Dengan sigap, Demian menangkap tubuh Acasha yang terhuyung ke belakang. Mereka terpaku dan saling memandang hingga beberapa saat. Sampai terdengar suara gemuruh di dada, Acasha pun tersadar dan seketika menundukkan wajah.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya Demian masih melingkarkan lengan di pinggang sang sekretaris."Maaf, saya tidak sengaja," ucap Acasha. Kedua tangannya terkepal di depan, menjaga jarak dari dada bidang sang presiden direktur."Tidak. Saya yang seharusnya meminta maaf. Saya sudah membuat Nona terkejut sampai hampir jatuh," balas Demian masih mengamati paras cantik yang menyembunyikan pesonanya. Tanpa sadar, ia tersenyum melihat semburat merah muda menghiasi kedua pipi sang sekretaris."Saya baik-baik saja, Presdir. Eum, bisakah Presdir melepaskan saya?"Mendengar ucapan Acasha, Demian seketika melepaskan pegangan tanpa peringatan. Akibatnya, Acasha nyaris terhuyung untuk yang kedua kali. Beruntung dia meraih tepian meja di sampingnya. Ia pun menelan sDemian mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Namun, tidak ada tanda-tanda bahaya yang mengancam ditemukan di kamar mereka."Tidak ada apa-apa, Acasha. Apa yang sebenarnya mengusikmu?" Demian menoleh pada gadis yang kini tampak memelototi punggungnya. "Acasha?"Pelupuk sang gadis berkedip cepat sebelum berpaling. "Bisakah kau kenakan pakaianmu? Apa kau tidak merasa dingin?" gumam Acasha lebih mirip komat-kamit."Apa?" Demian justru menaikkan alis, tidak memahami ucapan Acasha."Sampai kapan kamu akan berdiri seperti ini di depanku?? Kamu sengaja pamer, ha? Ah, terserahlah! Aku tidak peduli. Aku mau mandi!" seru Acasha kemudian mengambil langkah cepat, lalu membanting pintu kamar mandi dengan keras.Demian yang masih belum menyadari letak kesalahannya, malah memiringkan kepala dengan gurat kebingungan."Memangnya apa salahku? Dia yang berteriak histeris seperti kaget melihat sesuatu yang menakutkan, makanya aku di sini melindungi dia. Kenapa dia malah marah-marah
"Acasha, it's okay. Kamu tidak perlu sungkan. Kami sudah biasa berbagi pekerjaan, termasuk membereskan meja makan. Jadi, sekarang pergilah bersama Demian. Oke?" bujuk Chesy membantu menenangkan sang gadis keras kepala."Chesy ...." gumam Acasha malah memasang wajah cemberut. "Sebenarnya, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin menghindari Demian. Kenapa kamu malah semangat mendukungnya seperti ini? Apa yang harus aku lakukan?" lanjut Acasha dalam benak."Sebagai gantinya, kalian bisa mengajakku makan bersama. Entah itu sarapan, makan siang, makan malam, atau apa pun itu. Bebas. Bagaimana, Acasha?" imbuh Chesy berusaha meluluhkan hati Acasha dengan tatapan manik cokelat yang berbinar.Acasha memejamkan pelupuk sesaat sambil menghela napas panjang. Ia pun menatap Chesy, lalu mengangguk pasrah. "Baiklah, aku menyerah," ungkap sang gadis disambut senyuman lebar pria bermanik biru.Akhirnya, mereka berdua meninggalkan Chesy seorang diri di dapur. Chesy terus memperhatikan kedua p
Tidak mendengar sahutan, Acasha kembali berucap, "Apa ada seseorang di sana?" Namun, selang beberapa saat menunggu, Acasha tak kunjung mendapatkan jawaban."Hmm. Apa aku salah lihat, ya?" gumam Acasha, menajamkan penglihatan. Ia pun melangkah pelan mendekati pintu kamar yang sempat dilewati sekelebatan hitam.Kurang beberapa langkah saat Acasha hampir sampai di depan pintu, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Sontak Acasha terkesiap. Ia berbalik sekaligus melompat dan menjaga jarak sebagai sikap perlindungan diri."Pfft. Hahaha. Maaf, sudah membuatmu terkejut!""Ahh ... Ternyata kau, Chesy," lega Acasha melihat wajah wanita cantik yang dikenalnya seraya mengelus dada."Apa yang kamu lakukan malam-malam di sini? Kenapa jalan mengendap-endap begitu?" tanya Chesy, berhasil memergoki seekor kucing pemberani tengah gagal mengintai mangsa dalam kegelapan."Aku melihat bayangan hitam di sini. Kupikir itu seseorang, jadi aku mencoba mendekatinya. Tapi, kau
Acasha menggeliat di atas ranjang, merenggangkan setiap sendi tubuhnya yang terasa kaku setelah berpetualang di alam mimpi. Ia menoleh ke samping, menatap sofa yang sudah kosong bersama bantal dan lipatan selimut tertata rapi."Dia sudah pergi?" batin Acasha, melirik jam dinding masih menunjuk pukul tujuh. "Tapi, ini masih terlalu pagi. Ah, mungkin dia sedang sarapan. Lebih baik aku segera menyusulnya," lanjutnya kemudian bergegas menuju ruang makan.Benar saja. Setibanya di ruang makan, Acasha melihat Demian dan Chesy tengah sibuk membereskan piring dan gelas kotor dari meja makan."Ah, sepertinya aku terlambat," gumam Acasha seketika menarik perhatian Chesy."Oh, Acasha! Sepertinya tidurmu sangat nyenyak," celetuk Chesy sebelum beranjak menuju wastafel."Sepertinya begitu," sahut Acasha melirik pria yang sedang mengelap meja."Pagi, Acasha! Duduklah!" sapa sang pria tampan yang merasa diperhatikan. Ia menarik satu kursi dan mempersilakan Acasha."Eum, aku mau
Namun, harapan Acasha tidak berjalan sesuai keinginan. Ketika di kamar, Demian tidak banyak bicara, menatap saja pun tidak. Ketika di mobil, Demian duduk sangat tenang di samping sopir. Hanya Chesy saja yang sesekali berbincang dengan Acasha. Lalu ketika di kantor, Demian yang lebih senang memberikan instruksi langsung pada Acasha justru mengirim surel mengenai pekerjaan dengan kalimat sangat singkat, jelas, dan padat. Ia juga hanya berkomunikasi langsung dengan sekretaris umum beserta staf lainnya."Ughh ... sabar, Acasha. Sabar .... Orang sabar disayang Tuhan," gumam Acasha ketika menyiapkan setumpuk laporan yang diminta Presdir tampan yang sedang dalam mode dingin itu."Dia memang sengaja membuatku bekerja tanpa henti rupanya," batinnya sambil terus sibuk di depan layar komputer.Tanpa sadar, manik violet Acasha melirik jam di ujung layar. "Ah, sebentar lagi jam makan siang. Aku akan menanyakan tempat di mana dia ingin makan," batinnya lagi.Acasha pun bangkit dari du
Sebuah kotak makan berukuran besar, sebotol air mineral, dan segelas cappucino panas. Oh, terselip secarik kertas di sana. Acasha mengambil dan membuka kertas tersebut."Selamat lembur dan menikmati makan malam Anda. Catatan : harus dihabiskan," gumam Acasha membaca tulisan tangan dalam kertas tersebut. Sontak Acasha meluncurkan tatapan tajam pada Demian sambil meremas kertas dalam genggaman hingga lumat membentuk gumpalan kecil."Setelah pergi seharian, dia kembali dengan memberiku makan malam untuk lembur? Sangat perhatian," batin Acasha, melemparkan gumpalan kertas yang sangat kecil tepat ke tempat sampah.Kekesalan memenuhi ruang hati sang sekretaris sampai ingin memberondong Demian dengan berbagai pertanyaan dalam benak. Namun, keinginan Acasha terpaksa harus ditunda saat ia merasakan lambung kosongnya yang mulai meronta."Hah ... baiklah. Daripada merasa kesal, bukankah lebih baik bila aku berterima kasih dan memakannya?" batin Acasha setelah mengurungkan niat buru
"Apa? Kenapa kulkasnya kosong?" Acasha berpindah membuka setiap bagian kabinet atas. "Dikunci?? Bagaimana aku bisa sarapan jika tidak ada apa pun di sini?"Acasha menggigit bibir dengan gelisah. Ia lantas memindai seluruh area dapur hingga perhatiannya tertuju pada tudung saji berwarna merah di tengah-tengah meja makan. Dengan langkah cepat dan alis berkerut, ia mendekati meja untuk membuka tudung saji tersebut.Benar saja. Setelah tudung saji itu dibuka, dua potong sandwich dan segelas jus apel terhidang di sana. Acasha mendesah pelan sambil menarik sebuah kursi."Bukankah sudah kubilang, aku akan menyiapkan makananku sendiri?" tanyanya pada udara.Mau tak mau, Acasha mulai menggigit sandwich tersebut sambil membayangkan sosok Demian dan Chesy mengenakan apron, menyiapkan sarapan bersama di dapur."Menyebalkan," gerutunya kemudian.***Setibanya di kantor, Acasha langsung disambut Ela, salah seorang sekretaris umum yang tampak sengaja menunggu kedatangan Acasha
Ketiga sekretaris itu keluar dari lift."Ada keperluan apa dia datang ke sini?" celetuk Ela memelankan suara."Aku tidak tahu. Apakah dia ada janji dengan Presdir, Nona Acasha?" tanya Lieke setengah berbisik pada rekan di sampingnya."Tidak ada. Presdir hanya memintaku untuk menyelesaikan laporan sampai beliau kembali," jawab Acasha refleks ikut berbisik.Sejak saat itu, suasana berubah canggung. Ketiga wanita tersebut melangkah dengan kaku menuju arah yang sama bersama. Namun, situasi itu tidak berlangsung lama ketika Ela dan Lieke berbelok menuju meja kerja mereka, sedangkan Acasha harus tetap berjalan lurus menuju ruang eksklusif atasannya yang sekaligus ruang kerjanya."Ah, akhirnya ...." celetuk sang model cantik memindahkan tumpuan ketika melihat sosok sang sekretaris pribadi presdir."Maaf, ada yang bisa saya bantu, Nona?" sapa Acasha bersikap sopan."Saya ingin bertemu dengan Presdir. Bisakah Anda membukakan pintu?" pinta sang model tanpa basa basi."