Share

LIGNEE
LIGNEE
Penulis: Lovembers

1. Hadiah Ulang Tahun

Hotel bintang Lima itu tampak meriah dengan berlangsungnya acara ulang tahun Aldi Erlangga. Siapa yang tak kenal dia? Seorang CEO dan pengusaha muda pemimpin perusahaan Unity Holdings Company. Aldi adalah sosok pengusaha sukses yang menjadi panutan semua orang. Disamping itu pula, garis wajah wajah yang kuat disertai tatapan tajamnya berhasil membuat semua wanita bertekuk lutut kepadanya.

Pesta berjalan begitu sarat kemewahan, semua anggota keluarga Erlangga beserta rekan dan beberapa teman dekat di undangnya mereka menikmati minuman termahal juga makanan yang dibuat oleh koki terkenal. 

Tampak beberapa pejabat pemerintah dan artis-artis terkenal hadir di sana, memenuhi undangan sang pengusaha muda di hotel yang bintang lima bertaraf Internasional.

Ini bukan hanya sekedar pesta ulang tahun biasa. Untuk Aldi, ini adalah langkah awal perubahan di perusahaanya. Aldi terlihat begitu bersemangat malam itu.

Seorang wanita muda berpenampilan sederhana berparas menawan menggandeng pria berjalan di tengah tengah pesta. Segera mereka menghampiri teman yang sudah menunggunya di meja perjamuan.

“Tuan Rayhan…” Wanita muda itu menyapa pria separuh baya yang melambaikan tangan padanya.

“Sasha...Selamat datang!” Rayhan menyambutnya dengan hangat.

“Selamat malam, apa kabar?” Sebagai tuan rumah, Aldi juga tampak akrab dengan Sasha.

“Selamat ulang tahun," ucap Sasha pada Aldi.

“Terima kasih.”

“Ini suami aku Emir, Emir … Ini Aldi Erlangga.”

“Selamat datang.” Aldi menyalami Emir.

Malam itu Aldi sebagai tuan rumah pesta berkesempatan untuk naik ke atas panggung memberikan pidato singkatnya, diiringi riuh tepuk tangan dan decak kagum para tamu, Aldi mulai berbicara. “Teman-teman tersayang. Tidak mudah untuk berbicara di depan orang banyak. Jadi tolong jangan khawatir. Ini tidak akan menjadi pidato yang panjang. Pidato membuatku bosan. Mereka yang mengenal aku tahu itu merayakan ulang tahun bukan kebiasaanku. Tapi malam ini akan jadi spesial buatku. aku sangat beruntung menjadi anakmu, Ayah. Kau telah memberi aku banyak hal yang banyak orang tidak miliki. Tapi mungkin yang paling berharga hal yang kau ajarkan kepada aku adalah untuk tidak pernah menyerah pada mimpiku, aku telah mendengarkan bagaimana kau mengejar mimpimu siang dan malam dan bagaimana kamu membawanya ke tempat ini, hari ini. Hari ini, di hari ulang tahunku aku memutuskan untuk memberi diriku hadiah, aku senang berbagi kabar baik ini bersama kalian….”

Belum sempat Aldi menyelesaikan pidatonya, seorang wanita dengan wajah yang pucat memotong acara dan berdiri tepat di hadapannya juga tamu-tamu pesta seraya berteriak, “Aldi Erlangga ... aku juga punya hadiah untukmu. Selamat ulang tahun.” Wanita itu mengeluarkan pistol dari tas pestanya. Semua tamu undangan menjerit ketakutan.

***

6 bulan sebelumnya…

Pagi yang cerah, kamar bercat biru bergambar berbagai macam mobil balap itu makin hangat saat Dea menyibakkan tirai. Kevin menutup wajahnya yang mungil dengan bantal, menghindari sinar matahari pagi yang mengenai pipi kemerahannya. Dea dengan sabar membangunkan anak semata wayangnya yang baru berumur 6 tahun.

“Ayo, Nak. Kita harus bangun.” Ucap Dea sambil membelai rambut Kevin.

“Bu, aku ingin tidur….” Kevin menguap manja dan tampak enggan meninggalkan kasurnya.. 

Ini memang tugas Dea setiap hari, membujuk Kevin agar terbangun dan bersiap-siap pergi ke rumah bibi Ema. Wanita tua yang telah dipercayai oleh Dea untuk mengasuh Kevin dari semenjak bayi setiap Dea harus berangkat kerja, mencari uang untuk hidupnya dan anaknya. Seperti biasa, belaian lembut tangan Dea di rambut keriting Kevin biasanya berhasil membuat dia terbangun. Hanya saja, entah kenapa hari ini Kevin terlihat begitu enggan meninggalkan kasur mobil favoritnya.

“Sayang, kumohon, ibu terlambat kerja.”

“Tidak….” Kevin memasang wajah cemberut.

“Berarti kamu meminta ini. Ibu akan menggelitik! Satu … dua … dua setengah.” Jari-jari Dea mulai menggelitik kaki anaknya.

“Oke, Bu. Aku bangun.” Akhirnya Kevin menyerah dan berdiri dari kasurnya lantas berjalan menuju kamar mandi.

Dea tertawa melihat kelakuan putra tersayangnya, sambil membereskan tempat tidur Kevin Dea terus memuji anaknya yang tampak masih sangat mengantuk. “Nah itu baru anak ibu, pintar. Bangun, nak. Cuci muka mu.”

“Mengapa aku harus bangun setiap pagi, Bu?” Celoteh Kevin sambil berteriak dari dalam kamar mandi.

“Apa yang bisa kita lakukan? Kamu tidak bisa tinggal di rumah sendiri.” Jawab Dea memberikan alasan yang sama setiap anaknya bertanya kenapa setiap pagi dia harus dititipkan.

“Aku bisa, sekarang aku sudah besar!” Cetus Kevin.

Dea hanya menjawab celoteh Kevin dengan senyuman.

Saat sarapan, Kevin tampak enggan menghabiskan makanannya yang sudah Dea siapkan diatas meja makan. Cereal jagung dengan madu dan susu cokelat. Sekali lagi bujukan Dea yang penuh kasih sayang berupaya meluluhkan Kevin. “Apakah kamu demam, nak?” Tanya Dea sambil meraba kening anaknya.

“Tidak,” jawab Kevin singkat dan wajah yang cemberut.

“Buka mulutmu. Makan ini.” Dea memberi suapan untuk Kevin.

Kevin menggelengkan kepalanya seraya berkata, “Aku tidak lapar.”

“Tapi Kev, Ibu terlambat kerja. Ibu harus pergi. Kemudian nanti di rumah Bibi Ema, kau pasti lapar sebelum makan siang,” satu suapan dari tangan Dea berhasil masuk ke mulut Kevin.

Dengan mimik yang lucu, sambil mengunyah makanan, Kevin mengadu, “Aku tidak suka makanan Bibi Ema sama sekali. Baunya sangat tidak enak.”

Dea tersenyum kecil mendengar penuturan Kevin yang polos. “Jangan berani-berani mengatakan itu depan dia, Itu akan membuatnya sedih,” kata Dea sambil menyeka mulut Kevin dengan tisu.

“Tapi rasanya buruk sekali,” ulang Kevin.

“Kumohon, Kev. Habiskan dan makan ini.” Akhirnya dengan sedikit usaha yang keras Kevin mau memakan makanannya. “Sekarang ayo pergi….”

“Bu, kita melupakan sesuatu.” ujar Kevin.

“Apa yang kita lupa, sayang?” tanya Dea

“Ikan….” Kevin berlari lalu memberi makan ikan kecil nya sambil berbicara pada ikannya. “Kau lihat betapa tidak adilnya ini? kau bisa tinggal di rumah sendiri. Tetapi aku tidak bisa.”

Dea hanya bisa menggelengkan kepalanya mendengar Kevin bicara pada Mimo ikannya, “Ayo pergi,” ucap Dea seraya mengambil tas biru Kevin.

“Apakah ibu mengambil buku aku?” sahut Kevin

“Iya.”

“Mobil-mobil aku?”

“Iya.”

“Dan Zıpzıp?”

“Ya, ibu bawa semuanya. Jangan khawatir. Ayo pergi…” Dea mengambil kunci rumah yang selalu dia letakkan disamping lampu baca.

“Bu, aku perlu buang air kecil,” ucap Levin. Ada saja permintaan Kevin agar dia bisa tetap di rumah.

“Sayang, tidak bisakah kau menahannya sampai ke tempat Bibi Ema?”

Kevin menggeleng, berusaha mengulur waktu kepergian mereka.

“Oke, sana ke kamar mandi dulu.”

Kevin pergi ke kamar mandi. Entah kenapa tiba-tiba Dea merasa kepalanya berat dan pandangannya berkunang kunang. Kalau saja dia tidak menahan tubuhnya di tembok. Hampir saja Dea terjatuh pingsan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status