Maura kembali ke kantor, bingung harus pergi ke mana. Orang rumah akan curiga kalau dia pulang sekarang, setelah Rangga menyuruh ART-nya membereskan barang miliknya. Kembali ke rumah keluarga Rangga lebih tidak mungkin lagi. Begitu juga pergi ke tempat Rissa, hubungannya dengan Evan dan orang tuanya sedang rumit.
Ada rasa lega begitu punggungnya mendarat aman di kursi besar miliknya. Ia tidak melihat Rissa saat memasuki ruangan, jadi untuk sementara ia aman. Tanpa sadar, kedua lengannya mendarat di atas perutnya, tetap di sana selama beberapa saat.
“Apa nyaman berada di dalam?” Maura mengusap perlahan perutnya. “Maafkan aku. Aku tidak membencimu, tapi aku juga tidak yakin bisa merawatmu. Kehadiranmu tidak ada dalam rencana hidupku. Sekali lagi maaf,” gumamnya penuh sesal.
“Hari ini, aku melihatmu hidup, bergerak di dalamku. Ada rasa haru dan takjub. Tapi itu saja tidak cukup untuk menerimamu.” Tangannya terus bergerak di atas perutnya. “Aku ingin, anak-anakku
Sejak pertengkaran terakhir mereka, Maura jarang bertegur sapa dengan Armand, hanya seperlunya untuk menjaga kesan di mata orang. Terutama hari ini, di mana ia telah resmi menjadi istri Rangga Danutirta dan sedang berdiri menyambut tamu undangan.“Senyumlah. Aku tidak ingin para tamu berpikir kamu terpaksa menikahiku.”“Memang begitu faktanya dan kita berdua tahu, itu benar,” balas Maura. “Lagipula, ini tamumu dan keluargamu.”“Tapi kamu sudah menjadi anggota keluarga Danutirta sekarang. Jadi mereka juga tamumu.” Rangga berbisik lagi, mulutnya gatal ingin berdebat dengan istri barunya.“Bagaimana bisa mereka tamuku, mereka diundang tanpa persetujuanku.”“Karena kamu pasti akan menolaknya. Ingat saat kamu kabur bersama Alina ke studio dan berakhir kabur lagi karena Alina menyinggungmu. Pada dasarnya, kamu memang berniat menggagalkan pernikahan ini, bukan?”Maura harus men
“Mau menjauhkanku dari apa?” ulangnya ketika Rangga tidak berniat menjawabnya. “Dari hal-hal tidak berguna. Aku mandi dulu.” Maura melompat turun dan menghadang Rangga. “Contohnya?” “Apa kamu gila?! Kenapa bisa melompat begitu?!” Rangga terkejut melihat apa yang barusan Maura lakukan. “Kenapa menghindar? Apa yang kamu sembunyikan?” Sret! Rangga mengangkat tubuh Maura dan membaringkannya lagi di ranjang. “Jangan pernah melakukannya lagi. Di dalam sini, ada penerus keluarga Danutirta!” ucapnya kesal sambil menunjuk perut Maura. “Maaf, aku lupa kalau sedang mengandung penerusmu,” balas Maura. “Sekarang, katakan apa yang kamu sembunyikan dariku.” Kurkk …. “Tidak ada. Tunggu di sini. Aku akan menyuruh Reno mengantar makanan untuk kita.” Rangga meraih kembali ponselnya dan berbicara beberapa detik, kemudian masuk ke dalam kamar mandi. Suara gemericik air makin mengacaukan pikiran Maura. “Apa yang sedan
Dilihatnya Alina sedang bersimpuh di depan kloset, memuntahkan semua isi perutnya. Anak rambutnya basah oleh keringat, wajahnya pucat.“Nona.” Reno berjongkok sambil menepuk perlahan punggung Alina.“Pergi!” Alina berusaha berdiri dan mengusap mulutnya dengan punggung tangannya.“Saya bantu kembali ke ranjang.” Reno meraih lengan Alina dan melingkarkannya ke lehernya, sedangkan lengannya merengkuh pinggang ramping Alina.“Lepas! Aku tidak butuh belas kasihanmu.”Tap. Sret.Reno mengangkat tubuh Alina, dengan cepat melintasi kamar dan membaringkan Alina di ranjang. Menutup tubuh berbalut piyama satin marun dengan cepat hingga dagu.“Saya permisi, Nona.” Reno mengangguk hormat sebelum berbalik pergi.“Tunggu. Aku hanya akan mengatakannya satu kali, dengar baik-baik. Perasaanku padamu selama tiga tahun ini, tulus. Dan malam ini adalah terakhir kalinya aku katakan pa
“Karena takut aku akan lari seperti Vivian?”“Siapa yang memberitahumu tentang dia?!”“Dia? Bahkan namanya saja enggan kamu sebut. Begitu bencikah kamu padanya? Karena dia kabur dengan kekasihnya di hari pernikahan kalian?”“Jaga ucapanmu, Ra!” desis Rangga marah.“Apa sikapmu yang suka memaksa dan seenaknya sendiri karena takut aku akan kabur seperti Vivian?” tanya Maura makin berani.“DIAM.”“Aku tegaskan padamu, aku adalah Maura. Apa yang aku lakukan dan katakan, berasal dariku sendiri, tidak meniru atau hasil pendapat orang. Jadi berhenti bersikap otoriter padaku.”Rangga melesat, meraih pinggang Maura dengan cepat. “Apa yang ada di pikiranmu saat aku melakukan ini?” Kepalanya menunduk dengan cepat, menyerang Maura yang lengah.Belum sempat Maura memikirkan apa yang harus dilakukan, Rangga sudah melepaskannya. “Morning
Pertanyaan polos Alina membuat pandangan mata Maura kabur oleh airmata. Alina benar, anak adalah buah cinta kedua orang tuanya. Bukan buah kesalahan seperti yang ia dan Rangga lakukan. “Kak, malah bengong.” “Kami tidak saling kenal. Malam itu, pertama kali kami bertemu dan melakukan kesalahan. Setelah malam itu, kami tidak lagi berhubungan sampai Rangga datang mencariku dan mengetahui kehamilanku.” “Apa benar kata Mama, kalau kamu berniat menggugurkan bayimu?” tanya Alina terdengar ngeri. Maura mengangguk. “Ya, benar. Aku tidak berniat melahirkannya atau menuntut pertanggungjawaban Rangga karena kondisi kami berdua malam itu di bawah pengaruh obat. Oleh sebab itu, aku menyebutnya kesalahan.” Maura mengelus perutnya sekilas. “Pantas saja, Reno dibuat kelimpungan beberapa minggu karena tugas mustahil yang dibebankan padanya. Menemukan gadis dalam video yang sedang mengacungkan jari tengahnya di depan pintu penthouse miliknya.” “
Maura menggelengkan kepalanya yang terasa berat. Perasaan seperti ini pernah ia rasakan sebelumnya. Kesadarannya seketika kembali, saat mengingat malam itu. ‘Ya, seperti ini rasanya ketika aku tersadar dari obat tidur. Kepala pening, mata mengantuk, badan terasa lemas dan berat.’ Pandangannya masih kabur, Maura mengerjapkan mata beberapa kali menjernihkannya. ‘Di mana ini?’ Matanya mengedar. Maura sedang duduk terikat di sebuah kursi stainles yang banyak digunakan di ruang perkuliahan. Kakinya juga diikat erat. Ia berada di sebuah bangunan kosong yang nampaknya sudah lama tidak terpakai. Dari luar tidak terdengar suara lalu lalang kendaraan. ‘Bangunan kosong di daerah terpencil,’ batinnya menarik kesimpulan. ‘Berteriak minta tolong, bukan pilihan tepat.’ “Hei! Apakah ada orang?!” teriaknya lantang. Dua orang pria kekar dengan wajah tidak bersahabat bergegas menghampirinya. “Sudah bangun rupanya, Nona Cantik. Ada apa?!” ujar pri
“Apa yang kamu lakukan, Mel?! Ahh!” Maura memekik sambil menahan ngilu yang menembus lengannya. Kepala jarum itu begitu tajam, dengan mudahnya mengoyak kulit dan dagingnya. “Apa yang kamu suntikkan?! Wanita iblis!” desisnya marah. “Tenang, itu hanya setengah dari dosis yang dibutuhkan untuk mengeluarkan janinmu. Dua jam lagi aku akan naikkan dosisnya, kalau Rangga terlambat datang.” Amelia tersenyum puas melihat tatapan marah Maura. “Kenapa? Merasa tidak berdaya? Marah aja, Ra. Sorot matamu seperti ingin menelanku hidup-hidup.” Amelia tergelak, tawa bahagia yang menjijikkan. “Jangan sentuh anakku. Kalau kamu mau pukul, pukul aku, lepaskan dia.” “Kenapa? Takut Rangga menceraikanmu kalau bayi itu sudah tidak ada? Bukannya kamu berencana membuangnya? Harusnya kamu terima kasih, karena aku membantu mewujudkan harapanmu.” Amelia tersenyum culas. Amelia menutup kepala jarumnya dan meletakkannya kembali ke dalam kotak stainles. Membersihkan tangannya
“Sudah kamu temukan lokasinya?” tanya Rangga begitu masuk ke dalam mobil.“Sudah, Bos.”“Bagus, ayo berangkat.”Reno mengarahkan mobilnya mengikuti GPS lokasi yang dikirimkan tim pengintai markasnya. Melihat air muka bosnya, Reno memilih diam. Tidak memberitahukan kondisi terakhir Maura di dalam gedung. Sebelum Rangga masuk ke dalam mobil, salah satu timnya melapor bahwa dia mendengar jeritan yang ditengarai sebagai suara Maura.“Rem!” Hardik Rangga. “Ke mana pikiranmu, Ren?! Fokus!”“Maaf, Bos.”Mereka sampai di lokasi yang dituju setengah jam kemudian. Reno menghentikan mobilnya di bawah pohon yang rindang, berjarak tiga ratus meter dari bangunan kosong tempat Maura disandera.“Gedung di depan sana, Bos!” tunjuk Reno lurus ke depan.“Oke, siapkan semuanya. Aku akan masuk sekarang.” Rangga meraih tas kerja hitam di sampingnya seraya