Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Selamat, Nak! Kamu hebat! Dad sangat bangga padamu!" puji Stephen Ignatius, menyerahkan sebuket bunga mawar merah dan kuning pada putrinya yang baru saja menyandang gelar Master of Bussiness Administration dengan predikat CUMLAUDE di salah satu universitas terkemuka di Ispanika. Suatu wilayah yang terletak di Barat Daya Benua Evropi dan terkenal sebagai salah satu negeri penghasil kayu Cork terbanyak dan berkualitas tinggi. Bangunan-bangunan kota tertata sangat rapi dan bersih. Hampir semua warganya taat dengan peraturan yang ada. "Terima kasih, Dad! Ini semua berkat dukungan Daddy," sahut sang putri menerima buket sambil memamerkan sederet giginya yang putih cemerlang. Dihirupnya harum semerbak bunga mawar favoritnya yang mampu menenangkan dan meningkatkan suasana hati, sebelum pandangannya melirik ke berbagai arah. "Di mana Mom dan Gretta?" tanyanya setelah tak menemukan sosok yang ia cari. Dengan desah tertahan, Stephen mengusap lemb
Sebelah alis tersangka utama bernama Gretta terangkat. “Apa itu kain lap?” tanyanya datar. Acasha mendenguskan napas cepat dan mengertakkan gigi. “Hanya kau yang memiliki hobi mencoret-coret kanvas di rumah ini.” “Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Minggir!” cetus Gretta, mengibaskan sebelah tangan. Acasha seketika memundurkan tumpuan. Gretta menarik kenop pintu dan terlihat dari sana dua botol transparan cat minyak berwarna hijau dan hitam yang sama persis dengan cat yang menodai gaun Acasha, terbuka menganga di atas meja lukis. Acasha pun menerobos masuk dan melihat dua botol cat minyak yang hampir kosong itu. “Hey, Orang Tua! Siapa yang mengizinkanmu masuk?” seru Gretta, menatap sinis sang kakak. “Kenapa kamu melakukan ini padaku, Gretta? Apa lagi salahku?” tanya Acasha dengan suara tercekat. Ia benar-benar tak habis pikir dengan hal yang baru saja menimpanya. Setiap kebahagiaan yang baru saja dirasa, se
Truk menabrak sangat keras dan menggulingkan mobil putih Stephen hingga terseret berpuluh-puluh meter. Kendaraan sekitar yang berhasil membanting setir tak urung berhenti. Seketika, lalu lintas kendaraan di jalan itu pun lumpuh. "Dad!! Daddy!!!" Acasha lari tunggang-langgang menuju mobil Stephen yang sudah ringsek. Pecahan kaca berceceran di sepanjang aspal yang dilaluinya. Hampir semua sisi mobil berlekuk sangat parah. Cairan kental merah darah pun mulai mengalir dan menggenang bercampur dengan cairan bensin di bawah mobil yang terbalik. "Dad!! Dad!! Aku akan menyelamatkanmu! Dad!! Bertahanlah!!" Derai kesedihan membanjiri pipi Acasha. Dengan sekuat tenaga ia terus berusaha membuka pintu mobil yang terkunci demi menyelamatkan Stephen Ignatius, sang ayah tersayang. "Nona! Pergi dari sana!" "Hey, seseorang! Tolong bawa gadis itu pergi!" "Berbahaya, Nak! Kau harus menjauh!" Suara orang-orang gaduh yang terus mengganggu ko