Dayandra menyandarkan kepalanya di bahu Arumi.”Kau tau… terkadang hari-hari di kantor begitu sangat melelahkan…” “Ke-napa kamu malah curhat?”Malam itu, langit di atas kota tampak penuh cahaya neon. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, tapi di balik gemerlap itu, ada sisi gelap yang masih sama—tempat yang dulu jadi mimpi buruk Arumi.Arumi berjalan pelan di koridor sempit club itu, rambutnya dikuncir seadanya, bibirnya pucat. Lima tahun telah berlalu sejak malam ketika Lili meninggal di pelukannya. Lima tahun sejak tubuhnya dipaksa kembali ke tempat yang ingin dia tinggalkan selamanya.Kini, dia cuma bayangan dari dirinya yang dulu. Hatinya kosong, langkahnya berat, dan setiap malam, dia cuma berharap satu hal: semoga suatu hari bisa bebas.Flashback lima tahun lalu...Ketika mobil pengantin Dayandra meninggalkannya di depan rumah mewah itu, Arumi berlari mengejarnya, tapi langkahnya goyah, napasnya sesak.Belum sempat ia sadar, suara langkah kaki cepat terdengar dari belakang.“Arumi!” teriak seseorang.Dia menoleh, dan matanya membesar. Anak buah Bunga—dua orang pria berjas hitam—berlari mendekat.“Tidak… tidak! Lepaskan a
Langit masih gelap keunguan saat Arumi bangun dari bangku batu tempat dia tertidur semalaman. Angin pagi menusuk kulitnya, dingin sampai ke tulang. Matanya sembab, rambutnya berantakan, tapi tatapannya teguh—ada satu tujuan di pikirannya: Dayandra.Dia memanggil bajaj yang lewat, dan dengan suara serak, berkata pelan,“Ke rumah sakit, Mas.”Sepanjang perjalanan, Arumi menggenggam ujung jaket lusuhnya erat-erat. Di pikirannya cuma ada wajah Dayandra—lelaki yang pernah melindunginya mati-matian dari Bunga dan Corla, yang bilang dia gak peduli dengan masa lalu Arumi. Lelaki yang sekarang mungkin masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.Tapi begitu sampai di rumah sakit, kabar yang dia terima justru bikin jantungnya berhenti sesaat.“Pasien atas nama Dayandra?” tanya Arumi dengan napas bergetar.Suster di meja resepsionis membuka data pasien di komputer. “Oh, Pak Dayandra sudah keluar dari ICU setengah lalu. Sekarang sudah pulih total, bahkan sudah tidak dirawat di sini lagi.”
1 Bulan Kemudian.Sudah sebulan berlalu sejak malam itu—sebulan sejak Lili dan Arumi berjanji buat cari jalan keluar dari neraka bernama club itu.Setiap hari rasanya seperti berlari di dalam lingkaran setan. Musik yang sama, tawa palsu yang sama, dan tatapan para pengawas yang selalu curiga setiap kali Lili dan Arumi bisik-bisik.Tapi Lili gak pernah berhenti berusaha.Setiap malam, dia pura-pura ramah sama pengawal pintu belakang, pura-pura manis ke bartender supaya bisa dapetin info tentang jadwal Bunga dan anak buahnya. Semua ia lakuin demi satu hal: kabur.Namun, Bunga bukan orang bodoh. Sejak terakhir kali ia curiga, penjagaan makin ketat. Dua bodyguard baru ditambah di pintu keluar, kamera pengawas dipasang di setiap lorong, dan semua LC harus lapor kalau mau keluar ruangan.Arumi makin tertekan. Kadang ia cuma duduk di kamar sempitnya, menatap dinding kosong sambil nangis tanpa suara.“Aku capek, Kak,” ucapnya lirih suatu malam. “Setiap kali aku coba percaya kita bisa keluar,
Lampu-lampu neon berkedip di langit-langit ruangan itu, berganti warna dari merah ke ungu, lalu biru, seolah gak pernah berhenti mengingatkan betapa dunia di dalam tempat itu gak pernah benar-benar tidur. Musik EDM berdentum keras dari panggung utama, dan bau alkohol bercampur parfum murah memenuhi udara.Arumi duduk di pojok ruangan, pakai dress hitam pendek yang bahkan gak ia pilih sendiri. Tatapannya kosong, wajahnya tampak letih, dan tangan mungilnya menggenggam segelas air putih yang udah lama gak ia sentuh.Sudah seminggu. Seminggu sejak Corla menyerahkan dirinya pada Bunga.Seminggu sejak dunia gelap yang dulu ia tinggalkan kembali menelannya tanpa ampun.Tapi kalau bukan karena Lili—mungkin Arumi udah hancur sepenuhnya.Lili datang di malam pertama Arumi dibawa balik ke club. Perempuan itu jauh lebih tua, tapi masih punya pesona dan ketenangan yang bikin orang merasa aman. Rambutnya panjang diikat ke belakang, dan senyum lembutnya selalu muncul di saat Arumi paling butuh.“Kau
Mata Arumi sembab, wajahnya pucat, dan langkahnya gemetar ketika tiba di depan bangunan yang sudah sangat ia kenal — Club Elysium, tempat yang selama ini menjadi luka terdalam dalam hidupnya. Aroma alkohol dan asap rokok menyambut begitu pintu mobil dibuka. Musik berdentum keras dari dalam, membuat jantung Arumi berdegup semakin cepat.Ia menatap Bella yang berdiri di depannya, mengenakan pakaian glamor dan lipstik merah menyala.“Kenapa kalian membawa aku ke sini lagi!?” serunya parau, tangannya mencoba melepaskan genggaman dua orang bodyguard yang memegangnya di kedua sisi.Bella hanya tersenyum tipis, penuh kemenangan.“Karena kau aset kami, Arumi. Kau tahu itu.”“Tapi Mas Dayandra sudah membayar kalian! Dia sudah menebus aku, sudah selesai!” Arumi memohon, suaranya bergetar antara marah dan ketakutan.Bella mendekat, menatap wajah Arumi dengan tatapan tajam dan sinis.“Mana dia sekarang, hah? Mana pria yang kau banggakan itu? Kau lihat? Tak ada siapa pun yang datang menyelamatkanm
Mobil itu menabrak pembatas jalan dan terguling dua kali sebelum akhirnya berhenti dengan posisi miring di pinggir jalan. Kaca depan pecah, suara alarm mobil meraung keras, dan asap tipis keluar dari kap depan.Beberapa detik, semuanya hening.Arumi pingsan separuh sadar. Tubuhnya terlempar ke samping, bahunya sakit tapi nggak parah. Dia coba buka mata, pandangannya buram. Saat sadar sedikit, hal pertama yang dia lihat adalah tangan Dayandra yang masih menggenggam tangannya lemah—tapi darah menetes dari pelipisnya.“Mas…?” suara Arumi serak. Dia mengguncang bahu Dayandra pelan. “Mas Dayandra! Bangun, Mas! Tolong!”Tapi Dayandra nggak bereaksi. Matanya tertutup, napasnya lemah, kepala bersandar di kursi dengan luka yang terus berdarah.Arumi panik. “Tolong! Ada orang tolong!” teriaknya histeris dari dalam mobil. Tangannya gemetar, berusaha buka sabuk pengaman tapi susah karena tangannya juga lecet.Beberapa menit kemudian, suara sirene ambulan datang. Petugas langsung ngebuka pintu mob







