MasukLalu Dayandra menatap Arumi.”Mari kita bersenang-senang malam ini!!!”
Ruang karaoke VIP malam itu penuh asap rokok, lampu neon kedap-kedip bikin suasana makin absurd. Dayandra, dengan dasi sudah melorot, memegang mic kayak penyanyi rock tapi suaranya… ampun dah. “Jadi aku tiiiidak bisaaaa tanpa diriiimuuu…” Arumi langsung nutup telinganya pakai dua tangan. “Astaga, Om! Please, itu suara atau alarm kebakaran?!” Dayandra nggak nyadar, sudah setengah mabuk, goyang kanan-kiri sambil teriak. “Yeeeahhh, semua ikut nyanyiii!” “Om, stop! Kupingku bisa meledak nih.” Arumi meringis, tapi malah ngakak kecil liat gaya noraknya Dayandra. Tiba-tiba lagu berhenti. Dayandra nyodorin tangan. “Ayo kita joget.” “Hah? Joget?” Tanpa nunggu jawaban, Dayandra narik tangan Arumi. “Come on, TikTok dance style!” Arumi mendengus. “Yaudah, siap-siap kaget ya, Om.” Ia langsung nge-dance ala-ala TikTok: goyang pinggul, gerakan tangan viral, ditambah ekspresi kocak. Dayandra bengong sebentar, lalu malah ikutan. “Gini kah?” Goyangannya aneh, lebih mirip bapak-bapak aerobik. Arumi ngakak sampe jatuh. “Om, itu bukan joget! Itu kayak orang keseleo.” Mereka joget konyol di depan layar karaoke sampai musik habis. *** Subuh harinya, ruang karaoke udah sepi. Botol minuman kosong berjejer, asap rokok udah hilang. Di sofa panjang, Arumi dan Dayandra ketiduran. Arumi melingkar kayak kucing, kepalanya di dada Dayandra. Tangannya entah gimana melingkar di pinggangnya. Dayandra kebangun duluan. Ia ngelirik ke bawah, melihat wajah Arumi yang polos saat tidur. Senyum tipis muncul. “Dasar nakal.” Ia menyibakkan rambut yang nutupin wajah Arumi. Tangannya lalu turun, mengelus bibir mungil itu. “Dia bilang masih perawan. Apa benar? Zaman sekarang banyak gadis bohong demi duit.” Dayandra nyaris menunduk, mau nyium bibirnya. Tapi tiba-tiba Arumi menggeliat. Ia ngeluarin suara manja, lalu… Huaaaaammm—nguap tepat di muka Dayandra. Dayandra langsung nutup hidung. “Astaga! Bau alkohol! Mulutmu kayak pabrik soju.” Arumi masih setengah sadar. “Jam berapa sekarang?” suaranya serak. “Sudah pagi.” Mata Arumi langsung melek. Ia panik, buru-buru meraba tubuhnya sendiri. Masih pakai dress navy, masih lengkap. Ia lega. “Syukurlah… aku kira kita…” Dayandra sengaja nyeletuk. “Yah, kalau udah pun apa salahnya? Saya sudah bayar mahal kamu malam ini.” Arumi mendelik. “Dasar! Mesum banget, sumpah. Udah ah, aku balik ke kamar.” “Tunggu!” Dayandra nangkap tangannya. Genggaman erat bikin Arumi kaget. “Apa lagi sih?” “Katakan, kau terima tawaran itu atau tidak. Waktumu cuma sampai malam nanti.” Arumi menunduk, jantungnya deg-degan. “Nanti malam, Om bakal tahu jawabannya. Sekarang aku pergi dulu. Aku kebelet, nih.” Dayandra tersenyum. “Tadi malam kau keren sekali. Jogetmu… velocity tanganmu… gokil.” Arumi manyun. “Ah, kau nggak tau kalau aku ratu TikTok. Jogetanku pernah FYP!” Dayandra ngakak. “Pantes pede banget.” Arumi meliriknya. “Eh, tapi sebelum pergi… kasih uang, Om. Masa udah capek joget, nggak ada tip?” Dayandra ambil beberapa lembar dolar. Ia taruh di bibirnya. “Nih, ambil pakai bibir.” Arumi mendengus. “Halah, childish banget.” Tapi dia maju, dengan gaya konyol menggigit dolar itu dari bibir Dayandra. Setelah berhasil, ia langsung loncat mundur. “Yes! Mission complete.” Ia kabur keluar ruangan sambil ketawa ngakak. Dayandra cuma geleng-geleng, lalu ketawa keras. “Gila… bocah itu kayak adikku, Falen. Bedanya, Falen nggak sepolos dia.” Di koridor, Arumi meloncat-loncat kegirangan. “Yeay, dapet duit lagi! Hari paling hoki!” Semua mata LC lain langsung ngelirik. “Apa? Kalian iri ya sama aku?” Arumi nyeletuk dengan gaya songong. Bunga tiba-tiba muncul, wajahnya dingin. Plaaak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Arumi. Arumi kaget, matanya berkaca-kaca. “Apa-apaan sih, Kak?!” “Kau nggak sopan sama yang lain! Kau pikir sudah hebat di sini?!” Bunga membentak. Arumi menahan pipinya yang merah. Semua LC lain malah cekikikan, menertawakan dia. “Dasar anak baru sok gaya.” “Makanya jangan belagu.” Arumi berlari ke kamar, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Ia mengunci pintu, membanting tubuh ke kasur. “Semuanya jahat di sini. Yang baik cuma Kak Lili.” Ia menaruh dolar hasil karaoke di dalam kotak tisu, lalu mengacak rambut. “Nikah? Atau tetap di neraka ini? Aku harus pilih mana?” Matanya memandang cermin. Bekas tamparan Bunga masih jelas. “Kak Bunga keterlaluan. Padahal mereka yang mulai, bukan aku.” Siang harinya, Lili datang ngajak jalan-jalan. “Rum, temenin aku ke mall, yuk. Aku mau beli iPhone terbaru.” Arumi bengong. “iPhone? Gila, kak. Mahal banget itu.” Lili senyum. “Yaelah, duit kita kan ada. Kau juga dapet banyak dari om tampan itu, kan?” Arumi garuk kepala. “Iya sih… pengen juga pegang iPhone. Tapi…” “Tapi apa?” Lili menatapnya. “Aku… nggak tau cara pakenya.” Lili langsung ngakak keras. “Astaga Arumi! Jangan kampungan deh. iPhone itu gampang dipakai.” Arumi manyun. “Yaudah, nanti aja deh. Aku mending nabung. Siapa tau bisa kuliah kedokteran. Entah terwujud atau nggak, yang penting aku berusaha.” Lili terdiam, lalu mengedikkan bahu. “Terserah kau. Kalau aku sih sekarang mau enjoy hidup.” Di hati kecilnya, Arumi sadar ia ada di persimpangan. Di satu sisi, tawaran Dayandra bisa jadi jalan keluar. Di sisi lain, hidup bebas Lili yang glamour tapi hampa terus menghantui pikirannya. Dan waktu yang Dayandra kasih… tinggal beberapa jam lagi. “Arumi ayo cepat! Yah.. malah bengong.”Malam itu, langit di atas kota tampak penuh cahaya neon. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, tapi di balik gemerlap itu, ada sisi gelap yang masih sama—tempat yang dulu jadi mimpi buruk Arumi.Arumi berjalan pelan di koridor sempit club itu, rambutnya dikuncir seadanya, bibirnya pucat. Lima tahun telah berlalu sejak malam ketika Lili meninggal di pelukannya. Lima tahun sejak tubuhnya dipaksa kembali ke tempat yang ingin dia tinggalkan selamanya.Kini, dia cuma bayangan dari dirinya yang dulu. Hatinya kosong, langkahnya berat, dan setiap malam, dia cuma berharap satu hal: semoga suatu hari bisa bebas.Flashback lima tahun lalu...Ketika mobil pengantin Dayandra meninggalkannya di depan rumah mewah itu, Arumi berlari mengejarnya, tapi langkahnya goyah, napasnya sesak.Belum sempat ia sadar, suara langkah kaki cepat terdengar dari belakang.“Arumi!” teriak seseorang.Dia menoleh, dan matanya membesar. Anak buah Bunga—dua orang pria berjas hitam—berlari mendekat.“Tidak… tidak! Lepaskan a
Langit masih gelap keunguan saat Arumi bangun dari bangku batu tempat dia tertidur semalaman. Angin pagi menusuk kulitnya, dingin sampai ke tulang. Matanya sembab, rambutnya berantakan, tapi tatapannya teguh—ada satu tujuan di pikirannya: Dayandra.Dia memanggil bajaj yang lewat, dan dengan suara serak, berkata pelan,“Ke rumah sakit, Mas.”Sepanjang perjalanan, Arumi menggenggam ujung jaket lusuhnya erat-erat. Di pikirannya cuma ada wajah Dayandra—lelaki yang pernah melindunginya mati-matian dari Bunga dan Corla, yang bilang dia gak peduli dengan masa lalu Arumi. Lelaki yang sekarang mungkin masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.Tapi begitu sampai di rumah sakit, kabar yang dia terima justru bikin jantungnya berhenti sesaat.“Pasien atas nama Dayandra?” tanya Arumi dengan napas bergetar.Suster di meja resepsionis membuka data pasien di komputer. “Oh, Pak Dayandra sudah keluar dari ICU setengah lalu. Sekarang sudah pulih total, bahkan sudah tidak dirawat di sini lagi.”
1 Bulan Kemudian.Sudah sebulan berlalu sejak malam itu—sebulan sejak Lili dan Arumi berjanji buat cari jalan keluar dari neraka bernama club itu.Setiap hari rasanya seperti berlari di dalam lingkaran setan. Musik yang sama, tawa palsu yang sama, dan tatapan para pengawas yang selalu curiga setiap kali Lili dan Arumi bisik-bisik.Tapi Lili gak pernah berhenti berusaha.Setiap malam, dia pura-pura ramah sama pengawal pintu belakang, pura-pura manis ke bartender supaya bisa dapetin info tentang jadwal Bunga dan anak buahnya. Semua ia lakuin demi satu hal: kabur.Namun, Bunga bukan orang bodoh. Sejak terakhir kali ia curiga, penjagaan makin ketat. Dua bodyguard baru ditambah di pintu keluar, kamera pengawas dipasang di setiap lorong, dan semua LC harus lapor kalau mau keluar ruangan.Arumi makin tertekan. Kadang ia cuma duduk di kamar sempitnya, menatap dinding kosong sambil nangis tanpa suara.“Aku capek, Kak,” ucapnya lirih suatu malam. “Setiap kali aku coba percaya kita bisa keluar,
Lampu-lampu neon berkedip di langit-langit ruangan itu, berganti warna dari merah ke ungu, lalu biru, seolah gak pernah berhenti mengingatkan betapa dunia di dalam tempat itu gak pernah benar-benar tidur. Musik EDM berdentum keras dari panggung utama, dan bau alkohol bercampur parfum murah memenuhi udara.Arumi duduk di pojok ruangan, pakai dress hitam pendek yang bahkan gak ia pilih sendiri. Tatapannya kosong, wajahnya tampak letih, dan tangan mungilnya menggenggam segelas air putih yang udah lama gak ia sentuh.Sudah seminggu. Seminggu sejak Corla menyerahkan dirinya pada Bunga.Seminggu sejak dunia gelap yang dulu ia tinggalkan kembali menelannya tanpa ampun.Tapi kalau bukan karena Lili—mungkin Arumi udah hancur sepenuhnya.Lili datang di malam pertama Arumi dibawa balik ke club. Perempuan itu jauh lebih tua, tapi masih punya pesona dan ketenangan yang bikin orang merasa aman. Rambutnya panjang diikat ke belakang, dan senyum lembutnya selalu muncul di saat Arumi paling butuh.“Kau
Mata Arumi sembab, wajahnya pucat, dan langkahnya gemetar ketika tiba di depan bangunan yang sudah sangat ia kenal — Club Elysium, tempat yang selama ini menjadi luka terdalam dalam hidupnya. Aroma alkohol dan asap rokok menyambut begitu pintu mobil dibuka. Musik berdentum keras dari dalam, membuat jantung Arumi berdegup semakin cepat.Ia menatap Bella yang berdiri di depannya, mengenakan pakaian glamor dan lipstik merah menyala.“Kenapa kalian membawa aku ke sini lagi!?” serunya parau, tangannya mencoba melepaskan genggaman dua orang bodyguard yang memegangnya di kedua sisi.Bella hanya tersenyum tipis, penuh kemenangan.“Karena kau aset kami, Arumi. Kau tahu itu.”“Tapi Mas Dayandra sudah membayar kalian! Dia sudah menebus aku, sudah selesai!” Arumi memohon, suaranya bergetar antara marah dan ketakutan.Bella mendekat, menatap wajah Arumi dengan tatapan tajam dan sinis.“Mana dia sekarang, hah? Mana pria yang kau banggakan itu? Kau lihat? Tak ada siapa pun yang datang menyelamatkanm
Mobil itu menabrak pembatas jalan dan terguling dua kali sebelum akhirnya berhenti dengan posisi miring di pinggir jalan. Kaca depan pecah, suara alarm mobil meraung keras, dan asap tipis keluar dari kap depan.Beberapa detik, semuanya hening.Arumi pingsan separuh sadar. Tubuhnya terlempar ke samping, bahunya sakit tapi nggak parah. Dia coba buka mata, pandangannya buram. Saat sadar sedikit, hal pertama yang dia lihat adalah tangan Dayandra yang masih menggenggam tangannya lemah—tapi darah menetes dari pelipisnya.“Mas…?” suara Arumi serak. Dia mengguncang bahu Dayandra pelan. “Mas Dayandra! Bangun, Mas! Tolong!”Tapi Dayandra nggak bereaksi. Matanya tertutup, napasnya lemah, kepala bersandar di kursi dengan luka yang terus berdarah.Arumi panik. “Tolong! Ada orang tolong!” teriaknya histeris dari dalam mobil. Tangannya gemetar, berusaha buka sabuk pengaman tapi susah karena tangannya juga lecet.Beberapa menit kemudian, suara sirene ambulan datang. Petugas langsung ngebuka pintu mob







