Rasa segar dan sejuk langsung menyapa raut wajah Arjuna. Tatkala bulir-bulir air telah merayap membasahi tiap permukaan kulitnya yang berwarna sawo matang. Ia tampak sangat menikmati sensasi kesegaran yang dirasakannya itu. Hingga membasuh mukanya berkali-kali dan hal tersebut membuat kontur rahangnya yang oval semakin terlukis jelas oleh air.
Apalagi sinar mentari yang menerebos masuk melalui jendela kecil yang ada di sisi kiri, juga ikut-ikutan membelai raut muka Arjuna. Sehingga membuat bulir-bulir air yang menempel di wajahnya menjadi berkilauan bagai berlian. Sungguh sebuah pemandangan yang indah dan mampu menggetarkan jiwa. Jika ada kau hawa yang melihatnya.
Tidak hanya membasuh wajah, Arjuna juga merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Dengan menggunakan kedua tangan yang sudah dibasahi oleh air. Lalu mengusapkannya satu kali, semua sudah menjadi rapi seperti sediakala. Hal itu bisa terjadi, karena gaya rambut undercut-nya sangat mudah dirapikan serta masih mengandung pomade dan berambut lurus.
"Hai, Arjuna!"
Tiba-tiba saja ada seorang siswa memanggil dirinya yang baru saja keluar dari toilet. Tampak sekali di raut wajahnya menampilkan guratan yang tidak ramah. Apalagi tatapan kedua matanya sangat tajam mengarah ke Arjuna. Dengan kedua tangan yang dikepal sangat kuat.
"Ada apa?" tanya Arjuna dengan ramah sambil tersenyum lebar.
Bukan jawaban yang diterima Arjuna, tapi bogem mentah yang menghampiri dadanya. Tentu saja ia tidak bisa menghindari serangan tersebut dan harus menerimanya dengan ikhlas. Tak ayal tubuh Arjuna langsung tersungkur ke belakang menghantam tembok.
"Gara-gara kau. Aku ditolak mentah-mentah oleh Shanti. Padahal sudah banyak yang aku korbankan untuknya."
"Maaf—aku tidak mengerti maksud ucapanmu," ucap Arjuna dengan tulus sambil meringis kesakitan lalu terbatuk dan memuntahkan darah ke lantai dalam keadaan setengah bersujud.
"Kau jangan berpura-pura tidak mengerti!" bentak siswa itu sambil mencengkeram kerah baju Arjuna hingga berdiri, "bukankah kalian satu kelas? Dan pasti kalian sudah jadian saar ini. Karena dia pernah bilang, akan menembak dirimu lebih dulu. Dasar kau bajingan, Arjuna!" teriaknya semakin kencang dan langsung melayangkan pukulan ke arah wajah Arjuna.
Nyaris saja bogem mentah itu merusak ketampanan wajah Arjuna, jika saja tidak ada Mahesa yang datang menahannya. "Apa aku datang tepat waktu, Arjuna?" tanyanya sambil menyeringai. Lalu menarik tangan siswa itu hingga terpelanting ke belakang dan menghantam pintu kamar mandi yang berbahan alumunium.
Dan tentu saja hal itu menimbulkan suara benturan yang sangat keras. Sehingga membuat beberapa murid yang kebetulan berada di depan pintu kamar mandi menjadi terkejut serta berteriak histeris. Sehingga keadaan menjadi sedikit gempar.
"Hai, kau! Bukankah kau anak IPS? Kenapa kau berbuat ulah dengannya?"
"Apa urusanmu? Dan kau juga bukan anak IPA-kan? Kenapa kau datang membantunya?"
"Cih! Asal kau tahu. Siapa saja yang mengganggunya, akan berurusan denganku. Mahesa. Anak bahasa yang paling tampan di sekolah ini," kelakar Mahesa sambil tertawa.
"Sombong sekali dirimu!" teriak siswa itu sambil bangkit dan langsung menerjang Mahesa dengan melancarkan tendangan kaki kanan yang mengarah ke kepala.
Mahesa sangat sigap menghadapi serangan tersebut. Buktinya, ia mampu menangkisnya dan langsung melakukan serangan balik dengan melancarkan upper cut yang cukup keras. Tepat pada dagu siswa itu.
Tak ayal hal tersebut membuat tubuh lawannya terangkat ke atas sebelum kembali terpelanting ke belakang. Namun, kali ini tidak sampai mengenai pintu. Walau demikian, ia tetap harus merasakan rasa sakit yang jauh lebih hebat dari tadi. Karena saat tubuhya terjatuh, bagian kepalalah yang lebih dulu menghantam lantai dengan sangat keras. Sehigga beberapa bagian keramik menjadi retak.
Dan akibat benturan tersebut, menyebabkan kepala bagian belakang siswa itu mengeluarkan darah. Sehingga menimbulkan rasa pusing yang membuat pandangannya menjadi kabur. Lalu pingsan dalam keadaan lemas di lantai yang dingin serta sedikit terasa lembab.
"Ah, cuma begitu saja sudah pingsan. Ternyata kau lemah juga. Padahal aku kira cukup kuat, karena badanmu terlihat kekar dan besar. Sungguh menyedihkan," protes Mahesa dengan nada penuh kekecewaan sebelum berbalik ke belakang untuk melihat keadaan Arjuna yang bersimpuh di lantai.
"Hai, Arjuna! Kau ada masalah apa dengannya?" tanya Mahesa dengan jari jempol tangan kanan menunjuk ke arah belakang, "sampai-sampai dia menghajarmu seperti ini di kamar mandi." Sambil mengulurkan tangan untuk membantu Arjuna berdiri.
"Andai saja aku tidak datang, bisa-bisa wajahmu sudah tidak berbentuk lagi," ejeknya dengan seutas senyum yang lebih menyerupai seringai.
"Tidak ada," jawab Arjuna dengan tegas sambil menampikkan uluran tangan Mahesa dan segera berdiri.
"Tidak mungkin. Bocah itu tidak mungkin menyerangmu tanpa ada penyebabnya. Kau tidak usah berbohong padaku, Arjuna."
"Ba .... "
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu yang didobrak hingga momotong ucapan Arjuna serta membuat Mahesa berbalik ke belakang. "Kalian berdua! Ikut Bapak ke ruang BK (Badan Konseling). Sekarang juga!" perintah seorang guru diambang pintu dengan beberapa orang siswa yang berdiri di belakangnya, "dan empat dari kalian, bawa dia segera ke ruang UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Sisanya bersihkan darah yang ada di lantai." lanjutnya yang ditujukan kepada murid-murid tersebut.
Dan dengan sigap mereka semua langsung melakukan perintah tersebut. Sedangkan Arjuna dan Mahesa segera menuju ruang BK bersama guru tadi. Setelah terlebih dahulu saling memandang dengan tatapan dingin.
Dalam perjanan menuju ruang BK, kedua remaja itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sesekali saling melirik serta membalas tatapan beberapa siswa yang menatap ke arah mereka, yang sedang berada di sepanjang lorong sekolah. Namun, kebisuan itu berubah menjadi pekik histeris saat keduanya melihat ada dua sosok orang dewasa yang berjalan menghampiri.
"Ayah!"Pekik keduanya secara bersamaan, seiring dengan tubuh yang langsung membeku. Sedangkan guru yang ada di depan mereka terlihat membungkukkan badan sambil menyapa, "Selamat pagi, Pak Direktur dan Wakil Direktur." Lalu setelah itu segera memasuki ruang BK yang bersebelahan dengan ruang para guru."Kenapa Ayah datang kemari?" tanya Mahesa dengan kepala yang menunduk."Apa itu menjadi masalah bagimu, anakku?" tanya balik pria paruh baya itu yang berdiri tepat di hadapannya.Mahesa tidak bisa menjawab pertayaan tersebut. Hanya mampu terdiam dan semakin menunduk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Arjuna. Apalagi sosok pria berkacamata yang ada di depannya sedang berbisik, yang membuat kedua bola mata Arjuna hendak meloncat keluar.Setelah itu, pria tersebut meninggakan Arjuna yang diikuti oleh ayahnya Mahesa. Begitu suara langkah keduanya tak terdengar lagi. Mahesa langsung mendekati Arjuna dan bertanya tentang apa yang terjadi. Namun
Arjuna yang merasakan adanya tekanan seperti itu terlihat tampak tenang. Tak memperlihatkan kegusaran sama sekali. Baik di raut wajah atau gerakan tubuh."Karena aku tahu kalau Shima sedang berbohong kepada kita," jawab Arjuna dengan senyuman kecil."Begitu, yah. Kira-kira kenapa dia harus berbohong seperti itu kepada kita? Bukankah kita temannya?""Entahlah. Tapi, setahuku tak sedikit yang seperti itu. Demi menjaga nama baik yang telah meninggal."Begitu Arjuna selesai bicara, Mahesa datang menghampiri dengan bulir-bulir air di dahinya. "Wah, apa aku datang tidak tepat pada waktunya? Sepertinya dari tadi ada yang sedang asyik mojok terus," celetuknya dengan nada yang menyindir.Karena Arjuna sedang malas menanggapi celotehan itu. Maka ia lebih memilih menjauh dengan meninggalkan ruang tamu. Menuju ke mobilnya yang terparkir di seberang rumahnya Shima.Sedangkan Mahesa masih diam di sana bersama Gayatri—di ruang tamu. Pojok ruangan, dekat jendela.
Baru saja sosok bertopeng itu selesai bicara. Tiba-tiba tanah yang diinjaknya bergetar hebat. Hingga beberapa bebatuan di sekitarnya terangkat dari tanah. Lalu keadaan lingkungan secara mendadak menjadi gelap gulita untuk beberapa saat. Sebelum kembali terang seperti sediakala.Dan saat itulah, lingkungan sekitar telah berubah total. Tidak lagi berada di pekarangan rumah. Tetapi, di alam niskala. Alam yang diciptakan oleh si kepala babi. Untuk memberikan keuntungan tersendiri dalam pertaruangan."Wohoho. Kau sungguh keren, Babi. Bisa membuat alam niskala1) seperti ini. Apa kastamu, Babi?" tanya sosok bertopeng itu sambil melihat sekelilingnya dengan saksama untuk mencari keberadaan si kepala babi.Tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Hanya suara denyutan yang terdengar. Suara yang berasal dari dinding daging serta lemak yang mengelilinginya."Baiklah, baiklah. Kau pasti tidak akan menja .... "Belum saja sosok bertop
Di ruangan kelas yang berbeda, hal yang sama juga terjadi. Nyaris sama, hanya saja Mahesa tidak setenang Arjuna. Dalam menyingkapi situasi ketika semua pasang mata menatap dirinya. Sehingga keadaan kelasnya semakin gaduh."Eh! Asal kalian tahu saja, ya. Kalau aku juga tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Memang, ini aturan pasti atas ide atau persetujuan dari ayahku sama ayahnya Arjuna. Tapi, sekali lagi aku tegaskan ke kalian semua. Kalau aku tidak tahu apa-apa tentang aturan baru ini. Dan aku juga tidak suka dengan aturan baru ini. Sama seperti kalian!" omel Mahesa dengan nada tinggi sambil berdiri.Lalu tanpa memedulikan sorakan serta cemohan teman-temannya, Mahesa segera berjalan untuk meninggalkan kelas. Namun, sebelum itu ia sempat berkata, "Aku akan menemui Kepala Yayasan, dan menyelesaikan hal ini. Agar aturan tadi tidak jadi diberlakukan kepada kita." Dengan nada yang jauh lebih lantang dari tadi.Ucapan Mahesa itu langsung disambut sorak-sorai oleh semua t
Kini giliran Mahesa yang bicara. Ia mengungkapkan keberatan terhadap aturan baru itu persis seperti Bima. Hanya saja nada bicaranya sedikit lancang dan lantang. Hingga seluruh area ruangan dipenuhi oleh suaranya."Aturan baru itu sama saja membunuh kami semua. Walau alasannya demi mendapat nilai ujian kelulusan yang tinggi. Tetap saja itu seperti menjadikan kami budak. Budak pendidikan oleh kaum otoriter sekolah."Suasana seketika menjadi mencekam begitu Mahesa selesai bicara. Hingga membuat jantung mereka berlima berdegup sangat kencang. Sampai-sampai keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung. Apalagi sosok yang ada di depan mereka menampilkan raut wajah yang datar. Tanpa senyum, tanpa tawa."Budak? Apa kamu mengerti arti kata itu, Mahesa? Sehingga kamu berani memakai kata itu. Andai saja ayahmu ada di sini, mungkin beliau akan merasa sangat malu. Karena mendengar kata itu, diucapkan oleh darah dagingnya sendiri."Ucapan itu benar-benar menohok hat
"Sungguh aku tidak menyangka hal itu. Benar-benar diluar dugaan," ucap Bima setelah keluar dari ruangan tersebut.Mahesa yang mendengar itu langsung tertawa sambil menoleh ke belakang dan berkata, "Apa hal ini sudah kalian rencanakan, Arjuna? Karena dari tadi aku lihat kau begitu tenang. Tapi, saat kau mulai bica .... ""Sudah, aku yakin Arjuna tidak seperti yang kau katakan, Mahesa. Bukankah begitu, Arjuna?" tanya Bima yang memotong ucapan Mahesa untuk membela Arjuna sambil menoleh ke belakang."Biarkan dia berpikir demikian. Yang penting aturan baru itu sudah tidak berlaku lagi," jawab Arjuna dengan raut wajah datar."Aku sungguh heran dengan kalian berdua. Tidak pernah akur, tapi hebatnya, masih bisa tetap berteman akrab. Sunggu kalian manusia aneh," komentar anak perwakilan kelas bahasa sambil tertawa kecil.Sedangkan Gayatri yang berjalan paling depan hanya diam dan tidak menoleh sama sekali. Namun, secara mendadak langkahnya terhenti. Sehingg
Gayatri.Nama tersebut terjabarkan sangat jelas di hati Arjuna. Sebelum ia berbalik agar sosok perempuan berambut sebahu itu tidak melihat dirinya. Arjuna kembali duduk di meja tadi dan mulai membaca.Namun, baru selesai satu halaman. Tiba-tiba Gayatri datang menghampiri dan langsung duduk di samping kanan. Dengan membawa sebuah novel karangan Marie Lu—The Rose Society. "Apa kau pencinta Dan Brown, Arjuna?" tanya Gayatri tanpa sungkan sambil tersenyum."Tidak juga," jawab Arjuna tanpa menoleh sambil tetap membaca.Mendengar jawaban Arjuna seperti itu, dengan nada bicara yang tidak enak didengar. Gayatri langsung menunduk dan membuka sampul novel yang ada di hadapannya. Ia mulai berkonsentrasi untuk membaca satu persatu kata yang tercetak di sana."Arjuna, aku ingin minta maaf kepadamu," ucap Gayatri setelah sekian menit membaca."Minta maaf? Untuk apa?" tanya Arjuna sambil tetap membaca."Hal y
Namun, ketika tangan siswi itu hendak menjamah wajah Arjuna. Tiba-tiba muncul aliran listrik berwarna hitam yang melindungi seluruh tubuh Arjuna. Sehingga membuat ia terkejut dan langsung mengambil langkah mundur."Sial. Apa itu?" pekik siswi itu sambil memegang tangan kanannya yang terkena sengatan listrik."Jangan coba-coba tangan kotormu itu menyentuh wajahku, makhluk rendahan!"Kalimat peringatan itu terdengar lantang dari mulut Arjuna, yang langsung bangkit. Dengan sorot mata yang tajam serta tubuh berselimut aliran listrik berwarma hitam pekat. Warna rambut Arjuna pun tampak berbeda—menjadi putih.Suhu udara juga mengalami perubahan, yang awalnya sejuk kini berubah menjadi lebih panas. Disertai tekanannya yang semakin meningkat. Hingga membuat kadar oksigen menipis."Sial, kekuatan leak macam apa ini? Mampu mempengaruhi udara sekitarnya?" tanya siswi itu sambil kembali berjalan mundur.Dan bersamaan itu, wujud Arjuna sudah beruba