“Maaf, tidak ada yang bisa kita lakukan. Obat perangsang persalinan yang disuntikkan sudah melebihi dosis. Saat ini, sedang proses peluruhan janin. Jantungnya sudah berhenti berdetak.” Siska menguatkan hatinya mengatakan yang sedang terjadi pada dua keponakannya.
Kata-kata dokter Siska memberi sengatan kekuatan pada Maura. “TIDAK! Selamatkan dia, Kak. Aku janji, aku akan bersikap baik padamu. Tolong, Kak!” Maura berteriak, menarik lengan Rangga, memukulnya.
Rangga memeluk istrinya dengan lengan lainnya. Hatinya perih, matanya panas. Tidak ada hati yang masih bisa membeku melihat tangis sedih dan jerit marah Maura.
‘Aku akan balas mereka, Ra!’
“Maafkan aku, Ra.”
“Tidak, aku tidak akan memaafkanmu! Selamatkan dia, Kak!” Maura terus memukul punggung Rangga dengan kepalan tangannya. “Dokter, lakukan sesua-tu….” Maura terkulai lemas.
“Ra, Maura. Tante, dia kenapa
“Hehh! Kenapa kamu bisa di sini? Bukannya kamu bilang sudah pergi jauh dari Jakarta?” Amelia melotot kesal.“Anak buah Rangga menangkap saya, Mbak. Saya sudah keliling kota hanya untuk menarik tunai uang yang Mbak kirimkan agar tidak bisa dilacak. Mbak sendiri kenapa bisa tertangkap?”“Aku lebih berani dari kamu. Aku menculik istri Rangga dan membuatnya kehilangan bayi yang dikandungnya.” Amel tersenyum bangga ketika mengatakannya. Senyumnya kian lebar melihat Bayu mengernyit ngeri ke arahnya.“Aku sudah pernah katakan padamu, aku menyimpan dendam yang besar pada wanita itu.”“Ranggapati tidak akan melepaskanmu dengan mudah, Mbak.”“Tidak masalah. Asal aku sudah membalas sakit hatiku, tidak masalah bagiku. Dan aku pikir, Rangga bukan tipe pria bejat yang tega menyakiti wanita. Buktinya, dia sama sekali tidak menyentuhku.”“Mbak terlalu memandang remeh Ranggapati Da
“Kak, dia baik-baik saja, ‘kan?” Maura mengulang pertanyaannya. “Kenapa diam?”“Dia baik, sangat baik. Kamu tenang saja. Tidurlah, kamu pasti masih mengantuk.” Rangga mengusap lembut anak rambut yang lengket di kening Maura.Maura menekuk jarinya, meminta Rangga mendekat. “Aku lapar, Kak,” bisiknya.“Tan, apa dia sudah boleh makan?” Rangga berbalik menatap Siska.“Minum yang hangat dulu. Kalau tidak mual, muntah, bisa lanjut makan.”“Ren, tolong belikan minuman dan makanan hangat.”“Tidak, aku mau kamu yang belikan. Aku ingin minum teh hangat dan makan nasi rawon.”Rangga mengernyit sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan keluar kamar diikuti Reno. Setelah Rangga pergi, Alina duduk di samping ranjang dan meraih tangan Maura.“Kak, maafkan aku. Kalau bukan karena aku memaksamu keluar bersamaku, semua ini tidak akan terjadi
“Kak,” “Apa?” Rangga berbalik. “Aku rasa, sebaiknya kita urus pembatalan pernikahan.” Rangga mengernyit. “Pembatalan pernikahan?” Kakinya melangkah cepat menghampiri Maura. “Apa maksud perkataanmu, coba jelaskan padaku.” Maura menata hatinya sebelum membuka mulutnya. Tapi, bibirnya hanya sedikit terbuka, tanpa bisa mengeluarkan kata. “APA?” emosi Rangga mulai meningkat. “Sudah tidak ada alasan bagi kita untuk terus bersama.” Desahan napas dan mata yang terpejam, sudah cukup memberi tanda bahwa Maura menyesali kalimatnya. “Jangan keterlaluan. Aku sudah cukup bersabar menghadapimu. Kalau keputusanku menyetujui kuret membuatmu marah, aku bisa mengerti. Marah saja, luapkan emosimu.” Rangga menyugar rambutnya dengan kesal. “Dengar, aku sudah pernah katakan padamu. Ini bukan pernikahan kontrak seperti dalam drama atau perjanjian bisnis yang biasa kita tangani. Ini pernikahan, hanya pernikahan. Jadi, apapun yang akan t
“Bawa dia ke Rumah Sakit. Awasi dengan ketat, jangan sampai dia melarikan diri!” Rangga membanting gagang telepon di tangannya.“Ada apa, Bos?”“Kamu hubungi Potter, tanyakan ke mana mereka membawa Amelia. Wanita gila itu, nekat menggigit lidahnya sendiri.”“Baik.” Reno melangkah cepat melintasi ruangan.“Sial!”Ponsel Rangga berdering.[Maura calling ….]“Halo.”Tidak ada jawaban dari seberang, hanya terdengar tarikan dan embusan napas.“Ra, are you okay?”[I’m okay. Hanya saja, aku tidak bisa menyalakan lampunya. Aku tidak bisa menemukan saklar dan tepuk tanganku tidak berhasil membuat lampunya menyala.]“Oke, tunggu. Aku pulang sekarang.” Rangga tersenyum melihat celah untuk mendebat keputusan Maura.Lima menit kemudian, Rangga sudah duduk di sofa kamarnya, berhad
“Tan, bagaimana kondisi Maura?”“Dia baik-baik saja. Hanya saja, dia mengalami guncangan emosi yang berlebihan. Kalian bertengkar lagi?” Siska memicingkan mata ke arah Rangga.“Tidak, dia marah bukan padaku.”“Sudah Tante pesan berulang kali, kamu harus lebih bersabar menghadapinya. Dia baru saja kehilangan calon bayinya, itu sangat berat untuknya.”“Ya, aku ngerti.”“Mengerti saja tidak cukup, Ranggapati. Dia butuh rasa aman dan nyaman. Temani dia, jangan berani beranjak dari kursimu.”Rangga hanya mengangguk mendengar perintah Siska. Tangannya merogoh saku celana, mengambil ponsel dan menghubungi Reno.“Bagaimana kondisinya?”[Sudah sadar, Bos. Dan ternyata bukan lidahnya yang dia gigit, tapi bagian dalam mulutnya.]“Dasar wanita licik!” Rangga mengumpat marah. “Tunggu Maura sadar, aku akan menemuimu. Jangan lupa, samp
“Gua gak mau tau, lo harus bantuin gua kabur. Gua gak mau dijodohin, Nin!” bohong Amel pada sahabatnya. [Iya, iya. Lo tenang dulu. Gendang telinga gua udah geter, hampir pecah denger teriakan panik lo. Emang lo mau dijodohin sama siapa, sih?] “Ada pokoknya, anak rekanan bokap gua. Mentang-mentang adek gua udah nikah, eh, sekarang malah maksa-maksa gua buat nikah juga.” [Kapan rencananya lo mau gua bantuin kabur, Mel? Kabur ke mana?] “Tar malem, lo tunggu di perempatan dekat rumah. Pas mereka udah pada tidur, gua keluar. Ke mananya, kita obrolin pas udah di luar aja. Btw, trims ya, Nin. Lo emang best friend gua.” [Iya, sama-sama.] Amelia menyeringai puas. Rencananya meminta bantuan Hanin untuk kabur, berhasil. Rumah ini sudah tidak aman lagi baginya. Terlebih setelah tadi siang Maura memperdengarkan rekaman percakapannya dengan Bayu. Sebelum Bayu buka mulut lebih lebar lagi, sebaiknya dia pergi jauh. Di tengah aktivitas
Peluh membasahi dahi dan punggung Maura. Kembali ke tempat Amel menyekap dan menyiksanya, membuat bulu kuduk Maura meremang. Ditambah lagi, tubuhnya juga terikat, persis seperti hari itu. “Bos, saya sudah berhasil membawa Maura ke tempat biasa.” Karta melapor via sambungan telepon. [Serius? Bagaimana bisa? Kamu memang sesuatu, Karta.] “Terima kasih, Bos. Lalu apa yang harus saya lakukan selanjutnya?” [Tunggu, saya meluncur sekarang. Eits, kasih saya bukti bahwa kamu tidak sedang menipu saya.] Karta mendekatkan ponselnya ke arah Maura. “Ayo, bicara!” bentaknya kasar. “Amelia bangs*t! Lepaskan aku!” teriak Maura marah. [Hahaha, gak sia-sia saya bayar kamu, Karta.] Amelia tergelak senang mendengar teriakan marah Maura. “Gimana, Bos?” [Oke, saya ke sana sekarang.] Satu jam kemudian, Amelia berlari kecil masuk ke dalam gedung kosong. Tidak disangka, dia masih berkesempatan bertemu Maura sebelum meninggalkan J
Penthouse Maura baru saja keluar dari kamar mandi, ketika bel pintu berbunyi. Mimiknya berubah kaku saat dilihatnya bibir Rangga bergerak mengatakan ‘papa’ tanpa suara, sebelum membuka pintu. Tanpa sadar, tangannya mengeratkan tali bathrobe yang membungkus tubuhnya. “Mana Maura?!” tanya Armand dengan nada marah. Rangga tidak repot menjawab, hanya bergerak menepi, memberikan ruang untuk Armand dan istrinya lewat. “Apa maksudmu dengan semua ini?!” tanya Armand saat melihat Maura mematung. “Mas, kita duduk dulu.” Soraya menarik lengan Armand dengan tangannya yang gemetar. “Maura, jawab Papa!” “Maaf, Pa. Maura hanya melakukan apa yang harus Maura lakukan,” sahut Maura singkat. “Memasukkan kakakmu ke penjara? Itu yang kamu sebut dengan hal yang harus kamu lakukan? Kamu ini kenapa sebenarnya?! Amel itu saudaramu, Ra!” “Saudara tidak akan mencelakai ssaudaranya, Pa.” Maura tetap berkeras. “Pa,