Share

Bab 006

Penulis: Nandar Hidayat
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-18 10:23:07

Yang berdiri di tengah lapangan adalah pemuda gagah berumur dua puluh lima tahun. Namun, ketampanan wajahnya tertutupi sifat angkuh dengan sorot mata bengis mengintimidasi setiap mata yang mencoba memandangnya dari jarak dekat.

"Itu Raden Marugul, kan?" tanya Kameswara memastikan.

"Kau sudah tahu rupanya!"

"Iya, Kek. Tadi di perjalanan aku melihatnya. Orang-orang menyebutnya Raden Marugul,"

"Aku berdiri di sini bermaksud ingin menguji calon adik iparku!" teriak Raden Marugul lantang. Suaranya menggema hingga ke setiap sudut perguruan.

"Sifat arogannya tidak juga hilang!" ujar Ranu Baya pelan tapi masih terdengar di telinga Kameswara.

"Mereka datang ke sini cuma mau pamer-pameran, Kek?"

Ranu Baya mendelik mendengar ucapan Kameswara. Anak ini berani lancang juga. Dia berkata tanpa beban.

Tanpa berpikir bagaimana kalau didengar langsung oleh yang bersangkutan.

Namun, di sisi lain Ranu Baya tahu ini hanya aji mumpung Raden Marugul yang ingin mempermalukan calon adik iparnya. Lalu mengerti, itulah kesan yang ditangkap Kameswara.

"Pamanah Rasa, ayo naik!" teriak Raden Marugul lagi.

Bagi Raden Pamanah Rasa tentu saja ini membuatnya dilema. Jika memenuhi tantangan itu, kesannya ingin membuktikan bahwa dia layak mempersunting putri Kentring Manik.

Padahal mereka jelas dijodohkan orang tuanya. Tapi jika menolak, bisa dibilang tak punya nyali.

Terpaksa putra mahkota dari Galuh ini melangkah memasuki lapangan. Seketika terdengar suara riuh tepukan tangan.

"Raden Pamanah Rasa!" seru Kameswara.

Ranu Baya menjelaskan bahwa mereka berdua merupakan murid andalan perguruan Sangga Buana.

Dari usia muda sampai dua puluh tahun mereka digembleng hampir tak pernah meninggalkan perguruan.

Setelah berumur dua puluh tahun mereka boleh keluar masuk perguruan karena mereka juga mulai mendapatkan tugas dari istana.

"Saat ini mereka sudah mencapai pendekar Madya tingkat tiga," pungkas si kakek.

"Wah, tidak ada yang menang atau kalah, dong!"

Ranu Baya hanya tertawa mengekeh melihat kepolosan Kameswara.

Di tengah lapangan sudah berhadap-hadapan dua pendekar muda yang tangguh. Murid andalan perguruan yang juga tokoh penting istana Galuh dan Pakuan.

Yang dilihat Kameswara dua pemuda gagah itu sedang berdiri sambil memasang kuda-kuda mantap.

Kameswara berusaha tak berkedip demi menyaksikan sebuah pertarungan yang menarik.

Tapi kejap berikutnya anak ini kucek-kucek matanya. Memastikan kalau penglihatannya masih normal.

"Kapan mereka bertukar posisi, Kek?"

Lagi-lagi si kakek tertawa. Tentu saja bagi mata Kameswara yang masih awam ilmu silat tak bisa mengikuti gerakan cepat yang dilakukan dua raden itu.

Sebenarnya dua raden itu sudah melepaskan beberapa gerakan jurus yang dalam sekejap saja telah membuat posisi mereka bertukar tempat.

Walaupun sama-sama murid perguruan Sangga Buana, tapi gaya bertarung masing-masing berbeda.

Raden Marugul meskipun tampak kaku, tapi jelas kemantapan dan kekuatannya.

Sedangkan Raden Pamanah Rasa bergaya lembut dan tenang sehingga menghasilkan gerakan yang indah.

Bukankah adu tanding ilmu silat mempertontonkan gerakan jurus yang indah?

Bagi murid-murid perguruan termasuk Ranu Baya, mereka mendapatkan tontonan menarik sambil menyerap apa yang bisa dipelajari. Namun, bagi Kameswara ini mengecewakan.

Kameswara hanya bisa melihat tiba-tiba saja mereka bertukar posisi, berpindah tempat kadang agak ke pinggir lapangan lalu ke tengah lagi dalam sekejapan mata saja. Tahu-tahu saling menjauh dan mendadak begitu dekat.

"Ah, tidak menarik!" Kameswara mendesah kecewa.

"Kalau kau sudah menguasai ilmu silat, pasti dapat melihat dengan jelas dan tentunya menarik!" Ranu Baya mengusap-usap kepala Kameswara.

Beberapa kali terdengar decakan kagum para penonton. Namun, tetap saja tidak berpengaruh bagi Kameswara. Rasanya dia ingin cepat jadi pendekar lalu menantang anak raja yang arogan itu.

Pertarungan dua raden semakin sengit. Yang tadinya mengandalkan tenaga fisik saja, kini sudah menggunakan tenaga dalam.

Efeknya menghasilkan hawa sakti yang menerpa hingga ke penonton di pinggir lapangan.

Yang memiliki tenaga besar masih bisa bertahan di tempat walau badanya bagai pohon tertiup angin kencang.

Namun, yang tenaganya kecil sudah terhempas ke belakang terutama murid-murid yang masih muda.

Tadinya yang antusias ingin menyaksikan pertandingan seru ini kini mencari tempat aman agar tidak terkena imbas tenaga dalam kedua raden yang sedang berlaga.

Apalagi Kameswara, dia sampai bersembunyi di belakang Ranu Baya. Tangannya memegang erat pinggang si kakek.

"Apa kau masih ingin jadi pendekar?" tanya Ranu Baya.

"Tentu saja masih, suatu saat aku akan lebih sakti dari mereka!"

Ranu Baya tertawa lebar mendengarnya. "Ya, sudah, kita ke ruang pustaka saja!"

Ketika si kakek hendak menarik Kameswara, mendadak saja hawa sakti yang menebar dari kedua raden itu hilang. Segera dia melihat apa yang terjadi.

Seorang lelaki sepuh yang tatapannya bersinar penuh wibawa berdiri menengahi kedua raden itu.

"Gunung Cakrabuana bisa meletus oleh kekuatan Raden berdua!" ujarnya pelan.

Raden Pamanah Rasa dan Marugul langsung menjura. Rasa hormat kepada lelaki ini sama seperti kepada raja.

Kemudian keduanya meninggalkan lapangan mengikuti lelaki sepuh yang terlihat masih perkasa itu.

Adu tanding selesai, penonton bubar.

"Eyang Astagina!"

Beberapa orang bergumam menyebut namanya. Kameswara pun segera menoleh ingin melihat.

"Siapa dia, Kek?"

"Ki Astagina, pemimpin para guru!"

"Mahaguru?"

"Bukan, bisa dibilang wakil Mahaguru. Beliau sudah mencapai pendekar Utama tingkat akhir,"

Kameswara baru paham sedikit tentang tingkatan pendekar. Jika Ki Astagina saja pendekar Utama tingkat akhir, berarti Mahaguru berada di atasnya lagi.

"Mahaguru sudah mencapai tingkat Batara," jelas Ranu Baya.

Ranu Baya sudah berjalan menuju ruang pustaka diikuti Kameswara. Anak ini masih melontarkan pertanyaan sambil melangkah.

"Kalau Kakek sendiri sudah tingkat berapa?"

"Aku dua tingkat di bawah Ki Astagina!"

Sampailah mereka di ruang pustaka. Ruangan yang penuh dengan kitab-kitab. Kitab segala macam ilmu ada di sini. Kitab jurus-jurus, ajian, sastra, pengobatan dan lain sebagainya.

Ranu Baya mengambil satu kitab yang agak tebal. Sampulnya berwarna kuning gelap. Tertulis di sampulnya dengan aksara sunda buhun, "Kitab Sumber Daya".

"Ini untukmu!"

Kameswara menatap ragu. Kenapa Ranu Baya memberikan kitab ini begitu saja? Padahal dia bukan murid perguruan Sangga Buana.

Ranu Baya mengerti tatapan anak ini. Anak baik yang paham etika.

"Kalau begitu, aku pinjamkan kitab ini kepadamu. Nanti kalau kau sudah selesai membacanya, kembalikan lagi!"

Senyum mengembang di wajah Kameswara lalu tangannya menjulur menerima kitab itu.

"Terima kasih, Kakek baik sekali!"

Ranu Baya tersenyum. "Dan ini, berikan kepada Surya Kanta!"

Kameswara menerima bumbung bambu yang sama, tapi sepertinya sudah berganti isinya. Dia menyimpan kitab dan bumbung bambu itu ke dalam buntalannya.

"Aku boleh pulang sekarang?"

"Ya, silakan. Pelajari kitab itu dengan baik. Mudah-mudahan bisa membantumu. Hati-hati di jalan!"

"Sekali lagi terima kasih, Kek!" Kameswara menjura sebelum meninggalkan ruangan itu.

Sementara wajah si kakek tampak murung setelah kepergian anak itu. Bukan karena Kameswara, tapi karena isi surat dari Darna Salira.

"Aku harus memberitahukan hal ini kepada Ki Astagina!"

Ketika melewati pintu gerbang perguruan, Kameswara bertemu lagi dengan dua penjaga yang kini membawa alat-alat kebersihan. Senyumnya langsung mengembang lebar. Tatapannya penuh ejekan.

Sementara dua murid ini menatap tajam menahan emosi. Pikir mereka, anak kecil ini membawa sial.

Mereka hanya bisa membiarkan Kameswara lewat dan pergi meninggalkan perguruan.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 342

    Kameswara menatap sejenak situasi di depannya. Asmarini duduk menyandar ke bahu raga kasarnya. Di atasnya Payung Terbang memayungi keduanya. Pendekar muda ini tersenyum. Kemudian sukma Kameswara masuk kembali ke dalam tubuh kasarnya. Pedang Bunga Emas otomatis terpegang di tangannya. Asmarini langsung sadar dari lamunannya. "Kakang sudah kembali!" Asmarini langsung menyimpan payungnya. Tangan kiri memegang pedang, tangan kanan merangkul tubuh istrinya. "Inikah Pedang Bunga Emas?" Kameswara pura-pura tidak tahu. "Terbuat dari emas dan menebarkan harum, ini memang pedang pusaka leluhur. Kakang telah membawanya dengan selamat. Terima kasih banyak, Kang!" "Aku suamimu, pasti akan melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Tidak perlu berterima kasih. Ini, simpanlah!" Asmarini menerima pedang pusaka tersebut, lalu dia menggeser duduknya hingga saling berhadapan. "Aku juga rel

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 341

    Blang!Kameswara menemukan sebuah ruangan bawah tanah agak luas. Keadaannya remang-remang.Di tengah ruangan ini ada gundukan bantu besar bentuknya mirip seperti dulu dia menyelam ke dasar telaga.Cahaya remang-remang ini pasti berasal dari pedang pusaka itu. Kameswara segera mencari letaknya. Dulu tertancap pada sebuah batu, sekarang pasti sama.Setelah berkeliling satu kali akhirnya menemukan juga pusaka tersebut. Kedua mata Kameswara terbelalak."Mungkinkah ini pedang yang sama? Kalau begitu bisa jadi ada dua, karena di masa depan sudah aku ambil dan diserahkan kepada Ayu Citra, atau..."Kameswara ingat selama sering bertemu dengan Fan Xiang yang merupakan reinkarnasi dari Ayu Citra, gadis itu tidak pernah membicarakan tentang pedang ini."Atau bisa jadi pedangnya kembali ke sini!"Ketika tangan Kameswara menjulur hendak memegang pedang yang tertancap di batu tersebut, tiba-tiba ada serangan hawa gaib yang me

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 340

    Manakala terbetik berita yang dibawa oleh pedagang dari Arab bahwa Ali bin Abi Thalib telah meninggal dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, maka Rakean Sancang bergegas kembali ke Arab.Tempat pertahanan di Gunung Negara terpaksa ditinggalkannya. Di saat itulah dengan segera pasukan Tarumanagara dikerahkan untuk menghancurkan umat agama baru itu.Hampir separuh penganut agama baru itu meninggal dan sebagian lainnya dapat melarikan diri melalui jalan rahasia berupa gua kemudian keluar di bukit yang curam.Para penganut agama baru lalu menyebar ke mana-mana di wilayah Tatar Sunda."Dan sejak saat itu mereka menjalankan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi?" tanya Padmasari."Benar, bisa jadi telah mengganti nama agar tidak ketahuan lagi," sahut Ki Santang."Kau mencurigai atau menemukan sesuatu yang berkaitan dengan hal itu?""Ada!""Wah, apa itu?""Ada sebuah ajaran yang namanya Sunda Wiwitan, ajarannya

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 339

    Sepasang suami istri berbeda masa sudah dalam perjalanan mencari Pedang Bunga Emas. Pada malam hari apabila tidak mendapatkan penginapan, maka mereka bermalam di hutan atau kebun.Mereka membuat gubuk dadakan. Dengan kesaktian Kameswara tentu saja sangat mudah dan cepat membangun tempat istirahat sementara tersebut.Sebelum tidur Asmarini sempatkan untuk bersemedi mencari petunjuk keberadaan pusaka leluhurnya.Selama ini setelah berkali semedi sebelum perjalanan, dalam pikirannya selalu ingin pergi ke arah utara."Kalau ke utara, tempat apa saja yang akan kita temukan? Selain bukit Gajah Depa tempat aku menyegel Kala Cengkar. Bukit itu dekat ke perbatasan kerajaan Wanagiri,"Kameswara tampak menerawang. Meski berbeda waktu, tapi letak suatu tempat tetap sama.Tempat mereka berada sekarang sudah dekat ke wilayah yang suatu saat nanti menjadi kerajaan Talagamanggung."Di masa ini kerajaan itu belum berdiri, sedangkan Hutan

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 338

    "Aku tidak menyangka ternyata orang-orang desa Linggapura menggunakan cara-cara memalukan!" teriak Genta."Jangan ngawur!" sentak Suryadana tidak bisa menahan diri. "Sebenarnya kau mau apa ke sini?"Genta bertolak pinggang, wajahnya menunjukkan keangkuhan dan congkak. Sambil menunjuk dia berseru."Aku akan buktikan bahwa warga desa yang katanya kumpulan para pendekar melakukan cara licik untuk memikat hati wanita. Dengan cara membunuhmu, maka guna-guna yang merasuki Sukesih akan hilang!"Genta melangkah ke alun-alun. Keributan kecil di balai desa ini memancing warga yang lain berdatangan untuk melihat apa yang terjadi."Aku tantang kau di kandang sendiri, Suryadana. Katanya kau adalah pemuda berbakat di desa ini, aku ingin tahu seberapa hebatnya dirimu!"Di tempat lain Kameswara dan Asmarini sudah menyaksikan kejadian itu.Sebelum melangkah memenuhi tantangan Genta, pemuda berbakat desa Linggapura menyuruh calon istrinya

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 337

    Desa Linggapura tidak besar juga tidak kecil, penduduknya agak padat. Sususan pemukimannya tertata dengan rapi. Karena awalnya hanya sebuah padepokan kecil.Pada waktu itu, selain menerima murid baru dari luar, juga ada penambahan warga dari dalam padepokan sendiri. Yaitu anak-anak dari pernikahan antara murid laki-laki dengan perempuan.Desa padepokan ini berada di kaki gunung Lingga. Dulu padepokan utamanya berada di lereng gunung.Sekarang dijadikan tempat keramat yang tidak sembarangan orang bisa ke sana, walaupun warga desa sendiri."Lama-lama bisa jadi kerajaan," ujar Kameswara yang diajak jalan memutar. Tidak melalui jalan utama, tapi langsung menuju lereng."Memangnya ada yang seperti itu?""Ada, dulu Indraprahasta juga awalnya hanya pedukuhan kecil yang dibangun oleh resi Santanu,""Oh, ternyata begitu. Sayangnya sekarang sudah hancur!"Kameswara teringat ketika menyelamatkan keluarga Prabu Wiratara seb

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 336

    Keesokan harinya perjalanan mencari Pedang Bunga Emas dimulai. Kameswara sudah mempunyai rencana kemana dia akan pergi, tapi tidak disampaikan ke istrinya."Kemana kita akan mulai?" tanya Kameswara."Ke utara!"Tepat. Arah yang hendak dituju Kameswara memang ke utara. Mudah-mudahan saja firasatnya benar."Jadi kita tidak membutuhkan para pendamping?""Hanya untuk keadaan darurat. Jangan terlalu mengandalkan mereka. Selagi masih bisa dikerjakan sendiri, jangan malas!""Baiklah!"Pada dasarnya Kameswara memiliki pemikiran yang sama dengan istri mungilnya ini. Hanya untuk hal yang sangat tidak mungkin baru dia meminta bantuan Padmasari.Seperti menyeberang ke negeri tempat tinggal Ayu Citra dalam waktu sekejap, tapi itu mungkin tidak akan dilakukan lagi.Satu kesamaan yang dimiliki Asmarini dengan Kameswara adalah tidak suka membawa banyak barang dalam perjalanan. Hanya seperlunya saja.Setelah se

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 335

    Angin yang tadinya berhembus bagaikan badai berganti menjadi tiupan lembut dan sejuk. Semua mata kini memandang ke atas. Satu sosok melayang bagaikan turun dari langit. Bercahaya.Sosok yang memegang payung terbuka menaungi kepalanya dari terik mentari. Setelah semakin turun barulah terlihat sosok tersebut adalah seorang wanita yang kecantikannya bagai bidadari dari alam Tunjung Sampurna."Dewi Payung Terbang!"Beberapa orang berseru mengenali siapa yang datang itu. Semuanya terpana, takjub dengan cara-cara wanita yang dijuluki Dewi Payung Terbang ini muncul di hadapan semua orang.Wanita cantik berpayung mendarat di depan Kameswara. Mereka saling pandang dengan seulas senyum tipis."Kakang berhasil,""Ini berkat Nyai juga!"Aki Balangantrang dan Manarah tampak mendekat."Terima kasih, Ki Sanak telah menyelamatkan kerajaan dan juga ibu saya!" ucap Manarah.Sementara beberapa orang telah mengamankan Hari

  • LEGENDA KAMESWARA   Bab 334

    Apa yang terjadi? Kita mundur dulu sejenak ceritanya.Setelah kematian suaminya, lalu dinikahi oleh Tamperan. Hidup Dewi Naganingrum tidak tenang. Dia merasa telah mengkhianati sang suami.Sedangkan Pangrenyep sepertinya malah senang. Naganingrum tidak tahu kalau di antara Pangrenyep dan Tamperan sudah ada skandal sejak suami masih hidup.Karena rasa tidak tenang inilah akhirnya Naganingrum memutuskan untuk tinggal di luar istana. Dia memilih bekas pertapaan Premana Dikusumah.Di sana dia membangun rumah sederhana. Manarah juga dirawat di sana. Baru ketika umur tujuh tahun, Manarah diperbolehkan pergi ke istana.Sampai besar Manarah sering bolak balik dari istana ke rumah ibunya.Lalu sekarang, tiba-tiba saja Dewi Naganingrum berada dalam cengkraman tangan seseorang yang berdiri di atas atap. Sosok yang mengenakan pakaian serba merah."Dewata Kala!" Aki Balangantrang terkejut. Lebih-lebih Manarah karena dia sangat menyay

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status