"Hai! Apa kau sudah mendengar berita hari ini?"
"Berita apa?"
"Itu, lho. Berita tentang penemuan mayat di bekas pabrik sepatu yang berada gak jauh dari sini."
"Ohh, berita itu. Aku sih sudah melihatnya tadi pagi di Instagram."
"Trus, gimana menurutmu?"
"Gimana apanya?"
"Yah, pendapat kau tentang kasus itu."
"Ahh, entahlah. Toh, nanti juga akan ada klarifikasi dari pihak kepolisian. Kita tunggu aja. Aku gak mau berspekulasi apa-apa tentang kasus itu. Hanya membuat kepalaku jadi tambah pusing. Mana tadi habis ulangan matematika secara mendadak. Dasar Pak Dadang sialan. Bikin kesel aja."
"Dasar kau aja yang pemalas. Sudah tau kalau Pak Dadang itu sering mengadakan ulangan mendadak. Bukannya rajin belajar, malah nge-game aja kerjaan kau. Ah, sudahlah. Percuma juga aku ngobrol lama-lama sama kau. Lebih baik aku ke kantin aja."
"Yah, sudah kau pergi sana! Sekalian belikan aku minuman, ya. Terserah apa aja, yang penting dingin. Biar kepalaku terasa adem."
"Enak aja kau menyuruh aku. Beli sana sendiri! Aku bukan pembantumu."
Itulah sebagian obrolan yang berasal dari dua orang siswa, yang terpaksa di dengar oleh seorang pemuda yang baru saja hendak tertidur. Karena saat ini, ia sedang diserang oleh rasa kantuk yang sangat hebat. Apalagi jam pelajaran pertama tadi harus mengisi lembar jawaban yang terbilang cukup sulit bagi beberapa teman-temannya.
"Wah, cowok tertampan di sekolah ini, jam segini sudah mau tidur di kelas. Apa kata dunia jika melihat hal ini, Arjuna?" tanya sesosok pemuda yang berjalan mendekat dengan masing-masing tangan yang terselip di kedua saku celanannya.
Pemuda itu tampak rapi dengan seragamnya yang berwarna putih abu-abu. Di mana pakaian tersebut, merupakan ciri khas yang umum bagi para siswa SLTA. Di sebuah negara yang terkenal sangat bar-bar di medsos. Selain harus memakai sepatu hitam polos dengan kaus kaki putih.
Rambutnya yang ikal serta berwarna hitam sangat pas sekali dengan gaya rambut faux hawk. Apalagi selalu tampak basah oleh minyak rambut, yang wanginya mampu mendebarkan jantung kaum hawa. Hal itu semakin lengkap dengan bentuk rahangnya yang persegi, serta warna kulit yang putih bersih bak para idola dari negeri ginseng.
"Apa kamu datang kemari cuma ingin bicara seperti itu saja? Jika iya—maka pergilah. Aku sangat mengantuk sekali hari ini," jawab Arjuna dengan kening yang menempel di pergelangan tangan kiri.
"Tidak, bukan itu maksud kedatanganku kemari. Tapi ada sesuatu yang harus aku sampaikan kepadamu, Arjuna. Dan pastinya, hal itu akan membuat rasa kantukmu akan hilang dalam sekejap. Apa kau bersedia mendengarnya, kawanku?"
Ucapan itu langsung membuat gerakan tangan kanan Arjuna, yang sedang sibuk memijat batang leher bagian belakang, seketika berhenti total. Lalu secara perlahan-lahan ia mengangkat kepala dan memandangi sosok pemuda yang telah berdiri di sisi kirinya. Walau dengan kedua kelopak mata yang masih terasa berat.
"Apa itu? Cepat katakan, Mahesa. Kamu lihatkan, kalau aku sangat mengantuk sekali," desak Arjuna yang kemudian langsung menguap tanpa sempat menutupi mulut.
"Ah, bau sekali mulutmu, Arjuna. Apa hari ini kau lupa sikat gigi? Baunya seperti bangkai anjing. Bikin perutku terasa mual. Pengin muntah rasanya."
Mendengar itu Arjuna cuma tersenyum kecut dan langsung kembali ke posisi sebelumnya. Menenggelamkan wajah di balik tangan serta menutup kedua kelopak matanya lalu menguap lagi sekeras-kerasnya. Tanpa perlu takut bau mulut menyeruak keluar serta tercium oleh Mahesa.
"Sungguh kau ini cowok yang tidak pernah jaim. Menguap sesuka hati tanpa rasa malu."
"Sudah cukup bicaranya? Jika sudah, kamu bisa segera pergi dan tidak menggangu aku lagi."
"Baiklah-baiklah. Aku akan langsung to the poin aja. Biar kau segera bisa tidur. Toh, aku juga — "
"Bawel," potong Arjuna dengan nada sedikit kesal dan lagi-lagi ia menguap dengan kencangnya.
Mahesa pun terdiam sejenak dengan sedikit raut kekesalan yang terlintas di wajah. Karena ucapannya dipotong begitu saja oleh Arjuna. Apalagi dikatakan bawel. Walau demikian, ia tidak bisa marah sebab Arjuna adalah sahabat karibnya sejak kecil.
"Begini Arjuna. Apa kau masih ingat dengan Shima? Teman sekelas kita waktu SMP."
"Iya, aku masih mengingatnya. Memangnya ada apa dengan, Shima?"
"Aku dapat kabar kalau ayahnya sudah meninggal."
"Kapan?" tanya Arjuna yang langsung mengangkat kepala dan memandangi wajah Mahesa dengan tatapan yang penuh keseriusan.
"Tadi pagi."
"Kalau begitu, sepulang sekolah nanti kita langsung ke rumahnya."
"Baiklah. Sekalian aku akan mengajak Gayatri."
"Gayatri? Siapa dia?"
"Teman sekelasku, yang juga tetangga dekat Shima."
"Oh, si murid pindahan."
"Ya. Dan kau pasti pernah mendengar — "
"Aku tidak peduli tentang hal itu." Kembali Arjuna memotong ucapan Mahesa sambil beranjak dari kursi.
"Kau mau kemana? Tiba-tiba saja mau pergi."
"Ke kamar mandi. Cuci muka. Kau mau ikut?"
Mahesa langsung tertawa keras mendengar ajakan itu. Sehingga membuat beberapa siswa yang ada di sana memandangi dirinya. Namun, ia tidak memedulikannya. "Sudah aku duga, kalau berita tadi pasti akan membuatmu tidak mengantuk lagi. Karena dia mantanmu!" teriak Mahesa yang seketika membuat suasana kelas menjadi hening.
Arjuna yang hendak meninggalkan kelas seketika menghentikan langkah. Tepat di ambang pintu. Lalu menoleh ke arah Mahesa sambil tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata. Hanya memberikan isyarat jari tengah dengan menggunakan tangan kanannya.
Lagi-lagi Mahesa tertawa melihat tingkah Arjuna seperti itu. Malah kini jauh lebih kencang dari yang tadi sambil berkata, "Bersiaplah, Arjuna! Kau akan jadi hot gosip di sekolah kita ini. Semua orang akan membicarakan dirimu. Apalagi, dia akan segera pindah kemari. Setelah pemakaman ayahnya selesai." Sambil berjalan dengan gaya khasnya.
"I don't care," tegas Arjuna yang kembali berjalan meninggalkan kelas tanpa menoleh ke belakang.
Yah, saat ini kau boleh berkata demikian. Tapi—lihatlah nanti. Karena kau akan menelan ucapanmu itu. Aku sangat yakin—sangat yakin sekali, sobatku—Arjuna.
Dan ia pun bergegas kembali ke kelasnya, untuk menemui seorang perempuan yang bernama Gayatri.
Rasa segar dan sejuk langsung menyapa raut wajah Arjuna. Tatkala bulir-bulir air telah merayap membasahi tiap permukaan kulitnya yang berwarna sawo matang. Ia tampak sangat menikmati sensasi kesegaran yang dirasakannya itu. Hingga membasuh mukanya berkali-kali dan hal tersebut membuat kontur rahangnya yang oval semakin terlukis jelas oleh air.Apalagi sinar mentari yang menerebos masuk melalui jendela kecil yang ada di sisi kiri, juga ikut-ikutan membelai raut muka Arjuna. Sehingga membuat bulir-bulir air yang menempel di wajahnya menjadi berkilauan bagai berlian. Sungguh sebuah pemandangan yang indah dan mampu menggetarkan jiwa. Jika ada kau hawa yang melihatnya.Tidak hanya membasuh wajah, Arjuna juga merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Dengan menggunakan kedua tangan yang sudah dibasahi oleh air. Lalu mengusapkannya satu kali, semua sudah menjadi rapi seperti sediakala. Hal itu bisa terjadi, karena gaya rambut undercut-nya sangat mudah dirapi
"Ayah!"Pekik keduanya secara bersamaan, seiring dengan tubuh yang langsung membeku. Sedangkan guru yang ada di depan mereka terlihat membungkukkan badan sambil menyapa, "Selamat pagi, Pak Direktur dan Wakil Direktur." Lalu setelah itu segera memasuki ruang BK yang bersebelahan dengan ruang para guru."Kenapa Ayah datang kemari?" tanya Mahesa dengan kepala yang menunduk."Apa itu menjadi masalah bagimu, anakku?" tanya balik pria paruh baya itu yang berdiri tepat di hadapannya.Mahesa tidak bisa menjawab pertayaan tersebut. Hanya mampu terdiam dan semakin menunduk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Arjuna. Apalagi sosok pria berkacamata yang ada di depannya sedang berbisik, yang membuat kedua bola mata Arjuna hendak meloncat keluar.Setelah itu, pria tersebut meninggakan Arjuna yang diikuti oleh ayahnya Mahesa. Begitu suara langkah keduanya tak terdengar lagi. Mahesa langsung mendekati Arjuna dan bertanya tentang apa yang terjadi. Namun
Arjuna yang merasakan adanya tekanan seperti itu terlihat tampak tenang. Tak memperlihatkan kegusaran sama sekali. Baik di raut wajah atau gerakan tubuh."Karena aku tahu kalau Shima sedang berbohong kepada kita," jawab Arjuna dengan senyuman kecil."Begitu, yah. Kira-kira kenapa dia harus berbohong seperti itu kepada kita? Bukankah kita temannya?""Entahlah. Tapi, setahuku tak sedikit yang seperti itu. Demi menjaga nama baik yang telah meninggal."Begitu Arjuna selesai bicara, Mahesa datang menghampiri dengan bulir-bulir air di dahinya. "Wah, apa aku datang tidak tepat pada waktunya? Sepertinya dari tadi ada yang sedang asyik mojok terus," celetuknya dengan nada yang menyindir.Karena Arjuna sedang malas menanggapi celotehan itu. Maka ia lebih memilih menjauh dengan meninggalkan ruang tamu. Menuju ke mobilnya yang terparkir di seberang rumahnya Shima.Sedangkan Mahesa masih diam di sana bersama Gayatri—di ruang tamu. Pojok ruangan, dekat jendela.
Baru saja sosok bertopeng itu selesai bicara. Tiba-tiba tanah yang diinjaknya bergetar hebat. Hingga beberapa bebatuan di sekitarnya terangkat dari tanah. Lalu keadaan lingkungan secara mendadak menjadi gelap gulita untuk beberapa saat. Sebelum kembali terang seperti sediakala.Dan saat itulah, lingkungan sekitar telah berubah total. Tidak lagi berada di pekarangan rumah. Tetapi, di alam niskala. Alam yang diciptakan oleh si kepala babi. Untuk memberikan keuntungan tersendiri dalam pertaruangan."Wohoho. Kau sungguh keren, Babi. Bisa membuat alam niskala1) seperti ini. Apa kastamu, Babi?" tanya sosok bertopeng itu sambil melihat sekelilingnya dengan saksama untuk mencari keberadaan si kepala babi.Tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Hanya suara denyutan yang terdengar. Suara yang berasal dari dinding daging serta lemak yang mengelilinginya."Baiklah, baiklah. Kau pasti tidak akan menja .... "Belum saja sosok bertop
Di ruangan kelas yang berbeda, hal yang sama juga terjadi. Nyaris sama, hanya saja Mahesa tidak setenang Arjuna. Dalam menyingkapi situasi ketika semua pasang mata menatap dirinya. Sehingga keadaan kelasnya semakin gaduh."Eh! Asal kalian tahu saja, ya. Kalau aku juga tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Memang, ini aturan pasti atas ide atau persetujuan dari ayahku sama ayahnya Arjuna. Tapi, sekali lagi aku tegaskan ke kalian semua. Kalau aku tidak tahu apa-apa tentang aturan baru ini. Dan aku juga tidak suka dengan aturan baru ini. Sama seperti kalian!" omel Mahesa dengan nada tinggi sambil berdiri.Lalu tanpa memedulikan sorakan serta cemohan teman-temannya, Mahesa segera berjalan untuk meninggalkan kelas. Namun, sebelum itu ia sempat berkata, "Aku akan menemui Kepala Yayasan, dan menyelesaikan hal ini. Agar aturan tadi tidak jadi diberlakukan kepada kita." Dengan nada yang jauh lebih lantang dari tadi.Ucapan Mahesa itu langsung disambut sorak-sorai oleh semua t
Kini giliran Mahesa yang bicara. Ia mengungkapkan keberatan terhadap aturan baru itu persis seperti Bima. Hanya saja nada bicaranya sedikit lancang dan lantang. Hingga seluruh area ruangan dipenuhi oleh suaranya."Aturan baru itu sama saja membunuh kami semua. Walau alasannya demi mendapat nilai ujian kelulusan yang tinggi. Tetap saja itu seperti menjadikan kami budak. Budak pendidikan oleh kaum otoriter sekolah."Suasana seketika menjadi mencekam begitu Mahesa selesai bicara. Hingga membuat jantung mereka berlima berdegup sangat kencang. Sampai-sampai keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung. Apalagi sosok yang ada di depan mereka menampilkan raut wajah yang datar. Tanpa senyum, tanpa tawa."Budak? Apa kamu mengerti arti kata itu, Mahesa? Sehingga kamu berani memakai kata itu. Andai saja ayahmu ada di sini, mungkin beliau akan merasa sangat malu. Karena mendengar kata itu, diucapkan oleh darah dagingnya sendiri."Ucapan itu benar-benar menohok hat
"Sungguh aku tidak menyangka hal itu. Benar-benar diluar dugaan," ucap Bima setelah keluar dari ruangan tersebut.Mahesa yang mendengar itu langsung tertawa sambil menoleh ke belakang dan berkata, "Apa hal ini sudah kalian rencanakan, Arjuna? Karena dari tadi aku lihat kau begitu tenang. Tapi, saat kau mulai bica .... ""Sudah, aku yakin Arjuna tidak seperti yang kau katakan, Mahesa. Bukankah begitu, Arjuna?" tanya Bima yang memotong ucapan Mahesa untuk membela Arjuna sambil menoleh ke belakang."Biarkan dia berpikir demikian. Yang penting aturan baru itu sudah tidak berlaku lagi," jawab Arjuna dengan raut wajah datar."Aku sungguh heran dengan kalian berdua. Tidak pernah akur, tapi hebatnya, masih bisa tetap berteman akrab. Sunggu kalian manusia aneh," komentar anak perwakilan kelas bahasa sambil tertawa kecil.Sedangkan Gayatri yang berjalan paling depan hanya diam dan tidak menoleh sama sekali. Namun, secara mendadak langkahnya terhenti. Sehingg
Gayatri.Nama tersebut terjabarkan sangat jelas di hati Arjuna. Sebelum ia berbalik agar sosok perempuan berambut sebahu itu tidak melihat dirinya. Arjuna kembali duduk di meja tadi dan mulai membaca.Namun, baru selesai satu halaman. Tiba-tiba Gayatri datang menghampiri dan langsung duduk di samping kanan. Dengan membawa sebuah novel karangan Marie Lu—The Rose Society. "Apa kau pencinta Dan Brown, Arjuna?" tanya Gayatri tanpa sungkan sambil tersenyum."Tidak juga," jawab Arjuna tanpa menoleh sambil tetap membaca.Mendengar jawaban Arjuna seperti itu, dengan nada bicara yang tidak enak didengar. Gayatri langsung menunduk dan membuka sampul novel yang ada di hadapannya. Ia mulai berkonsentrasi untuk membaca satu persatu kata yang tercetak di sana."Arjuna, aku ingin minta maaf kepadamu," ucap Gayatri setelah sekian menit membaca."Minta maaf? Untuk apa?" tanya Arjuna sambil tetap membaca."Hal y