Share

Bab 6 Kado Akhir Tahun (2)

“Maaf, aku sungguh minta maaf,” ucap Maura demi melihat snelli Evan terkena cairan lambungnya.

It’s okay,” jawab Evan setengah meringis. “Aku bersihkan dulu.”

“Maaf.”

“Lho, Kak. Mau ke mana?” Rissa bingung melihat Evan melangkah cepat melewatinya. “Kenapa lagi dia?” tanya Rissa yang hanya dijawab dengan gerakan bahu dan ekspresi canggung.

“Aku sudah urus administrasinya, sebentar lagi kita pindah ke kamar.” Maura mengangguk. “Apa kamu sudah memberitahu orang rumah kalau kamu sakit?” Maura menggeleng.

“Mereka tidak akan mencariku.” Maura kembali berbaring. Namun, perutnya kembali bergolak. “Ris ….” Tangannya melambai dengan panik.

“Kenapa?”

Cairan yang sama keluar lagi.

“Astaga …!” Rissa panik, tangannya dengan cepat meraih baskom plastik yang disediakan di bawah ranjang. “Sini.” Rissa membantu Maura memijit tengkuknya.

“Hhh … apa sakitku parah?” tanya Maura lemas.

“Tunggu, aku panggilkan dokter. Mungkin ada obat untuk mengurangi mual.”

Sepeninggal Rissa, Maura mulai berpikir tentang hal lain. Sudah dua bulan ini siklus haidnya terlambat datang.

‘Apa mungkin …?’

“Kenapa? Muntah, ya? Ini saya masukkan obat lewat infus, ya.” Seorang suster berperawakan subur menjelaskan.

“Tunggu.” Maura mencegah tangan suster. “Saya takut disuntik, Sus. Bisa tidak tunggu sebentar?”

Walau keberatan, suster itu tetap mengangguk dan memaksa tersenyum. “Panggil saya kalau anda sudah siap.”

“Kenapa?” bisik Rissa.

“Tolong panggilkan Kak Evan, please,” pinta Maura memelas.

“Oke, oke. Aku panggilkan.”

Sepuluh menit kemudian, Evan dsudah berdiri di samping Maura. “Kenapa, Ra?”

Maura melambai, meminta Evan mendekat padanya. “Kak, tolong aku. Sepertinya aku hamil.”

Evan tersentak dengan mata lebar. “Apa maksudmu?”

“Aku akan ceritakan nanti, tapi tolong bantu aku memastikannya.”

Evan bergeming. Kepalanya berdenyut mendengar penuturan Maura. Wanita yang dicintainya, yang bahkan belum menjawab ungkapan cintanya, sekarang berkata padanya bahwa dirinya kemungkinan sedang hamil.

“Kak, kok malah bengong?” Rissa yang baru kembali, menyikut rusuk Evan sedikit keras membuat pria itu meringis kesakitan.

“Nanti, setelah kamu dipindahkan, aku akan membawa alatku ke kamarmu.” Evan berbalik pergi setelah berkata demikian.

“Astaga, sebenarnya kalian ini kenapa, sih?”

Keduanya hanya diam, tidak berniat menjawab pertanyaan Rissa. Dan ketika Evan kembali ke kamar Maura dengan membawa USG portable, mata Rissa membulat sempurna.

“Jangan bilang, kalau sejak tadi kamu muntah itu bukan karena sakit, tapi karena hamil.”

Maura hanya diam. Bahkan ketika Evan menyibak kemeja bagian perutnya ke atas dan memberi perut ratanya gel dingin, Maura tetap diam. Tapi, begitu di layar kecil hitam muncul gambar sesuatu yang bulat sedang sibuk berenang dan menendang, disertai bunyi berisik mirip detak jantungnya, airmata Maura tumpah.

“Astaga, apa itu bayi?” Rissa yang pertama kali membuka suara. “Dia sangat lucu,” Suaranya tercekat. “Ra, ini luar biasa. Dia bergerak ….” Rissa makin takjub.

Evan buru-buru menyudahi pemeriksaannya. “Sepuluh minggu,” ujarnya singkat dengan wajah keruh. “Aku harus kembali bekerja,” pamitnya.

Rissa hanya bisa bengong melihat sikap Evan yang berubah dingin, sedangkan Maura masih terisak sambil memalingkan wajahnya.

“Kalian ini sebenarnya kenapa, sih?!” Rissa tak tahan lagi melihat keanehan abang dan sahabatnya.

Bukannya menjawab, Evan malah pergi meninggalkan Maura dan Rissa.

“Ra,”

Rissa duduk di tepian ranjang, bingung harus bersikap. Maura bangkit dengan cepat dan memeluknya erat, melanjutkan tangisnya tanpa suara. Ketika mulai tenang, Maura mengendurkan pelukannya dan menyusut hidungnya.

“Jadi yang kamu ceritakan beberapa waktu lalu, itu benar terjadi? Tentang café, Amelia dan tertidur dalam pelukan pria asing?” Maura mengangguk. “Lalu, Evan?” Rissa menautkan kedua alisnya.

“Evan kecewa padaku.”

“Ayolah, jangan membuatku semakin tersiksa karena penasaran.”

“Saat kita bertiga merayakan ulang tahunku di tempatmu, Evan menyatakan perasaannya, namun aku belum menjawabnya hingga hari ini. Sikap apa yang menurutmu tepat selain marah dan kecewa, melihatku sekarang hamil?”

“Wah, kalian memang sesuatu. Evan tidak punya daya juang, sedangkan kamu tidak punya perasaan.”

“Maaf.”

“Lupakan tentang Evan, pria seharusnya tidak mudah menyerah. Lalu, tentang bayi ini, apa kamu tahu siapa pria itu?”

Maura menggeleng. “Aku bahkan tidak ingin mencari tahu siapa pria itu. Aku hanya ingin membuktikan bahwa semua ini adalah ulah Amel.”

“Lalu bagaimana dengan bayi ini?” Maura mengendikkan bahu tak mengerti. “Kamu tidak bisa membiarkannya begitu saja, semua orang akan tahu ketika dia mulai menyembul dari perutmu.”

“Aku akan membuatnya tidak sampai menyembul dan terlihat.”

****

Bandara Semarang

“Selamat datang, Bos,” sapa Reno begitu melihat pria tegap melangkah mendekat.

“Aku benar-benar tidak mengerti tentangmu.” Rangga mengibaskan jas dan berkacak pinggang dengan anggun. “Aku yang membayar gaji dan bonusmu, bisa-bisanya kau bekerja untuk ayahku tanpa memberitahuku,” sungutnya.

Sejak masuk ke dalam pesawat yang membawanya ke Semarang, Rangga menahan emosinya sekuat tenaga. Marah karena ternyata Reno sudah berhasil mengetahui identitas gadis misteriusnya sejak bulan lalu, marah karena Reno menghilang tanpa kabar dan terahir, Rangga marah karena malam akhir tahunnya harus dia habiskan berdua bersama Reno di Semarang.

“Maafkan saya, Bos.” Reno setengah membungkuk.

“Aku benar-benar marah padamu.” Tangan kanannya mengepal mengarah lurus ke arah Reno. “Ayo, kita pergi.”

Reno segera membuka pintu mobil dan masuk ke belakang kemudi. “Bos, tentang gadis misterius itu, dia adalah salah satu orang penting di Hotel Orion. Menurut penyelidikan Potter, dia adalah putri pemilik hotel,” lapor Reno sembari mengarahkan mobilnya ke tengah lalu lintas yang padat.

“Apa katamu?! Hotel Orion?!” Rangga memajukan duduknya.

“Ya benar, Hotel Orion.”

Dug!

Rangga meninju bagian belakang sandaran kepala Reno. “Kau benar-benar sialan, Ren!”

Reno hanya bisa menggumamkan kata maaf melihat kemarahan Rangga, walau tidak sepenuhnya mengerti alasan kemarahan bosnya. Begitu sampai di kamar hotelnya, Rangga segera membaca semua laporan yang Reno susun berdasarkan hasil penyelidikannya selama satu bulan.

“Besok, begitu matahari terbit, kita temui Om Wira.” Rangga masuk ke dalam kamarnya dan melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Hotel Orion. Tunggu aku, Nona.” Matanya mulai terpejam.

Pagi hari, hari pertama di awal tahun, Rangga mengadakan rapat darurat dewan direksi, membahas tentang pemecatan Wira Sentanu sebagai CEO anak perusahaan GD Grup yang bergerak di bidang furnitur. Mengatur tentang pemberian biaya hidup dan pendidikan untuk keluarganya, serta mengurus masalah hukum yang ditimbulkannya.

“Kita kembali ke Jakarta sekarang,” ucap Rangga tepat pukul sembilan malam.

Reno hanya diam, tangannya sibuk mencari tiket pesawat melalui ponsel pintarnya. “Bos,”

“Aku tidak mau dengar kegagalan.”

“Hanya tersisa kelas ekonomi untuk malam ini. Atau kita berangkat besok dengan penerbangan pertama?” tawar Reno.

“Kita pulang malam ini.” Rangga menatap asistennya dengan tatapan tajam yang bisa mengoyak daging.

“Baik, Bos.”

Jakarta

Tepat pukul satu dini hari, Rangga merebahkan tubuh penatnya di atas ranjang penthouse mewahnya. Ranjang yang selalu membuatnya terjaga karena aroma yang tersisa dari kejadian dua bulan lalu.

“Dasar Reno sialan!” Rangga memukul tempat kosong di sampingnya. “Kenapa pagi begitu lama?” Rangga berguling ke kiri, mengelus sprei dingin dengan lengannya. “Aku akan melihatmu pagi ini, Nona,” gumamnya dengan mata terpejam.

****

“Ra, aku harus ke kantor. Aku usahakan secepatnya kembali.”

“Tenang saja, aku akan baik-baik saja.”

“Jangan melakukan hal-hal bodoh selama aku pergi. Aku akan minta Evan,”

“Tidak, sebaiknya jangan. Aku tidak ingin semakin melukainya,” lirih Maura dengan wajah tertunduk.

Rissa merangkul bahu Maura. “Hei, kenapa jadi melow begini? Bukankah Maura yang aku kenal sangat realistis?”

Maura tersenyum kecut.

“Oke, aku tinggal dulu.” Rissa meraih tasnya dan keluar.

Sesampainya di ruangan Maura, Rissa segera memeriksa beberapa dokumen terkait laporan kegiatan tutup tahun dua hari lalu. Selesai dengan itu semua, Rissa duduk di kursi Maura dan bersandar. Dalam kondisi tenang begini, otaknya mulai mencerna peristiwa yang terjadi dengan cepat dua hari ini.

Kehamilan Maura, sikap Evan dan keputusan Maura tentang bayinya.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Suara gaduh di depan pintu membuatnya mendongak.

“Maaf, Bu Maura sedang tidak berada di tempat.”

“Minggir!” suara pria sedang membentak begitu lantang terdengar.

Brakk!

“Bu, maaf.” Stella menunduk ketika pintu ruangan terbuka.

“Tidak apa-apa. Kembalilah ke tempatmu.” Rissa bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri tamunya. ‘Siapa pria ini? Seperti tidak asing.’

Begitu Stella menutup pintu, pria itu melangkah cepat menghampiri Rissa dan mencekal lengannya dengan kasar. “Katakan. Di mana Maura?!”

“Lepaskan. Anda menyakiti lengan saya.”

“Jawab pertanyaanku!” bentak Rangga

“Lepaskan tanganmu, Tuan!” Rissa menghentak lengannya dengan keras hingga terlepas. “Jaga sikap anda.”

“Di mana Maura?!”

“Beliau sedang tidak berada di tempat. Siapa anda? Saya akan sampaikan pada Bu Maura tentang kedatangan anda.”

“Tidak perlu. Aku bisa mencarinya sendiri.”

Rangga berbalik, bermaksud akan keluar ketika pintu ruangan kembali terbuka. Menyuguhkan sosok molek berbaluk kain kurang bahan di beberapa tempat.

“Oh, ada tamu rupanya. Selamat pagi,” sapa Amelia dengan suara mendayu. Matanya beralih menatap Rissa. “Sikapmu buruk sekali dalam menyambut tamu, Nona,” sinisnya.

“Maaf.”

“Silakan duduk, Tuan Tampan. Anda bisa menyampaikan keperluan anda sambil kita obrolkan perlahan. Adik saya sudah dua hari tidak pulang ke rumah, jadi saya yang mewakilinya.”

Rangga kembali berbalik. “Ke mana dia?”

“Mungkin sedang menghabiskan malam panjang bersama kekasihnya. Penghujung dan awal tahun adalah momen tepat bersama orang terkasih, bukan?”

“Kalau begitu, tidak ada alasan bagi saya untuk tinggal lebih lama.” Rangga berbalik dan benar-benar pergi kali ini.

Amelia menoleh ke arah Rissa. “Siapa dia? Apa hubungannya dengan Maura? Salah satu klien?”

“Maaf, saya kurang tahu. Saya permisi.”

“Hei!” Amel menghadang jalan Rissa. “Maura sangat beruntung memiliki pengikut setia sepertimu.”

Rissa tersenyum sekilas. “Terima kasih. Saya tersanjung karena pujian anda.”

Amel mendecih marah karena Rissa bahkan tidak terpancing untuk membuka mulut. “Ke mana gadis itu? Sudah dua hari tidak pulang. Di kantor juga tidak ada,” gumamnya sambil melihat Rissa menutup pintu.

Ketika sosok wanita yang ditunggunya keluar dari lobi hotel dan masuk ke dalam sebuah mobil, Rangga tidak membuang kesempatan, memacu mobilnya mengikuti mobil hitam di depannya.

“Aku tidak akan kehilanganmu lagi, Maura.”

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Alam Bebas
saya suka tapi saya tidak tau cara memberikan bintang karena saya baru pertama kali megang HP Android sebelumnya cuma pakai HP jadul. penulis novel ini sepertinya jenius entah ini ngarang tau kisah nyata aku tak tau. intinya bagus cerita novel ini.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status