3 Tahun kemudian.
“Wah sampai juga, kita check in dulu.” Gaia bersama dengan adik iparnya langsung turun bersama kedua orang tua Gaia masuk ke sebuah lobby hotel yang cukup besar. Mereka menunggu karena masih banyak orang yang berada di lobby. “Untuk satu malam. Silahkan.” Karyawan mempersilahkan Gaia dan adik iparnya mengikuti instruksi dari reseptionist. Gaia dan adik iparnya mendengarkan penjelasan reseptionist dan kemudian diminta untuk menunggu sekitar 10 menit. Gaia duduk dengan dua keponakanannya di sofa lobby dengan boneka bear yang cukup besar di sana. Kedua keponakanannya bermain-main dan Gaia memeriksa ponsel pintarnya siapa tahu ada pekerjaan yang harus dilakukan. “Mam, Raga?” Adik Gaia membawa masuk seseorang yang tentu saja satu keluarga Gaia mengenalnya. Bukan orang asing meski terlihat cukup asing awalnya. Raga masuk bersama dengan Gama, adik Gaia yang kebetulan tadi sibuk mencari tempat parkir. “Siang Pak, Bu.” Raga menjabat tangan dua orang tua Gama yang tentu saja mengenali dia. Raga pernah tinggal di rumah Gama, tentu saja ada Gaia juga di sana pada waktu itu. Gaia tidak berjabat tangan dengan laki-laki itu, dia hanya tersenyum sedikit. Sepertinya adik ipar Gaia juga melakukan hal yang sama kepada Raga, ada sebuah kebencian di matanya ketika melihat Raga. “Nginep di sini juga dia, sama keluarganya juga.” Dan keluarga Raga memang ada di sana juga. Gaia bahkan mengenali kelima saudara Raga yang datang dengan keluarga dan juga orang tua mereka. Sebuah liburan yang besar. Gaia tetap diam menahan diri. “Lagipula hanya satu malam, satu hari. Setelahnya tidak akan ada hubungan dan tidak akan bertemu lagi.” Gaia berucap dalam hati, berusaha untuk benar-benar tidak mengkhawatirkan apapun. Apalagi tentang hubungannya dengan Raga. Seluruh keluarga berkenalan, dan kemudian ada janji untuk makan malam bersama di restauran hotel nanti malam. Gaia hanya diam dan mau tidak mau harus setuju. Perempuan itu mengalihkan pandangan dari Raga. Perempuan itu tersenyum sinis karena melihat kesopanan yang ditunjukkan oleh Raga pada kedua orang tuanya. Tanpa Gaia sadari, sebenarnya dia juga melihat dirinya sendiri pada diri Raga. Dia juga bersikap sopan dan polos. Tidak terlihat nakal dan juga sangat santun. Tidak ada yang pernah mengetahui jika Raga dan Gaia sudah melewati batas jika mereka berdua tidak mengatakan pada siapapun. Sikap mereka sungguh tidak menandakan jika ada sesuatu yang aneh diantaranya. “Silahkan, kamar sudah selesai disiapkan.” Karyawan dari hotel memberikan informasi pada Gaia. Rombongan Gaia kemudian masuk ke dalam lift dan meninggalkan rombongan Raga dan keluarganya yang masih harus menunggu. Dua kamar yang dipesan keluarga Gaia adalah kamar di ujung lorong dan di sisi silang di hadapan kamar paling ujung. Gaia dan kedua orang tuanya dalam satu kamar, sedangkan adik Gaia sekeluarga dalam satu kamar. Gaia meletakkan barang dan kemudian saling bermain berpindah kamar bersama kedua keponakannya. Mereka memang menunggu sore hari untuk pergi ke tempat lain dan berjalan-jalan. Gaia berlarian mengejar dan dikejar oleh kedua keponakannya sampai kemudian dia menabrak seseorang yang menangkap tubuhnya. “Hati- Hati.” Suara yang Gaia kenal tentu saja, dan dia langsung menjauhkan tubuhnya begitu menyadari itu adalah Raga. Kedua keponakannya sudah menghilang di balik pintu kamar mereka. Gaia terdiam dan berbalik hendak menuju kamarnya. “Jadi kamarmu di situ?” Raga terlihat menuju kamar di depan kamar Gaia. Laki-laki itu sendiri masuk ke dalam kamar, dan sebelum menutup pintu dia berbalik melihat Gaia yang masih di depan pintu. Perempuan itu bingung karena pintu terkunci dari dalam dan dia mengetuk tapi tidak ada jawaban dari sana. Kedua orang tua Gaia memang sudah cukup tua, karena itu Ibunya kurang mendengar dan mungkin juga bapaknya demikian. “Tidak bisa masuk, mau masuk ke kamarku dulu?” Raga terlihat menawarkan dengan normal. Sepertinya tidak ada tanda-tanda jika dia menginginkan Gaia untuk melakukan sesuatu yang lebih dengannya. Apalagi ini adalah perjalanan dengan keluarga masing-masing tentu saja. “Istrimu tidak ikut?” Gaia langsung bertanya karena dia melihat Raga hanya sendirian. Semua saudara Raga bersama dengan pasangan dan juga keluarga kecilnya. Laki-laki itu tersenyum masih dengan ransel di punggungnya membuka pintu kamarnya lebar-lebar. “Mau bicara di dalam?” Raga benar-benar terlihat seperti laki-laki yang ingin mengajak Gaia bicara. Dan sebenarnya Raga juga merupakan laki-laki yang cukup baik dengan hal itu. Gaia pernah menyukai bicara dengan Raga karena dia bisa mengerti apa yang Gaia lakukan dan bisa memahami Gaia dengan sikap nakalnya. Perempuan itu melangkah perlahan, ada ragu dalam langkahnya, tapi dia juga ingin tahu. Bukan hal yang penting dalam hidupnya, hanya saja, Raga sudah tahu dia seperti apa. Jadi, jika mereka berdua melewati batas lagi, itu hanya akan berhenti diantara mereka berdua. Tidak akan menjadi hal besar. Begitu juga semua pembicaraan dan hal lainnya. Gaia tahu benar jika Raga juga menjaga rahasia mereka berdua. “Jawab dulu, istrimu?” Gaia bertanya karena dia tidak ingin menganggu laki-laki yang sudah menikah. Meski dalam hal ini konteksnya Raga mungkin sudah menikah lagi. “Tidak ada, aku belum menikah lagi.” Jawaban itu membuat Raga terlihat tersenyum dan Gaia memasang wajah datar. Sebenarnya itu bukan berita yang menyenangkan untuk Gaia. Bagaimanapun juga dia ingin Raga menetap pada satu orang meski itu bukan dirinya. “Yakin?” Gaia kembali bertanya karena tidak ingin kebohongan diantara mereka berdua. “Ya makannya, cerita di dalam. Kalau kamu gak percaya, mau ngobrol di ruang tengah itu? Kamu gak keberatan?” Raga terlihat serius terhadap apa yang dia katakan. “Di ruang tengah? Nanti semua orang lihat donk?” Gaia memang tidak bisa menutupi apa yang dia pikirkan ketika bersama dengan Raga, mereka sudah saling bisa membaca satu sama lain. “Ya karena itulah, masuk kita bisa bicara.” Raga kembali membuka pintunya lebih lebar, dan kemudian akhirnya Gaia melangkah lagi dan masuk lebih dulu ke kamar Raga. Sama seperti kamar dia dan orang tuanya, hanya saja kamar ini punya sebuah ranjang yang besar bukan dua ranjang kecil yang akhirnya di satukan oleh kedua orang tua Gaia atau adik Gaia dan keluarganya. “Mau buat kopi?” Raga benar-benar sangat tahu jika Gaia tidak akan menolak. Laki-laki itu sudah duduk di tepi tempat tidur. Gaia masih melihat kamar dan juga membuka jendela yang berada di seberang pintu masuk kamar. Ketika perempuan itu berbalik, Raga sudah merebahkan dirinya di tempat tidur dan mulai memilih channel untuk ditonton. Gaia kemudian berjalan perlahan ke arah pintu. “Naik dulu ke sini. Kita bicara sambil tiduran sebentar.” Raga kembali membujuk Gaia dan perempuan itu kemudian berjalan ke sisi ranjang dan tidur di samping Raga. Laki-laki itu tersenyum menoleh melihat Gaia sebentar dan menyerahkan remote televisi ke perempuan itu. “Kenapa bertanya soal istri? Bagaimana dengan pernikahanmu? Aku mendengar kamu menikah. Dan masih berkelit juga, sekarang liburan tanpa suami? Mau menggoda aku?” Banyak pertanyaa Raga tidak membuat Gaia bergeming. Perempuan itu memasang wajah dingin seperti biasa dan kemudian tersenyum sinis ketika mereka berdua bertatapan.Mungkin karena AC di kamar Raga memang dingin, Gaia meringkuk di pelukan Raga sepanjang malam tanpa dia sadari. Perempuan itu terlelap memeluk tubuh yang sebenarnya enggan dia peluk. Raga bahagia dengan apa yang terjadi malam ini karena Gaia yang mendekati tubuhnya lebih dahulu dan tenggelam dalam pelukannya sepanjang malam. Meski tentu saja dia hampir tidak merasakan lengan sebelah kirinya ketika bangun terlebih dahulu. Laki-laki itu menatap dengan senyum wajah istrinya dalam lampu kuning di tepi tempat tidur. Raga lega, laki-laki itu mencium kening Gaia perlahan dan masih tersenyum. Perempuan itu bergerak sedikit tapi dia masih memejamkan matanya. Di sisi lain Gaia ada keponakannya yang masih juga tertidur pulas. Raga sungguh terkesan dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini. Memandang seseorang yang sedang tertidur bukanlah sebuah kebiasaan atau tidak akan menjadi hal yang dilakukan oleh Raga. Membuang waktu. Tapi, saat ini tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat pere
Tidak berapa lama bel pintu berbunyi dan Raga segera menuju ke depan untuk membuka pintu. Mba Rana terlihat masuk dengan tergesa melewati ruang tengah menuju ke kamar tengah. Gaia masih diam bersama keponakannya dan tidak beranjak dari sofa ruang tengah itu.“Tapi Mba, Kai sudah tidur. Kalau aku tidak bersama dengannya maka dia akan bingung besok pagi.” Suara Erin terdengar meski pelan. Raga masih berdiri di depan pintu kamarnya. “Kalau begitu bawa Kai juga.” Mba Rana sepertinya serius dengan apa yang dia katakan.“Sudah malam Mba, mau tidur dimana juga tidak masalah. Kenapa jadi seperti ini?” Erin sepertinya masih berkeras untuk tidak menuruti apa yang Mba Rana minta.“Tidak di sini. Kamu mau gendong Kai atau aku?” Mba Rana terlihat cukup serius dengan apa yang dia ucapkan. Erin terlihat kesal dengan apa yang sedang terjadi. Dia tidak bisa minta bantuan kepada siapapun. Dan akhirnya dia menggendong Kai bersamanya keluar dari kamar itu.“Kasihan kamu Kai, tidak boleh tidur di rumah y
Kai dan dua keponakan Gaia sedang menikmati cake yang dibeli tadi di mall, sedangkan orang dewasa lainnya sedang makan camilan juga yang dibawakan oleh Ibu dan Mba Rana. Gaia sebenarnya cukup senang dengan sikap Mba Rana dan Ibu Raga yang santai kepada Erin. Meski beberapa pertanyaan canggung memang harus di dengar.“Jadi kamu ingin menata kamar tengah itu untuk Kai?” Mba Rana melihat kamar yang hanya berisi beberapa barang dan memang kecil.“Soalnya kamar kerja akan terlalu besar untuk Kai, dan juga akan lebih nyaman jika dia sudah punya kamar sendiri.” Raga terlihat tersenyum menjelaskan.“Kalian berdua tidak menganggap anakku sebagai penganggu bukan?” Erin terlihat berucap ketus di ruang tengah. Di depan semua orang perempuan ini bicara dengan sangat kasar, bagi Gaia.“Tidak, kami tidak pernah begitu. Hanya supaya Kai juga berlatih untuk tidur sendiri, punya kamar dan juga punya dunianya sendiri.” Raga kembali menjelaskan sebelum Gaia yang bicara.“Kai kan mas
“Kai ingin bermain?” Gaia bertanya kepada anak kecil berusia lima tahun itu ketika mereka keluar dari tempat makan. Anak laki-laki itu terlihat tidak terlalu mengerti dengan pertanyaan Gaia. “Mau main di arena bermain?” Erin bertanya dengan senyum di wajahnya kepada Kai dengan lembut. Kai mengangguk perlahan.“Kalau begitu kita ke sana.” Gaia menunjuk sebuah tempat bermain tepat di depan tempat mereka berempat tadi makan. Raga terlihat kurang begitu suka dengan apa yang Gaia lakukan. Tapi Gaia menatap laki-laki itu seolah sedang memberikan sebuah sinyal jika dia harus menuruti apa yang Gaia katakan.“Aku akan mengisi kartu untuk mainnya lebih dulu.” Gaia terlihat cukup senang karena tidak ada antrian untuk mengisi kartu. Dia meninggalkan Raga dan Erin serta Kai tidak lama kemudian sudah kembali lagi. “Tap di tempat yang Kai ingin mainkan.” Gaia menyerahkan kartu itu kepada anak laki-laki Raga dan Erin. Sudah tentu Erin mengikut Kai yang kemudian memilih mainan yan
Gaia kembali duduk di bagian belakang di mobil. Tapi itu juga bukan hal yang cukup besar untuk membuat Raga tidak memperhatikan istrinya itu, sepanjang jalan mereka membicarakan hendak kemana dan perlu membeli apa saja.“Tolong angkat telepon dari Mba Rana Babe.” Raga membuat Gaia kemudian meraih ponsel di saku celana sebelah kiri dari Raga. Erin terlihat tidak ingin melihat apa yang sedang Gaia lakukan.“Ya Mba?” Gaia menggeser tombol ikon telepon berwarna hijau di layar telepon milik Raga.“Gia?” Mba Rana sedikit terkejut meski seharusnya tidak. “Iya Mba, Raga sedang nyetir.” Gaia menjawab singkat.“Oo… Itu, nanti aku ke rumah sama Ibu. Kamu sudah sehat?” Mba Rana bertanya karena mungkin Raga lupa memberitahu kabar Gaia saat ini.“Sudah Mba, jam berapa ke rumah Mba?” Gaia bertanya lagi meski Raga tidak mengatakan apapun.“Makan sudah? Nafsu makan masih belum membaik?” Rana bertanya lagi kepada Gaia.“Um… Iya Mba, tapi memang lebih baik tidak terlal
Manusia memang selalu punya sisi yang tidak pernah bisa ditebak manusia lainnya. Unik, Raga lupa jika Margia itu memang tidak seperti perempuan lain, tidak seperti teman tidurnya yang lain. Dia punya semua hal yang Raga juga punya. Jika Raga punya kekasih, Gaia juga. Raga punya keluarga, Gaia juga. Dan Gaia punya caranya sendiri menjalani hidup. Raga lupa jika Gaia bukan perempuan yang akan meminta kepada laki-laki, bukan perempuan yang akan menyandarkan bahunya pada laki-laki untuk meminta kemakmuran di hidupnya. “Kita fokus untuk Kai saja, sekali lagi jika kamu ingin kami membiayai sekolah Kai, tapi kamu ingin Kai tetap bersama denganmu. Aku juga tidak keberatan.” Gaia kembali menyatakan sebuah penawaran.“Kai juga butuh kasih sayang Ayahnya. Kamu berusaha menghalangi?” Erin berusaha menyudutkan Gaia. Gaia menggeleng perlahan.“Tidak juga, Kai boleh bertemu dengan Raga kapanpun, boleh juga menginap. Tapi jika itu kamu aku tidak menngizinkan.” Raga kembali tersenyum de