Hotel bintang Lima itu tampak meriah dengan berlangsungnya acara ulang tahun Aldi Erlangga. Siapa yang tak kenal dia? Seorang CEO dan pengusaha muda pemimpin perusahaan Unity Holdings Company. Aldi adalah sosok pengusaha sukses yang menjadi panutan semua orang. Disamping itu pula, garis wajah wajah yang kuat disertai tatapan tajamnya berhasil membuat semua wanita bertekuk lutut kepadanya.
Pesta berjalan begitu sarat kemewahan, semua anggota keluarga Erlangga beserta rekan dan beberapa teman dekat di undangnya mereka menikmati minuman termahal juga makanan yang dibuat oleh koki terkenal.
Tampak beberapa pejabat pemerintah dan artis-artis terkenal hadir di sana, memenuhi undangan sang pengusaha muda di hotel yang bintang lima bertaraf Internasional.
Ini bukan hanya sekedar pesta ulang tahun biasa. Untuk Aldi, ini adalah langkah awal perubahan di perusahaanya. Aldi terlihat begitu bersemangat malam itu.
Seorang wanita muda berpenampilan sederhana berparas menawan menggandeng pria berjalan di tengah tengah pesta. Segera mereka menghampiri teman yang sudah menunggunya di meja perjamuan.
“Tuan Rayhan…” Wanita muda itu menyapa pria separuh baya yang melambaikan tangan padanya.
“Sasha...Selamat datang!” Rayhan menyambutnya dengan hangat.
“Selamat malam, apa kabar?” Sebagai tuan rumah, Aldi juga tampak akrab dengan Sasha.
“Selamat ulang tahun," ucap Sasha pada Aldi.
“Terima kasih.”
“Ini suami aku Emir, Emir … Ini Aldi Erlangga.”
“Selamat datang.” Aldi menyalami Emir.
Malam itu Aldi sebagai tuan rumah pesta berkesempatan untuk naik ke atas panggung memberikan pidato singkatnya, diiringi riuh tepuk tangan dan decak kagum para tamu, Aldi mulai berbicara. “Teman-teman tersayang. Tidak mudah untuk berbicara di depan orang banyak. Jadi tolong jangan khawatir. Ini tidak akan menjadi pidato yang panjang. Pidato membuatku bosan. Mereka yang mengenal aku tahu itu merayakan ulang tahun bukan kebiasaanku. Tapi malam ini akan jadi spesial buatku. aku sangat beruntung menjadi anakmu, Ayah. Kau telah memberi aku banyak hal yang banyak orang tidak miliki. Tapi mungkin yang paling berharga hal yang kau ajarkan kepada aku adalah untuk tidak pernah menyerah pada mimpiku, aku telah mendengarkan bagaimana kau mengejar mimpimu siang dan malam dan bagaimana kamu membawanya ke tempat ini, hari ini. Hari ini, di hari ulang tahunku aku memutuskan untuk memberi diriku hadiah, aku senang berbagi kabar baik ini bersama kalian….”
Belum sempat Aldi menyelesaikan pidatonya, seorang wanita dengan wajah yang pucat memotong acara dan berdiri tepat di hadapannya juga tamu-tamu pesta seraya berteriak, “Aldi Erlangga ... aku juga punya hadiah untukmu. Selamat ulang tahun.” Wanita itu mengeluarkan pistol dari tas pestanya. Semua tamu undangan menjerit ketakutan.
***
6 bulan sebelumnya…
Pagi yang cerah, kamar bercat biru bergambar berbagai macam mobil balap itu makin hangat saat Dea menyibakkan tirai. Kevin menutup wajahnya yang mungil dengan bantal, menghindari sinar matahari pagi yang mengenai pipi kemerahannya. Dea dengan sabar membangunkan anak semata wayangnya yang baru berumur 6 tahun.
“Ayo, Nak. Kita harus bangun.” Ucap Dea sambil membelai rambut Kevin.
“Bu, aku ingin tidur….” Kevin menguap manja dan tampak enggan meninggalkan kasurnya..
Ini memang tugas Dea setiap hari, membujuk Kevin agar terbangun dan bersiap-siap pergi ke rumah bibi Ema. Wanita tua yang telah dipercayai oleh Dea untuk mengasuh Kevin dari semenjak bayi setiap Dea harus berangkat kerja, mencari uang untuk hidupnya dan anaknya. Seperti biasa, belaian lembut tangan Dea di rambut keriting Kevin biasanya berhasil membuat dia terbangun. Hanya saja, entah kenapa hari ini Kevin terlihat begitu enggan meninggalkan kasur mobil favoritnya.
“Sayang, kumohon, ibu terlambat kerja.”
“Tidak….” Kevin memasang wajah cemberut.
“Berarti kamu meminta ini. Ibu akan menggelitik! Satu … dua … dua setengah.” Jari-jari Dea mulai menggelitik kaki anaknya.
“Oke, Bu. Aku bangun.” Akhirnya Kevin menyerah dan berdiri dari kasurnya lantas berjalan menuju kamar mandi.
Dea tertawa melihat kelakuan putra tersayangnya, sambil membereskan tempat tidur Kevin Dea terus memuji anaknya yang tampak masih sangat mengantuk. “Nah itu baru anak ibu, pintar. Bangun, nak. Cuci muka mu.”
“Mengapa aku harus bangun setiap pagi, Bu?” Celoteh Kevin sambil berteriak dari dalam kamar mandi.
“Apa yang bisa kita lakukan? Kamu tidak bisa tinggal di rumah sendiri.” Jawab Dea memberikan alasan yang sama setiap anaknya bertanya kenapa setiap pagi dia harus dititipkan.
“Aku bisa, sekarang aku sudah besar!” Cetus Kevin.
Dea hanya menjawab celoteh Kevin dengan senyuman.
Saat sarapan, Kevin tampak enggan menghabiskan makanannya yang sudah Dea siapkan diatas meja makan. Cereal jagung dengan madu dan susu cokelat. Sekali lagi bujukan Dea yang penuh kasih sayang berupaya meluluhkan Kevin. “Apakah kamu demam, nak?” Tanya Dea sambil meraba kening anaknya.
“Tidak,” jawab Kevin singkat dan wajah yang cemberut.
“Buka mulutmu. Makan ini.” Dea memberi suapan untuk Kevin.
Kevin menggelengkan kepalanya seraya berkata, “Aku tidak lapar.”
“Tapi Kev, Ibu terlambat kerja. Ibu harus pergi. Kemudian nanti di rumah Bibi Ema, kau pasti lapar sebelum makan siang,” satu suapan dari tangan Dea berhasil masuk ke mulut Kevin.
Dengan mimik yang lucu, sambil mengunyah makanan, Kevin mengadu, “Aku tidak suka makanan Bibi Ema sama sekali. Baunya sangat tidak enak.”
Dea tersenyum kecil mendengar penuturan Kevin yang polos. “Jangan berani-berani mengatakan itu depan dia, Itu akan membuatnya sedih,” kata Dea sambil menyeka mulut Kevin dengan tisu.
“Tapi rasanya buruk sekali,” ulang Kevin.
“Kumohon, Kev. Habiskan dan makan ini.” Akhirnya dengan sedikit usaha yang keras Kevin mau memakan makanannya. “Sekarang ayo pergi….”
“Bu, kita melupakan sesuatu.” ujar Kevin.
“Apa yang kita lupa, sayang?” tanya Dea
“Ikan….” Kevin berlari lalu memberi makan ikan kecil nya sambil berbicara pada ikannya. “Kau lihat betapa tidak adilnya ini? kau bisa tinggal di rumah sendiri. Tetapi aku tidak bisa.”
Dea hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar Kevin bicara pada Mimo ikannya, “Ayo pergi,” ucap Dea seraya mengambil tas biru Kevin.
“Apakah ibu mengambil buku aku?” sahut Kevin
“Iya.”
“Mobil-mobil aku?”
“Iya.”
“Dan Zıpzıp?”
“Ya, ibu bawa semuanya. Jangan khawatir. Ayo pergi…” Dea mengambil kunci rumah yang selalu dia letakkan disamping lampu baca.
“Bu, aku perlu buang air kecil,” ucap Levin. Ada saja permintaan Kevin agar dia bisa tetap di rumah.
“Sayang, tidak bisakah kau menahannya sampai ke tempat Bibi Ema?”
Kevin menggeleng, berusaha mengulur waktu kepergian mereka.
“Oke, sana ke kamar mandi dulu.”
Kevin pergi ke kamar mandi. Entah kenapa tiba-tiba Dea merasa kepalanya berat dan pandangannya berkunang kunang. Kalau saja dia tidak menahan tubuhnya di tembok. Hampir saja Dea terjatuh pingsan
Udara Roma siang itu sangat hangat. Orang orang lebih suka menghabiskan waktu mereka dengan berbincang ringan di sebuah Cafe atau menikmati angin pantai dengan keluarganya.Sebuah Alfa Romeo Giulia berwarna merah melesat melintasi jalanan Via Venti Settembre. Mobil mewah keluaran terbaru ini tampak cantik melenggok dikemudikan pria muda berperawakan tinggi dan berwajah tampan itu. Tampak sekali dia sangat handal membawa kendaraan dengan semburan 480 tenaga kuda itu menuju D'Angelo Gastronomia Caffe.Rayhan tersenyum simpul ketika melihat mobil itu mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Senyum lebar Aldi tersungging saat dia membuka jendela mobil barunya. “Kau pergi ke Italia untuk mendapatkan ini, bukan? aku seharusnya sudah tahu,” celetuk Rayhan.“Ayolah...Ayo jalan.” Aldi merajuk sepert
Emir meletakkan ponsel selepas Sasha meneleponnya. Begitu rindunya Emir pada wanita yang selama ini selalu setia menemaninya. Meskipun Emir merasa sebagai laki-laki dia belum bisa membahagiakan Sasha, dia hanya memiliki Kaz Speed bengkel yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan, akan tetapi Sasha selalu menerima Emir apa adanya. Juga tulus mencintai ibu dan Joyce, adik perempuan Emir.“Emir, kamu datang lebih awal?” suara Indra membuyarkan lamunan Emir.“Pikiranku sibuk dengan sesuatu yang sedang aku kerjakan,” jawab Emir sambil kembali fokus pada layar monitor di hadapannya.“Tapi kau tidak di sini sepanjang malam, kan?” nada suara Indra sangat mengkhawatirkan Emir.“Aku….”
Sebelum meninggalkan Kevin bekerja, Dea sempat mengobrol sedikit dengan bibi Ema. Wanita setengah baya yang mengasuh Kevin dari kecil ini berpamitan pada Dea karena dia harus pindah ke Bogor untuk mengurus cucunya. Sebenarnya Dea masih sangat membutuhkan bantuan bibi Ema. Dia sudah sangat percaya bahwa bibi Ema hafal karakter Kevin karena mengasuhnya dari kecil. “Kapan kamu pergi, Ema?” “Jika terserah aku aku tidak akan pernah pergi. Tapi anakku memanggilku. Aku tidak bisa mengatakan tidak. Dia akan segera melahirkan,” jawab Ema. “Kamu benar. Aku sudah terbiasa dengan si kecil ini.” Ema terlihat sangat berat meninggalkan mereka. “Apa yang bisa kita lakukan? Kami akan menemukan jalan untuk mengatur hal-hal dalam beberapa hari berikutnya.” Dea begitu berat melepaskan bibi Ema. Tapi dia juga tidak bisa b
"Aldi, bagaimana bisa kau bisa mengeluarkan uang sebesar itu untuk sebuah pena?” tanya Rayhan sambil melirik MonteGrappa di tangan Aldi yang baru saja dia pakai untuk menandatangani tagihan RS. “ Dimana Sasha?” lanjut Rayhan saat tersadar kalau pena Aldi telanjang karena body nya masih dipegang Sasha saat menolongnya untuk bernafas.“Aku akan mencarinya,” kata Aldi “Simpan ini, jaga-jaga kau terlalu banyak bicara.” Sambil tertawa, Aldi memberikan penanya pada Rayhan.Di Luar ruangan Aldi melihat Sasha seperti kebingungan karena gagal mendapatkan penerbangan buat hari itu. Berkali-kali Sasha menelepon maskapai penerbangan, mencari jadwal hari ini, tapi selalu gagal. Dia langsung menghampirinya untuk menawarkan bantuan. “Aku sungguh minta maaf, kau ketinggalan pesawat gar
Sebelum pesawat lepas landas, ponsel Sasha kembali berbunyi. Alvin kembali menghubunginya berkenaan dengan Diva, pasien kecil Sasha yang menderita kelainan ginjal. Menurut Alvin, demam Diva sudah diatas normal hingga 41 derajat dan mengharuskan dia diselimuti selimut dingin. Sasha menyuruh Alvin mencari luka di tubuh Diva dan membuangnya.Setelah selesai memberi pengarahan pada Alvin. Sasha menghubungi Emir dan mengabarkan berita gembira bahwa dia akan pulang hari itu juga.“Aku harap itu tidak mendesak.” Rayhan berkomentar setelah Sasha menutup teleponnya.“Semoga kita tidak terlambat,” cetus Sasha dengan wajah yang sangat khawatir.***Disaat Aldi sedang dalam perjalanan menuju Indonesia. Agus, sebagai orang kepercayaan keluarga Erlangga, dia mencoba meyakinkan klien besar nya untuk bersedia bertemu dengan Tn Farouk sebagai ketidakhadiran Aldi. Untung saja hari itu Mr. William menerima kehadiran Tn Farouk dan negosiasi pun berjalan
Makan malam yang sudah dipersiapkan Aisya untuk anaknya telah terhidang di atas meja. Sementara itu di ruangan lain, Fatima sibuk bertanya pada Joice darimana dia bisa mendapatkan uang untuk membeli tas barunya. Sasha yang tidak langsung ke rumah tapi malah pergi ke RS melihat kondisi Diva, kembali menelepon Emir, menyuruh dan ibunya nya agar makan malam duluan karena Sasha masih harus memastikan keadaan Diva baik-baik saja.“Aku mengerti, akung...Tapi hanya karena kau datang, mereka telah melakukan banyak persiapan...itu tidak sopan.”“Apa yang terjadi?” tanya Aisya pada menantunya.“Dia harus pergi ke rumah sakit,” singkat Emir menjawab. “Ayo mulai. Ayo, Bu….” Emir mengajak ibu, ibu mertua nya makan malam duluan.***Suasana persiapan makan malam keluarga di rumah keluarga Erlangga juga tampak tidak terlalu menyenangkan. Sementara semua asisten rumah tangga mempersiapkan makanan. Tampak mereka sedikit
Sebelum kembali ke rumahnya tak lupa Nisa juga mampir ke tempat Aldi Erlangga. Dia mencoba meyakinkan Aldi untuk tidak mundur dengan usahanya menjalin lagi kedekatan bersama Feyza dan Ayahnya.“Pak Aldi, aku tidak bisa menyelesaikan ini tanpa bantuan Anda,” tutur Feyza.“Lihat, kamu bersikeras dan aku datang ke makan malam itu. Apakah ada yang berubah?,” Nada suara Aldi sedikit putus asa.“Tetapi Anda tidak boleh menyerah begitu saja. Dengar, kita rayakan ulang tahunmu. Ini adalah kesempatan besar untuk keluarga berkumpul. Anda dapat berbicara dengan Feyza di sana.” Nisa memberi usul agar Aldi mau merayakan ultahnya yang hanya beberapa bulan lagi.“Merayakan ulang tahun dan konfrontasi. Dua kata yang tak berarti dalam hidupku,” sanggah Aldi.“Mungkin Anda harus menghadapi diri sendiri terlebih dahulu.”“Maaf tapi aku tidak butuh terapi. Jika aku membutuhkannya, aku akan memberitahumu.”“Sebaiknya aku pergi….” Nisa beranjak dari sofa mewah di kediaman Aldi. “Teri
ruDea baru saja selesai mempersiapkan makanan untuk anaknya. Buah potong yang diberi susu adalah cemilan favorit Kevin disela-sela waktu makan dia.Kevin merasa keheranan karena beberapa minggu ini ibunya selalu berada di rumah. Dia langsung bertanya. “Apakah kau tidak akan bekerja lagi, Bu?”“Tidak, ibu tidak kerja lagi sayang,” jawab Dea.“Hore! Kita selalu akan bersama terus,” teriak Kevin kegirangan.” Dea tersenyum sambil membelai rambut anaknya. Kevin meneruskan makan cemilan buahnya dengan sangat lahap. Dea kemudian dia berdiri mengambil ponselnya. Diam sejenak karena ragu dengan apa yang akan dia kerjakan. Dia pandangi lagi kontak yang akan dia hubungi. “Baba” seketika air mata menetes di wajahnya yang pucat. Akankah ayahnya mau bicara dengannya? Bagaimana jika Baba masih marah padanya? Tanpa berfikir lagi Dea langsung menghubungi Baba.Terdengar suara seorang laki-laki tua, suara yang begitu Dea kenal. Karena laki-laki itu teramat dia cintai dan dia hormati.