Suasana mobil bercat hitam milik Fawaz terasa sunyi. Karena ketiga orang di dalamnya merasa canggung untuk saling memulai percakapan. Baik Fawaz, Aara maupun Kirana seperti sibuk dengan pikiran masing-masing?
Lalu bagaimana mereka bisa berakhir dalam satu mobil?
Itu semua karena Bu Laras. Kirana yang sudah terbiasa diantar Fawaz, mengalami kebingungan karena tadi tidak langsung berangkat, melainkan ke rumah Fawaz dulu. Hingga akhirnya dia bisa terlambat jika tidak segera berangkat.
Karena itulah Fawaz menawarkan diri untuk mengantar, yang langsung dipotong oleh sang ibu dengan mengatakan kalau Aara harus ikut juga. Sekalian mereka disuruh untuk membeli keperluan rumah Bu Laras.
"Terima kasih Kak, Ra," ujar Kirana begitu mobil berhenti di depan lobi.
"Sama-sama."
"Mas, sepertinya itu punya Mbak Kirana," kata Aara ketika melihat sesuatu di kursi belakang dari balik kaca kecil.
Fawaz menepikan mobilnya, kemudian menoleh untuk melihat ben
"Mas Fawaz lagi apa?" Dania bertanya seakan-akan Aara tidak ada di sana."Belanja.""Oh, aku juga lagi belanja. Ngomong-ngomong belanja buat apa? Kok banyak?""Buat sendiri, kan sekarang rumahnya dua."Jawaban Fawaz sontak membuat Dania melirik pada Aara yang sedari tadi hanya diam. Wanita itu mendengkus kesal. Bagaimana bisa mantan istri kakaknya itu menikah dengan laki-laki pujaannya?Sejak mengetahui kalau Fawaz akan menikah dengan Aara, rasa benci Dania pada wanita itu semakin tinggi."Maaf, Dan. Aku duluan, ya." Fawaz membalik badannya, lalu mulai mendorong troli diikuti oleh Aara."Kak, tunggu! Aku boleh nebeng pulangnya?" Dania kini telah berada di depan pasangan itu.Fawaz tidak langsung menjawab, malah menoleh pada sang istri. Seolah meminta saran, yang dibalas anggukan oleh istrinya."Baiklah."Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, Fawaz merasakan pandangan orang-orang terpusat padanya. Bagaimana ti
"Selain mata, mulut Lo juga gak sopan, ya?" cibir Fawaz.Kevin yang sudah paham dengan sikap sahabatnya yang tidak suka basa-basi, balas mencibir ucapan Fawaz, "gue pan cuma tanya. Sensi banget Lo!""Gue serius nikah. Jadi, gak ada yang namanya pelarian segala.""Terus Kirana?"Fawaz mengernyitkan kening. Apa hubungannya dengan Kirana?"Denger, ya. Adek Lo udah nolak gue tiga kali. Jadi, gue memutuskan untuk berhenti," jelas Fawaz dengan penuh keyakinan."Secepat itu perasaan Lo bisa berubah?" Ada nada tidak suka saat Kevin bertanya."Gue realistis, ya. Gak mungkin kan terus berharap pada Kirana? Sedangkan jelas-jelas dia suka orang lain. Dan juga nyokap gue juga pengen gue segera nikah."Kevin sadar apa yang dikatakan sahabatnya memang benar, tapi di sudut hatinya dia tidak suka sang sahabat berpaling dari adiknya. Karena dari dulu dia berharap Fawaz lah yang akan menjadi pendamping Kirana.Tapi apa mau dikata, ad
Rumah berlantai dua milik pasangan yang baru saja dikaruniai seorang anak itu, masih tampak ramai. Meski sebagian tamu sudah pulang. Karena acara sudah berakhir satu jam yang lalu."Lucu, ya?" Aara yang tengah menggendong Rania—anak Rosi dan Rafi—bertanya pada suaminya."Iya." Fawaz mengusap pipi Rania yang terasa halus itu."Kayaknya bini Lo dah pingin itu, bikin sana!" ujar Rafi yang duduk di depan mereka."Udah, bikin setiap hari," jawab Fawaz cuek.Kalimat itu sukses membuat pipi Aara bersemu kemerahan. Malu. "Mas!" peringatnya."Apa? Aku benar, kan?" tanya Fawaz sok polos. Bermaksud menggoda istrinya."Kalian jangan bisik-bisik di sini. Itu kasian si Kevin, ngenes gak ada gandengan."Tidak terima dengan ucapan sahabatnya, Kevin melempar kulit kacang pada Rafi. Aksi saling ejek pun terjadi pada ketiga sahabat itu.Keributan tiga orang itu, sama sekali tidak mempengaruhi Dafa dan Kirana yang berada di sana
Pagi ini Fawaz berencana mengajak istrinya berolahraga. Mumpung mereka menginap di rumah bunda. Jadi, Aara tidak terlalu sibuk dengan urusan beberes, karena di sini sudah ada Nilam.Laki-laki itu menatap istrinya yang tampak selalu cantik di matanya. Meski sekarang sang istri hanya memakai baju gamis olahraga, yang sengaja kemarin dia belikan untuk sang istri."Kenapa cemberut?" tanya Fawaz melihat wajah sang istri yang tertekuk."Mas kan tau sendiri aku gak suka olahraga." Aara memajukan bibirnya.Hal itu tentu saja membuat Fawaz menjadi kelimpungan, tidak mau acaranya berantakan. Fawaz segera menarik Aara keluar rumah setelah berpamitan pada sang ibu."Nantinya bukan cuma olahraga, tapi aku mau mengajakmu makan bubur paling enak di sini."Berhasil! Kalimat itu berhasil membuat Aara tersenyum cerah. Beberapa bulan ini, Fawaz sudah mempunyai cara agar Aara berhenti ngambek, yaitu dengan membelikan sang istri makanan.Istrinya bukan or
Kirana menatap rumah sebelah dari jendela kamarnya, seharian ini dia mulai meraba-raba perasaannya sendiri. Berulang kali dia mencoba mengelak, tapi hari ini dia menyerah.Dia mengaku kalah. Dia akhirnya menyadari perasaannya pada sahabatnya. Perasaan yang terlambat disadarinya.Sekarang apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia kembali merebut suami orang?Kirana mengusap air matanya dengan kasar. Hatinya terasa nyeri, hingga menimbulkan sesak yang menyakitkan. Kenapa harus dia yang mengalami seperti ini? Cinta yang tidak berbalas.Dulu sewaktu kecil, dia begitu mengharapkan kasih sayang orang tuanya. Namun, apa? Dia dikecewakan. Orang tuanya terlalu sibuk bekerja, bukan hanya itu saja mereka terlaku sibuk dengan pasangan masing-masing.Ya, orang tuanya yang di depan umum terlihat seperti pasangan yang harmonis. Nyatanya menyimpan kebusukan yang berhasil mereka tutup dengan sempurna, tidak ada satupun yang tahu kecuali dia. Bahkan sang kakak
Suasana di dalam rumah bergaya minimalis itu, tidak kalah sepi dengan suasana jalanan pada malam ini. Ketiga orang yang berada di ruang tamu, seperti kompak dengan aksi saling diam. Seolah mereka akan menang jika menjadi seseorang yang paling lama diam.Fawaz berdeham kecil, sebelum mulai mengucapkan kalimat, "apa yang terjadi?"Kirana yang mengerti kalimat itu ditunjukkan padanya hanya menggeleng pelan. Mana mungkin dia bercerita di saat ada wanita yang telah sah menjadi istri Fawaz. Dia hanya tidak ingin Fawaz akan marah padanya, dan semakin menjauhinya.Menghela napas pelan. Fawaz bingung harus bicara apa lagi. Selain karena ada sang istri, juga kini antara dia dan Kirana sudah semakin berjarak."Kevin ke mana?" tanya Fawaz lagi."Keluar sama temannya."Melirik sekilas pada sang istri yang tampak tenang sambil menyimak pembicaraannya, dia kembali berbicara pada Kirana, "kamu telepon Kevin biar cepat pulang. Kalau begitu kami pamit dulu. J
"Gimana?" tanya Fawaz begitu melihat istrinya keluar dari kamar mandi.Aara menggeleng, dengan mata berkaca-kaca. Hal itu membuat Fawaz segera menarik wanita itu dalam dekapannya. Dengan penuh kasih sayang dia mengusap kepala Aara."Gak pa-pa jangan sedih.""Tapi ini ketiga kalinya aku mencoba. Hasilnya selalu sama," rengek Aara yang mulai menangis.Fawaz merenggangkan pelukan mereka. Dia bingkai wajah ayu sang istri, "dengar kita baru menikah lima bulan. Jadi jangan terlalu terbebani jika hasilnya masih negatif."Ya, sejak memasuki bulan kedua mereka menikah. Aara mulai rajin menggunakan alat tes kehamilan, tapi sampai sekarang hasil yang diinginkannya belum terpenuhi. Fawaz sendiri tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Toh, seperti yang dia bilang pada istrinya, mereka baru menikah lima bulan.Namun, hal itu berbeda dengan Aara. Wanita itu tampak selalu murung jika hasil tespack menunjukkan negatif.Dengan sedikit terbata, Aara be
"Kirana sakit? Kok pucat gitu?" Bu Laras mengamati wanita cantik yang baru saja masuk bersama Fawaz."Kecapekan aja, Tan. Kerjaan lagi banyak," ujar Kirana setelah menyalami Bu Laras.Aara sedari tadi diam melihat interaksi itu. Terus terang saja, dia cukup kaget dengan kedatangan Kirana. Selama beberapa bulan ini, ketika ke sini dia tidak pernah bertemu sahabat suaminya itu. Jadi ini pertemuan mereka kembali, setelah kejadian di rumah Kirana.Wanita berkulit kuning langsat itu, ikut mengamati wajah Kirana yang terlihat pucat. Rasa iba muncul di hati Aara melihat itu. Dia jadi penasaran, sebenarnya seperti apa karakter Kirana sebenarnya?Dulu saat Kirana selalu berada di sekitar Dafa, terlihat sekali dia wanita yang penuh percaya diri. Namun, kenapa sekarang berubah? Seperti seorang wanita yang tidak punya semangat hidup."Kalau kamu.capek, gak usah ke sini gak pa-pa. Istirahat saja di rumah.""Bosen di rumah Tante.""Baiklah, kalau b