Gaia kembali duduk di bagian belakang di mobil. Tapi itu juga bukan hal yang cukup besar untuk membuat Raga tidak memperhatikan istrinya itu, sepanjang jalan mereka membicarakan hendak kemana dan perlu membeli apa saja.
“Tolong angkat telepon dari Mba Rana Babe.” Raga membuat Gaia kemudian meraih ponsel di saku celana sebelah kiri dari Raga. Erin terlihat tidak ingin melihat apa yang sedang Gaia lakukan.“Ya Mba?” Gaia menggeser tombol ikon telepon berwarna hijau di layar telepon milik Raga.“Gia?” Mba Rana sedikit terkejut meski seharusnya tidak.“Iya Mba, Raga sedang nyetir.” Gaia menjawab singkat.“Oo… Itu, nanti aku ke rumah sama Ibu. Kamu sudah sehat?” Mba Rana bertanya karena mungkin Raga lupa memberitahu kabar Gaia saat ini.“Sudah Mba, jam berapa ke rumah Mba?” Gaia bertanya lagi meski Raga tidak mengatakan apapun.“Makan sudah? Nafsu makan masih belum membaik?” Rana bertanya lagi kepada Gaia.“Um… Iya Mba, tapi memang lebih baik tidak terlalGaia kembali duduk di bagian belakang di mobil. Tapi itu juga bukan hal yang cukup besar untuk membuat Raga tidak memperhatikan istrinya itu, sepanjang jalan mereka membicarakan hendak kemana dan perlu membeli apa saja.“Tolong angkat telepon dari Mba Rana Babe.” Raga membuat Gaia kemudian meraih ponsel di saku celana sebelah kiri dari Raga. Erin terlihat tidak ingin melihat apa yang sedang Gaia lakukan.“Ya Mba?” Gaia menggeser tombol ikon telepon berwarna hijau di layar telepon milik Raga.“Gia?” Mba Rana sedikit terkejut meski seharusnya tidak. “Iya Mba, Raga sedang nyetir.” Gaia menjawab singkat.“Oo… Itu, nanti aku ke rumah sama Ibu. Kamu sudah sehat?” Mba Rana bertanya karena mungkin Raga lupa memberitahu kabar Gaia saat ini.“Sudah Mba, jam berapa ke rumah Mba?” Gaia bertanya lagi meski Raga tidak mengatakan apapun.“Makan sudah? Nafsu makan masih belum membaik?” Rana bertanya lagi kepada Gaia.“Um… Iya Mba, tapi memang lebih baik tidak terlal
Manusia memang selalu punya sisi yang tidak pernah bisa ditebak manusia lainnya. Unik, Raga lupa jika Margia itu memang tidak seperti perempuan lain, tidak seperti teman tidurnya yang lain. Dia punya semua hal yang Raga juga punya. Jika Raga punya kekasih, Gaia juga. Raga punya keluarga, Gaia juga. Dan Gaia punya caranya sendiri menjalani hidup. Raga lupa jika Gaia bukan perempuan yang akan meminta kepada laki-laki, bukan perempuan yang akan menyandarkan bahunya pada laki-laki untuk meminta kemakmuran di hidupnya. “Kita fokus untuk Kai saja, sekali lagi jika kamu ingin kami membiayai sekolah Kai, tapi kamu ingin Kai tetap bersama denganmu. Aku juga tidak keberatan.” Gaia kembali menyatakan sebuah penawaran.“Kai juga butuh kasih sayang Ayahnya. Kamu berusaha menghalangi?” Erin berusaha menyudutkan Gaia. Gaia menggeleng perlahan.“Tidak juga, Kai boleh bertemu dengan Raga kapanpun, boleh juga menginap. Tapi jika itu kamu aku tidak menngizinkan.” Raga kembali tersenyum de
Gaia terlihat tersenyum melihat bangunan sekolah yang cukup sederhana. Dia kemudian turun dari mobil setelah mesinnya dimatikan. Gaia menghubungi seseorang dengan ponsel pintarnya.“Aku sudah di depan, jadi langsung masuk kemana?” Gaia terlihat cukup senang dengan panggilan itu. Dan kemudian seseorang keluar dari arah gerbang dalam sekolah itu.“Hai.” Seorang laki-laki dengan kacamata tersenyum menyambut Gaia, dan seorang perempuan juga berjalan bersama dengannya.“Apa kabar Margia?” Perempuan dengan setelan guru sekolah terlihat tersenyum, berjabat tangan dengan Gaia dan kemudian memeluk sedikit. Sedangkan untuk yang laki-laki mereka berjabat tangan cukup lama sambil saling memandang dengan senyum.“Margia, akhirnya butuh kita juga.” Rudi terlihat seolah menunggu kehadiran Gaia di sana untuk waktu yang lama. Raga sedikit merasa curiga dan memberikan perhatian yang lebih kepada teman laki-laki Gaia yang bahkan tidak pernah Raga tahu.“Ah… siapa namanya ini?” Ara
Raga memeriksa koper Kai lagi untuk mendapatkan surat-surat yang dibutuhkan untuk pendaftaran sekolah. Kai sedang duduk di meja makan dengan Gaia menyuapi anak kecil yang terlihat sangat tenang duduk di sana. Gaia sebenarnya sangat takjub dengan sikap yang ditunjukkan oleh anak Raga itu. Tidak membuat mereka berdua terlalu kesulitan menjaganya.“Babe, sepertinya kita butuh beli sepatu dan juga perlengkapan sekolah Kai.” Raga berucap sambil berjalan ke dapur menyusul Kai dan Gaia yang sudah ada di sana.“Ya nanti sekalian kalau sudah nemu sekolahnya. Kita bisa langsung beli kan?” Gaia terlihat tersenyum dan bersemangat. Perempuan itu sudah menggenakan baju atas bawah dengan rok tanggung berwarna krem. Raga benar-benar menikmati kecantikan yang disuguhkan istrinya pagi itu. Bahkan Raga makin terpesona karena Gaia menyuapi Kai dengan senyum dan juga obrolan seperti seorang Ibu kandung dengan anaknya. Raga dan Kai juga sudah menggunakan pakaian rapi karena mereka berencana akan
“Masih sibuk juga?” Raga terlihat masuk kamar kerja karena Kai sudah tidur, tapi Gaia tidak menyusul mereka ke kamar tidur. Laki-laki itu menggeser kursi di sebelah istrinya dan duduk di sana menghadap perempuan itu. Gaia akhirnya mengalihkan pandangannya pada Raga.“Margia, ayo kita tidur?” Raga terlihat tersenyum dan berucap lembut menatap istrinya itu. Gaia tersenyum daan menggelang perlahan.“Kamu tidur dulu, besok bangun pagi, mandikan Kai juga sebelum berangkat kantor.” Gaia terlihat kembali memperhatikan laptop miliknya.“Sebentar…” Raga meraih tubuh Gaia membalikkan lagi untuk menghadapnya.“Aku akan bekerja dari rumah, besok juga kita akan mencarikan sekolah untuk Kai kan?” Raga terlihat cukup serius membicarakan rencana mereka besok. “Kamu masih cuti?” Gaia bertanya lagi karena tidak setuju dengan apa yang Raga katakan.“Margia, Kai anakku. Aku tidak akan membiarkan kamu bersusah payah untuknya. Lagipula Kai butuh kedua orang tuanya. Itu aku dan ka
“Kai mau tinggal di sini dengan Ayah?” Pertanyaan yang bersifat dewasa itu Gaia tanyakan pada anak usia lima tahun di hadapan kedua orang tua dan juga kakek neneknya. Gaia tahu sejak awal, entah apa yang Erin ajarkan, tapi Kai cukup berani untuk bicara meski Gaia masih menebak, apakah itu sesuai dengan apa yang diinginkan atau tidak.“Kata Bunda, kalau Kai ingin sekolah harus ikut Ayah. Soalnya yang punya uang itu Ayah.” Sebuah jawaban yang membuat Gaia terdiam, kelu dan tiba-tiba merasa sangat sedih tentu saja. Raga sudah menatap tajam pada Erin dengan senyum sinis di wajahnya. Lagi-lagi Gaia mendapati itu dan menyentuh lengan Raga perlahan. Kai memang sudah berada di sisi Gaia saat ini. Dia kemudian meraih tubuh kecil Kai mendekat ke tubuhnya.“Ayah pasti senang karena ada Kai di rumah ini. Tante juga.” Gaia mencoba untuk membuat anak kecil itu merasa lebih nyaman dan aman. “Kalau begitu kami pergi dulu.” Sebuah kunjungan yang terasa cukup singkat. Dan Gaia sedikit bi