Meskipun wanita dihadapannya ini bisu. Stefen tidak merasa jijik, justru ia memasang wajah senang berharap si wanita itu adalah seseorang yang sangat dia rindukan.
'Jangan melihatku seperti itu!' tiba-tiba Laura teringat kembali perkataan dan wajah Stefen di masa lalu. Laura menolehkan kepalanya ke arah lain.
"Kenapa kau menolehkan kepalamu?" tanya Stefen sembari menarik kembali dagu Laura untuk menatapnya kembali.
Bukannya kamu membenci tatapanku seperti ini? Kenapa kamu sekarang seperti ini? gerutu Laura dalam hati.
"Pasti sulit sekali mendapatkan orang seperti ini," gumam Stefen.
"Hah?" Laura bingung dengan perkataan Stefen. Sikap Stefen yang seperti ini tidak pernah terlihat di masa lalu. Stefen yang selalu tegas dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Mengapa dia bisa selembut ini sekarang?
"Usaha si duke benar-benar patut dipuji," terang Stefen.
Stefen merasa bahagia jika wanita yang ada di depannya memang benar-benar Laura. Bahkan ia mencoba mengelus kedua tangan dan kakinya yang penuh bekas luka.
kehidupan macam apa yang dijalaninya, sampai punya bekas luka sebanyak ini? pikir Stefen.
Stefen bahkan mulai membuka rok yang menutupi kaki Laura, ia melihat bekas luka yang sama dengan Laura masa lalu di pahanya.
Bekas lukanya sama seperti dia, membuatku semakin jatuh hati padanya.
Tanpa disadari, Stefen mencium bibir Laura dengan lembut. Laura bahkan tertohok dengan tingkah Stefen yang tiba-tiba menciumi bibirnya.
Selama ini aku selalu menunggumu. Untuk apa bersikap dengan lembut sekarang? Antara sedih dan benci, itulah yang ia rasakan ketika dipertemukan kembali dengan Stefen.
Setelah berciuman panas. Stefen menatap wajah Laura, namun pandangan Laura sangat tajam, ia semakin benci ketika Stefen tak mengenalinya bahkan sekarang ia harus menemaninya tidur bersamanya. Takdir macam apa yang dimiliki Laura sekarang untuk bisa bertemu kembali dengannya?
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya Stefen yang merasa bingung.
Aku benci kamu. Sampai mati pun aku akan tetap membencimu.
Laura merasa lebih baik disiksa ketimbang ia harus bertemu kembali dengan Stefen. Bahkan kini Stefen mulai mencium lehernya dan sialnya Laura tidak bisa melakukan apapun, Stefen sangat kuat, bahkan laura tidak bisa bersuara apapun. Ia benci keadaannya sekarang, bagaimana bisa Stefen melecehkannya? Ia membuka pakaian Laura hingga mereka melakukan hubungan intim tanpa pernikahan. Ini gila. Laura melakukannya karena ia merasa ditolong dari pembebasan perbudakan, ini sudah menjadi tugasnya. Bahkan kini ia menatap beberapa kiss mark yang dibuat Stefen di sekujur tubuhnya.
Menjijikkan. Aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu lagi!
Keesokan harinya, Stefen menatap wajah wanitanya yang tertidur polos di sampingnya. Lalu Stefen menarik tali di dalam kamar.
Seorang pelayan utama langsung datang menghampirinya.
"Apa Anda memanggil, Yang Mulia?" tanya kepala pelayan.
"Bawakan aku ramuan penyembuh dari brankas imperial," pinta Stefen. Pelayan merasa heran mendengarnya.
"Apa Anda merasa tidak enak badan? Atau jangan-jangan ...." Pelayan itu melirik Laura yang masih tertidur di ranjang kaisar.
"Tapi Yang Mulia, ramuan penyembuh yang ada di brankas imperial hanya boleh digunakan kepada anggota keluarga, bagaimana bisa Anda memberikannya pada makhluk yang rendahan seperti dia?" tanya pelayan lirih. Mata Stefen menajam.
"Sejak kapan aku harus minta izin dulu padamu?" tanya Stefen tegas. Aura yang terlihat begitu menakutkan. Kepala pelayan itu langsung menunduk malu.
"A-a-akan saya ambilkan sekarang juga," pelayan itu langsung berjalan cepat mengambil ramuan penyembuh.
Pikiran kepala pelayan merasa aneh, hari ini kaisar membiarkan seorang wanita menemaninya seharian. Padahal sebelumnya, para wanita yang telah bermalam akan langsung diusir dan tidak berlama-lama dalam kediaman kaisar. Tapi kali ini kepala pelayan melihat dengan kepalanya sendiri bahwa kaisar membiarkan gadis itu menemaninya tidur dalam satu ranjang, bahkan hingga pagi hari.
Beberapa saat kemudian, ia kembali membawa sebotol kecil ramuan penyembuh.
"Yang Mulia, saya sudah membawanya."
Selimut yang menutupi tubuh Laura, dibuka secara tiba-tiba membuat Laura kaget dan terbangun.
"Diamlah!" pinta Stefen. Laura melihat botol yang dipegang Stefen. Stefen menarik lengannya dan mengoleskan air ramuan dari botol itu, luka-luka yang ada di tangan Laura perlahan menghilang dan sembuh dengan cepat.
Ini ... ramuan penyembuh? Pikir Laura.
Saat mengobati bagian pahanya, Laura sedikit malu.
Kenapa dia jadi seperti ini sih?!
Ramuan penyembuh. Sebuah harta nasional yang dibuat dari kulit seekor naga dengan menggunakan sihir dan diberikan pada generasi pertama keluarga Kekaisaran.Sejauh ini, ramuan penyembuh sudah pernah digunakan sebanyak 3 kali. Ketika ratu pertama terjadi kritis akibat penyakit, ketika putra mahkota pertama terluka parah akibat terkena panah beracun, dan terakhir, ketika putra mahkota di generasi sebelumnya muntah darah setelah minum teh beracun. Lalu sekarang, botol keempat pun dibuka.
Ramuan penyembuh yang dimiliki pemerintahan hanya tinggal 7 botol dan sekarang stefen memakainya pada Laura.
Ini gila, aku merasa seperti melihat diriku di masa lalu. Terhanyut kembali melihat kebaikan Stefen. Tidak Laura! Jangan berharap apapun lagi pada Stefen!
"Aku bisa melihat seberapa keras kamu berjuang untuk bertahan hidup," ucap Stefen membuka keheningan.
Laura juga melihat, setelah ia berhubungan intim dengan Stefen semalam, ia jadi tahu jika Stefen juga memiliki banyak bekas luka di sekujur tubuhnya.
Dia ini bodoh atau apa? Padahal dia tidak peduli dengan bekas lukanya sendiri, tapi kenapa dia malah melakukan hal seperti ini padaku? padahal obat itu hanya boleh digunakan pada anggota keluarga kerajaan.
Tak berapa lama, tersisa sedikit ramuan penyembuh di dalam botol. Stefen langsung meminumnya, dengan cepat Stefen menarik wajah Laura dan menciumnya.
"Mphhh."
Glek.
Stefen memberikan ramuan terakhir melalui mulutnya.
Kenapa harus dengan cara seperti itu sih? Diakan bisa memberitahu bahwa ramuan terakhir untuk lidahku.
Setelah itu Stefen antusias dengan hasil dari ramuan itu.
"Bicaralah. Ayo, coba bilang Yang Mulia," ucapnya.
Laura mencoba pelan-pelan.
"A ... u ... ya." ternyata untuk lidahnya ini tidak cukup hanya dari ramuan penyembuh saja.
Stefen terlihat sedih, karena Laura masih tidak bisa bicara.
"Apa memang mustahil memperbaiki sesuatu yang sudah lama sekali terputus? Tubuhmu sudah sembuh sepenuhnya, tapi, sayang sekali. Aku ingin mendengarmu berbicara," lirih Stefen dengan tatapan yang melembut.
"Istirahatlah hari ini, kau pasti sangat lelah," Stefen tersenyum lembut pada Laura, tapi pikiran Laura langsung teringat kejadian semalam.
Stefen pergi ke kamar mandi. Sementara Laura memperhatikan kedua tangan dan kakinya.
Benar-benar hilang semua. Sesederhana itu? Apa luka-luka ini memang sesuatu yang bisa menghilang dengan semudah itu? Kalau begitu, bagaimana dengan hidupku? Bagaimana dengan rasa sakitku? Hatiku. Bagaimana dengan aku?!
Rasanya benar-benar sakit hingga air mata itu keluar dengan deras. Laura menangis dengan suara tertahan.
Kabar kritis Stefen sampai ke telinga Astra di kediamannya. "Apa katamu? Stefen tidak sadarkan diri? Apa yang terjadi padanya selama ini?" Astra kaget mendapat kabar baru tentang Stefen yang kondisinya kritis. “Saya dengar Yang Mulia mogok makan berhari-hari, seminggu hanya minum satu gelas air hangat, rutinitasnya berburu binatang dan membagikannya kepada orang miskin, namun tubuhnya yang tidak seimbang menyebabkan dia dicakar oleh seekor beruang besar." Air mata Astra mengalir cukup deras tanpa suara, kedua telapak tangannya terkepal penuh haru. "Kenapa dia tidak berselera makan? Mungkinkah dia sedang merasa kehilangan aku atau... dia dibuat sedih oleh wanita berambut biru itu?" suara Howard teringat kembali, Howard pernah mengatakan padanya jika Red adalah Laura Estelle. Tidak-tidak, tidak mungkin seperti itu. Astra menatap dirinya di cermin, mata hijaunya menghilang, emosinya terkikis, kini ia telah kehilangan kekuatan sihir pemotongannya. Menjadi manusia biasa membuat
Baron berusaha membangunkan Laura dengan menepuk lembut pipinya, ia mengamati bagian tubuh Laura yang terlihat di hadapannya, ia tidak melihat satupun luka di tubuhnya, mengapa Laura sendirian dan terbaring seperti ini? dia benar-benar berniat untuk meninggalkan semuanya? Pikir Baron, yang ia tahu, Laura adalah wanita yang sangat kuat dan gigih. Untuk pertama kalinya dia melihat Laura terjatuh lemah seperti ini, melihat pahlawan wanita yang sangat berjasa atas kehidupannya, Baron merasakan sakit hati yang luar biasa karena telah gagal menjaganya dan membalas kebaikan Laura selama ini. “Laura, Laura, bisakah kamu mendengarku?!” panggil Baron dengan lembut. Tidak ada satupun pergerakan yang terlihat, di tengah hujan yang sangat deras dan angin kencang, Baron memaksakan diri untuk menempatkan Laura di atas kudanya. Meski dalam perjalanan Baron berharap Laura baik-baik saja, kini ia memikirkan keduanya dengan perasaan khawatir yang sama pada Stefen dan Laura. Mengapa kalian berdua t
Seminggu setelah Stefen siuman, Stefen mendapat balasan dari Kirim yang kembali membawa pesan tentang Laura, namun mirisnya Stefen mendapat kabar yang menyedihkan, hadiah yang diberikannya tidak diterima dan yang lebih mengejutkannya adalah Laura meninggalkan Nest dan juga Ziarkia, dia sangat sedih mendengar hal itu, ia melampiaskan emosinya dan kembali berburu ditemani para pengawalnya, gambaran mimpi buruk selalu muncul di benaknya dan tidak pernah berhenti. "Enyahlah di hadapanku!." Kata-kata Laura sangat menusuk, membuatnya kehilangan semangat hidup, betapapun dia mengalihkannya untuk berburu, dia masih terus mengingat kata-kata itu berulang kali. Suatu ketika seekor beruang besar hampir terjatuh menimpa tubuhnya yang lebih kecil. Para penjaga sudah siap turun tangan membantu Stefen, namun dengan cepat menggunakan jurus pedang tankendon, beruang besar itu terluka. Darah kental beruang itu muncrat ke seluruh tubuh Stefen. Stefen berbalik dan pergi dengan tatapan kosong, sementar
Max tersulut emosi dengan ucapan Kirim, semua hanya karena ikrar ketika wilayah kekuasaannya berhasil diambil alih menjadi milik Ziarkia. Mau tak mau ada beberapa penegasan yang menjadikan dirinya tak bisa melawan balik. Kirim bisa menatap mata tegas itu sebagai emosi Max yang sangat kontras, sehingga ia memberi cibiran padanya. "Kalau tatapan itu bisa membunuh! Aku yakin bahwa itu sudah bisa menebak keinginan hasrat untuk membunuhku!" Terdengar kasar jika kalimat itu dilontarkan di hadapan wanita yang dicintai Max. "Dengar, Kirim, aku bisa mengusirmu sekarang juga dan melarangmu untuk datang kemari lagi!" Max tidak ingin jika wanita yang ia cintai melihat emosi dirinya yang berapi-api dia sungguh menjaga martabat itu, agar Laura bisa memandangnya sebagai pria yang baik dengan penuh ketulusan. Tapi tak bisa dipungkiri lagi jika perang saling tatap terus berlanjut antara dirinya dan kirim. "Coba saja kalau bisa!" ucap Kirim melawan balik dengan menatap matanya.. Laura ha
Seminggu kemudian, kehidupan di Nest aman terkendali, Laura mulai mendapatkan pelajaran baru tentang pedang, guru yang melatihnya terlihat tangguh dan juga lincah, wajahnya terlihat sangar dan menakutkan namun ternyata pria itu sedikit periang dan juga suka bercanda dengannya. Laura yang sudah sangat lama tidak berlatih pedang merasa gerakannnya kembali kaku, ia mendapatkan kesulitan mengimbangi tubuh saat berlatih bersama gurunya yang berkulit sawo matang, rambutnya panjang hingga di kucir di belakang, namun ia memiliki penampilan yang sangat gagah dan juga telaten. Bunyi perlawanan pedang masih terus berlanjut, Laura sudah merasa terintimidasi oleh serangan gurunya, hingga dalam gerakan terakhir berhasil membuat pedangnya terjatuh, sang guru memintanya beristirahat. hah hah hah suara helaan nafas Laura. "Luar biasa, Nona. Ini baru perlatihan pertama, tapi gerakanmu terlihat sudah terbiasa memakai pedang," puji guru. Laura tersenyum setelah mendengar pujian dari gurunya, rasa
Pencarian Ritim masih terus dilakukan hingga malam hari, Max telah memerintahkan seluruh bawahannya untuk tidak menyerah dan mengeluh sampai Ritim ditemukan. Terlalu lama menunggu, ia akhirnya kembali menemui Laura di kamarnya. Di belakang pintu, ia hendak mengetuk tapi perlahan ia urungkan niatnya karena merasa gagal melindungi Laura dari bahaya, karena merasa malu untuk bertatap muka, Max hanya mampu berkata dibalik pintu mencoba memanggil namanya. "Laura, apa kau sudah tidur?" tanyanya dengan suara yang rendah. Laura masih terisak, hatinya masih mengingat segelintir ingatan yang kembali padanya, mendengar suara Max, ia langsung membuka pintu dan menyenderkan kepalanya. Max tertegun sebentar hingga ia perlahan membalas Laura dengan pelukan. Saat ini Laura merasa sedikit stress antara keberuntungan dan kesedihan yang membuatnya bertahan hidup selama ini ternyata telah lama dalam lingkaran ramalan ibunya. Ia membutuhkan sandaran untuk hatinya yang sedang bersedih, dan Max tepat di