Share

II. Istri

Sebelum kehilangan pekerjaan, aku adalah seorang perempuan yang cukup bergelimang uang, bukan hanya uang dari gajiku saja, uang dari Raka juga mengisi penuh amplop-amplop dilaciku.

Sejujurnya tanpa menyewakan kamar di loteng pun tidak benar-benar membuatku kekurangan uang, namun aku mulai mengumpulkan uang yang rutin Yunanda berikan padaku, akan kukembalikan suatu hari nanti. Aku hanya ingin menggunakan uang hasil usahaku sendiri.

"Hey, ayo turun. Kita makan bersama," ajakku dari ambang pintu kamar di lantai dua kepada laki-laki yang sedang memainkan ponsel di atas ranjangnya.

Kedua mata itu melirikku tajam "Panggil saja Immanuel. Jangan memanggilku seakan tak punya nama," ucapnya sedikit kesal.

"Ya, maaf. Ayo turun Immanuel, aku belum melihatmu makan sejak semalam."

Kemarin, secara terpaksa kuputuskan untuk menerima Immanuel sebagai penyewa kamar, mengapa demikian? Tentu saja karena uang. Aku tak bisa menjamin dapat menemukan calon penyewa baru apalagi sampai deal, itu hal yang sangat sulit. 

Sedangkan Immanuel, tanpa berpikir berhari-hari, ia langsung membayar biaya sewa selama 5 bulan. Sungguh luar biasa, pasti dia anak orang kaya, atau sudah memiliki bisnis diusia muda. Pikirku, mengapa tidak menyewa apartemen saja?

Ah sudahlah, uangnya sudah terlanjur kukantongi.

Kira-kira sudah lebih dari lima kali aku memanggilnya agar turun ke lantai bawah untuk makan bersama, lima kali juga aku diabaikan tanpa mendapat respon darinya. Kemarin malam, makanan yang kusediakan dimeja tidak disentuh sama sekali olehnya. Apa dia benci menu makanan yang kusediakan, atau malah tidak tertarik sama sekali? 

Ada setumpuk sampah bekas minuman kaleng dan beberapa kemasan makanan ringan berukuran jumbo ditempat sampah yang berada di depan pintu kamarnya, dia lebih memilih camilan daripada makanan yang kusediakan. Mungkinkah karena dia anti nasi, tidak mau memakan daging atau anti makanan berminyak? Makanan yang kubuat memang tidak begitu sehat terkecuali brokoli kukus.

Wajar saja kalau tidak sehat, namanya juga makanan instan. Sepertinya lain kali harus ikut kursus memasak. 

"Kenapa kemarin kau tidak makan?," tanyaku pada Immanuel yang sudah berada dimeja makan bersamaku. 

"Saat melihat begitu banyak kemasan makanan instan dikulkas, selera makanku jadi berkurang. Bahkan robot pun pandai memasak, dan kau sebagai manusia tidak bisa melakukannya."

"Memangnya kau pernah melihat robot memasak?!" kataku meragukan. 

"Aku pernah pergi ke festival robot. Ada sebuah robot yang dapat memasak berbagai menu, meski hanya beberapa menu, tapi rasanya seperti buatan rumahan," ungkapnya.

"Rupanya aku kalah saing dengan sebuah robot," gumamku.

"Bukan masalah dengan rasa, aku bisa memakan semuanya ketika lapar."

Immanuel mulai mengeruk nasi dan lauk pauknya satu persatu. Dia memasukan begitu banyak ke dalam piring, hanya menyisakan beberapa porsi makanan untukku. 

Bukan masalah, porsi makanku memang sedikit.

"Jangan lupa berdo'a, baca bismillah!" Aku mengingatkannya saat ia hendak memasukan paha ayam ke dalam mulutnya. 

"Untuk apa?" Pertanyaan Immanuel membuatku heran.

"Tentu saja berterima kasih dan sebagai bentuk rasa syukur karena dapat makan," jelasku.

Immanuel tak berbicara lagi, dia malah terdiam.

Aku mengabaikannya, mengangkat kedua tangnku lebar-lebar seraya menunduk penuh hayat. Membaca do'a makan menggunakan bahasa Arab, ditambah beberapa patah kalimat dalam bahasa Indonesia yang kurangkai sendiri. Setelah selesai berdo'a, aku meraih alat makan, mengambil beberapa makanan ke dalam piringku. Immanuel sendiri sudah makan lebih dulu. 

"Kau bukan muslim ya?!" Suaraku menghentikan geraknya.

"Bukan."

Rupanya begitu.

Sekarang aku merasa tak enak karena sembarangan menyuruh orang lain berdo'a layaknya aku berdo'a dalam agamaku. Padahal aku belum tahu agamanya, dan belum tentu semua orang itu muslim. Bahkan saat aku SMA dulu, ada banyak murid non muslim.

Nama Immanuel juga biasanya digunakan oleh orang-orang yang bukan beragama muslim. Aku harap Immanuel tidak mempersoalkan hal ini, kenyamanannya di rumahku adalah hal yang harus kujamin.

"Siang ini aku akan pergi, kunci cadangannya akan kutaruh di pot bunga," ujarku dengan harapan mengalihkan keheningan.

"Iya," ketusnya.

*    *   *

Siang harinya aku pergi ke kedai kopi terdekat dari rumahku, ini tempat langgananku. Aku biasa datang kemari saat mendekati jam istirahat kedai, bukan tanpa sebab, semua pegawai di sini yang jumlahnya 3 orang adalah temanku. 

Dulu, aku sering kemari sendirian untuk meminum kopi hingga sore, kadang-kadang sampai kedainya tutup. Semua pegawai di kedai ini sudah tak asing denganku, Nur Rain, gadis yang menghabiskan banyak gelas kopi sambil mengamati sosial media lewat laptop berwarna abu-abu. 

Tapi untuk sekarang porsi minum kopiku jauh lebih sedikit, mungkin segelas pun tak habis. Meski begitu, para pegawai tidak keberatan akan hal tersebut. Mereka selalu menerima kedatangku dengan penuh antusias. 

"Akhirnya datang juga," ujarku saat kak Mimi duduk untuk menemaniku. 

"Jangan kebanyakan minum kopi, tidak sehat," bisiknya. 

"Hanya kali ini saja," kataku, ikut berbisik. 

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan penyakitmu, apa sudah mendapatkan titik terang?" tanya kak Mimi penasaran. 

"Entahlah, aku hanya menghubungi dokter untuk konsultasi dan selalu meminum obat sesuai anjurannya."

"Kau harus sembuh, Rain. Bukankah tahun depan menjadi targetmu untuk menikah?!" serunya. 

Ucapan kak Mimi membuatku teringat. Saat SMA, aku selalu mencatat semua targetku. Dimulai dengan membuka rekening, membeli sepedah motor, membeli mobil, membeli rumah, kemudian menikah diusia 23 tahun. 

Ada orang yang mencintaiku, dia juga ingin menikahiku, tetapi entah kapan. Apakah aku akan lebih dulu menikah atau lebih dulu menemui kematian?

"Apa kau sudah membicarakannya dengan kekasihmu? Yang namanya Yunanda itu," sambungnya.

"Aku---"

TING 

Suara bel yang digantung dia atas pintu membuat obrolanku dan kak Mimi terjeda. Seorang perempuan yang mengenakan pakaian super rapih itu mengalihkan perhatian kami, sementara itu aku merasa tak asing dengannya.

"Aku ingin kopi paling spesial yang ada di kedai ini, tolong bawakan ke mejaku."

Nada bicaranya santai namun seperti memekik, dan ketika ia berbalik, aku bisa melihat wajah yang tak asing lagi.

Kali ini dia melihat ke arahku "Rain."

Setengah jiwaku tiba-tiba terasa melayang dalam waktu yang singkat.

Dia bergerak mendekat, kak Mimi yang menyaksikan itu perlahan mundur meninggalkanku. Semakin mendekat, semakin mencekam. Dan entah mengapa udara di ruangan ini tiba-tiba terasa sangat panas.

"Kau Rain 'kan. Masih ingat aku?"

"Oh iya," kataku gugup. 

Itu Haura, perempuan yang tak pernah asing bagiku meski kami hanya pernah bertemu 3 kali. Hubungan antara aku dan dia tidak begitu akrab, aku kaget ia bisa mengingatku padahal kami tidak pernah dekat sebelumnya.

Sekarang, ia duduk persis di hadapanku. "Sudah lama sekali tidak berjumpa, terakhir kali kita berinteraksi saat melakukan kegiatan sosial tahun lalu," tuturnya. 

"Aku masih mengingatnya dengan sangat baik," timpalku. 

"Tentu saja kau akan mengingatnya, apalagi mengingat suamiku. Dialah yang selalu membawamu ikut serta dalam kegiatan sosial kami, maka aneh ketika kau tidak pernah terlibat lagi. Apakah kau dan Yunanda putus hubungan?" Kalimat itu membuatku gugup bukan main. "Maksudku putus kontak," ralatnya.

"Tidak putus kontak, hanya sama-sama sibuk untuk sekedar saling menghubungi," jawabku.

"Kau benar sekali, Yunanda terlalu sibuk bahkan untuk sekedar menghubungiku. Akan menjadi sebuah pertanyaan jika dia selalu menghubungimu tapi jarang menghubungiku, dia itu suamiku atau suamimu," Ia tertawa diakhir kalimatnya, tapi tidak denganku. "Maaf, aku hanya bergurau."

"Tidak apa-apa," ucapku.

"Sebelumnya aku tidak pernah menduga bahwa kita akan bertemu, ini sebuah kebetulan. Aku juga ingin mengobrol panjang lebar denganmu, tapi hari ini urusanku cukup padat. Jika tidak keberatan, aku akan mengundangmu ke pesta milik keluargaku."

"Pesta apa?" tanyaku.

"Neo Group, milik Ayahku."

"Semoga aku bisa," kataku. 

"Aku tidak suka penolakan, Rain. Datanglah untuk mengormatiku dan suamiku, Yunanda."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status