Share

Bab 5 Kado Akhir Tahun (1)

Kediaman Danutirta

“Pagi, semua,” Alina menyapa semua yang sedang berada di meja makan.

“Pagi, Sayang, tumben udah rapi. Biasanya baru nanti agak siangan turunnya.” Hanna mengerling menggoda putrinya yang paling susah bangun pagi dan sarapan bersama mereka.

“Ih, Mama. Bisa, gak, sehari aja gak ngeledek?!” Alina menarik kursi di samping abangnya.

Cup!

“Ih, jorok banget, sih!” omel Rangga.

“Jorok dari mana coba? Mandi udah, gosok gigi udah, parfum udah. Sayang itu pipi dianggurin.” Senyum Alina mengembang melihat Rangga mengusap pipi bekas ciumannya dengan punggung tangan.

“Bukan sayang pipinya, itu bibir sudah lama gak nyium pipi cowok. Gatel jadinya.”

“Abang, sadis banget, sih.”

“Sudah, kalian ini tiap kali ketemu selalu saja ribut. Kalau jauhan bentar, kangen.” Hanna menghentikan perdebatan keduanya. “Al, kamu belum jawab Mama. Pagi begini udah rapi, mau ke mana?”

“Alina dapat undangan menghadiri perayaan tutup tahun di Hotel Orion, Mam. Mama mau ikut, gak? Ada banyak musisi tanah air, lho. Mulai yang generasi lama sampai yang lagi ngetop.” Alina mengambil sepotong roti dan mulai mengolesnya dengan selai cokelat.

“Kusminus ada?” Galih yang sedari tadi hanya menjadi penikmat obrolan pagi, akhirnya buka suara.

“Ada, dong, Pa. Kusminus, Peterpena, Trio Diva, banyak deh, penyanyi favorit Papa.”

“Oh, pantes kamu dateng, ada Peterpena. Sejak SMA kamu penggemar garis keras Peterpena. Tapi, serius mereka undang kamu? Jangan-jangan mau menyusup.”

“Enak aja. Abang kenapa, sih? Sirik banget. Bilang aja kalau minta diajak.” Alina menjulurkan lidahnya. “Pa, harusnya kita juga adakan acara seperti itu sekaligus promosi hunian baru daerah Serpong. Mantap itu.”

“Gak perlu promosi, sudah banyak yang berebut, antri ingin membeli,” sinis Rangga.

“Beli apa? Tiket komedi putar? Antri segala,” balas Alina.

“Sudah, sudah. Ayo, lanjutkan makannya. Rangga, setelah ini, Papa mau bicara.” Rangga mengangguk seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Raut muka Rangga berubah keruh ketika berada dalam ruang kerja Galih. Matanya bergerak cepat menekuri laporan tahunan yang dikirim salah satu karyawan bagian keuangan.

“Papa minta, kamu ke Semarang hari ini. Selesaikan semuanya dengan baik.”

Rangga masih diam.

“Papa tidak sampai hati melakukannya,” imbuh Galih dengan wajah sendu.

“Jadi, ini tugas rahasia yang Reno kerjakan untuk Papa, sampai Rangga tidak bisa menghubunginya?” Rangga menatap lurus papanya meminta penjelasan.

“Papa minta maaf. Papa tidak ingin kamu bertindak gegabah dan mengambil keputusan sepihak. Maka Papa minta Reno untuk menyelidiki secara tuntas sebelum Papa memberitahukannya padamu.”

“Rangga berangkat sore nanti. Masih ada rapat direksi yang harus Rangga hadiri.”

Dari jawaban putranya, Galih paham betul bahwa Rangga sedang menahan marah. Galih maju dan menepuk bahu Rangga yang berada di atasnya. “Papa minta tolong, selesaikan tanpa yang lain tahu. Om Wira itu teman Papa SMA.”

Amarah Rangga makin tersulut. Hampir dua bulan lalu, ia mengalami peristiwa yang belum bisa diselesaikan akibat ulah teman SMA-nya. Kini, giliran papanya yang mengalami kerugian hampir mencapai 2M, juga karena kelicikan teman SMA papanya.

“Rangga gak bisa janji, Pa.”

“Rangga, ini bukan murni kesalahan Om Wira. Papa yang terlalu percaya padanya dan lengah. Papa juga ikut andil dalam kejadian ini.”

Ucapan Galih seperti tamparan untuknya. ‘Papa benar, ini bukan murni kesalahan Bayu, tapi aku juga andil karena aku yang melakukannya pada gadis itu. Sial!’

“Rangga,”

“Oke, Rangga janji akan melakukannya sebaik dan seadil mungkin.” Rangga keluar dari ruangan papanya. Tangannya merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel.

“Ren, kenapa masih belum ada laporan masuk?!”

[Maaf, Bos. Saya sudah menemukan siapa gadis itu, tapi sebaiknya saya sampaikan saat kita bertemu.]

“Oke. Saya ke Semarang sore ini. Kita ketemu nanti malam.”

Reno sudah satu bulan berada di Semarang, menjalankan tugas rahasia dari Galih, bahkan Rangga sebagai pimpinannya tidak bisa menghubungi orang kepercayaannya itu.

****

Hall Hotel Orion

Hari berganti minggu. Malam pergantian tahun sebentar lagi tiba. Beberapa kamar sudah penuh oleh tamu undangan yang sedianya akan mengisi acara, memeriahkan momen pergantian tahun. Hampir semua karyawan hotel antusias melayani tamu dan tidak sabar menunggu puncak acara malam nanti.

Berbeda dengan Maura, sejak semalam badannya demam dan perutnya mual. Ditambah pagi ini, ia melewatkan sarapan karena telat bangun. ‘Kenapa akhir-akhir ini aku sering sial, ya? Tidak ada hal yang berjalan lancar seperti biasanya. Sejak malam itu, konsentrasiku sering buyar. Hhh,’ desahnya. Kantuk menghampirinya, sampai ketukan di pintu tidak terdengar.

Rissa melongokkan kepala, sedikit takjub melihat Maura memejamkan mata di kursinya dengan tangan masih memegang pena. Pasalnya, Maura bukan tipe orang yang mudah puas sebelum hasil akhir membuktikan kesuksesan. Rissa menduga, Maura sedang memikirkan sesuatu sambil memejamkan mata.

“Bu, semua sudah onset. Asal tahun barunya tidak ganti tanggal, maka semuanya beres.” Merasa diabaikan, Rissa melangkah lebih dekat lagi.

“Ra, Maura.” Rissa mengguncang bahu Maura pelan, tetapi kepala Maura tiba-tiba terkulai karena guncangan tadi. “Astaga, Maura! Ra …!”

Rissa meraih ponsel dalam sakunya dan segera menghubungi Yatno, sopir kantor. Tak lama, Yatno datang dengan membawa kursi roda yang tersedia di lobi.

“Bantu saya memindahkan Ibu ke kursi, Pak.”

Yatno mengangguk dan segera melaksanakan perintah Rissa. Dengan cekatan, Rissa menyelimuti tubuh Maura dan memakaikan topi agar tidak timbul spekulasi negatif, mengingat Maura adalah penanggungjawab acara malam ini.

“Pak, pastikan lift kosong.” Lagi-lagi Yatno mengangguk paham.

Sepuluh menit kemudian, mereka bertiga sudah ada dalam mobil.

“Tolong antarkan ke Rumah Sakit Sehati, Pak.” Rissa memeluk Maura sambil sesekali mengusap peluh yang terus mengalir di dahi Maura.

Begitu sampai di depan IGD, Rissa segera memanggil bantuan sambil tangannya sibuk menekan beberapa angka. “Kak, tolong aku.”

[Kamu di mana? Kenapa?] Suara bariton terdengar panik di seberang sana.

“Aku ada di bawah, IGD. Cepetan ke sini.”

“Keluarga pasien yang baru datang mana, ya?” Seorang suster berteriak, sepertinya mencari wali pasien baru.

“Kak, aku tunggu.” Rissa memutus sambungan dan segera berlari menemui suster yang sedang kebingungan mencari orang.

“Sus, maaf. Saya keluarga pasien yang baru masuk.”

“Silakan ikut saya, dokter ingin bicara.”

Rissa mengikuti langkah cepat suster di depannya. Sampai di sebuah bilik, Rissa melihat Maura sedang diperiksa oleh dokter.

“Maura kenapa, Dok?”

“Anda siapanya?” Wanita cantik dengan jas putih berpaling menatap Rissa.

“Saya sekretarisnya.”

“Sejak kapan pasien mengalami demam?”

“Saya kurang tahu pasti, tapi beberapa hari lalu Maura sempat mengeluh mudah lelah, pening, mual dan kadang demam.”

Dokter itu manggut-manggut mengerti. “Baik, kalau begitu kita kirim sampel darah ke laborat dulu. Saya curiga pasien menderita typhoid (tifus) dan dehidrasi.”

“Baik, Dok. Silakan lakukan semua yang dirasa perlu.”

Tirai kembali tersibak. “Rissa?”

“Dokter Evan.” Dokter muda tadi sedikit terkejut. “Kenal?”

Evan meraih bahu Rissa dalam pelukan. “Dia adik saya. Ada apa dengan temannya?”

“Saya curiga pasien terkena typhoid, jadi saya sarankan untuk cek lab.”

“Oke, lakukan saja.”

Dokter dan suster yang memeriksa Maura sudah menghilang di balik tirai, tersisa Rissa, Evan dan Maura yang masih tak sadarkan diri.

“Kak, apa ini berbahaya?”

“Kita tunggu saja hasil lab keluar. Kenapa bisa begini, sih?” Evan menatap Rissa tajam.

“Kamu tahu sendiri gimana Maura kalau sudah kerja, mungkin dia sering melewatkan jam makan.” Rissa duduk di samping ranjang Maura seraya menggenggam tangannya.

“Kamu sebagai sekretaris sekaligus teman dekatnya, kenapa bisa ikutan teledor?”

Rissa menoleh ke arah Evan. “Kak, aku sekretarisnya, bukan ibunya. Kamu sendiri, kenapa gak segera menyatakan perasaan padanya? Kalau ada kamu di sampingnya, tugasku jadi lebih ringan,” sungutnya marah.

“Engh ….” Maura mengerang sambil memegang kepalanya.

“Ra, kamu sudah sadar?”

“Kita di mana?”

“Rumah Sakit. Kamu pingsan, Ra.”

Maura berusaha untuk duduk dengan bantuan Rissa. “Aku pingsan?”

“Halo, Ra!” sapa Evan mengagetkan.

“Kak,” balasnya canggung.

“Kalian sudah mirip ABG yang ketahuan mencuri ciuman di halaman sekolah. Bersikaplah sewajarnya.”

Maura melebarkan matanya mendengar ocehan Rissa. Teringat tahun lalu, ketika Rissa merayakan ulang tahunnya hanya bertiga dengan Evan. Kemudian, pria tampan itu menyatakan cintanya pada Maura tanpa Rissa tahu dan belum dijawabnya sampai sekarang.

“Kenapa pipimu makin merona, Ra? Kamu demam lagi?” Rissa menyentuh dahi Maura. “Nggak, tuh.”

“Permisi!” Dokter tadi sudah kembali dengan selembar kertas di tangannya. “Sepertinya Anda harus dirawat beberapa hari, hasil pemeriksaan Widal Anda sangat tinggi dan juga Anda mengalami dehidrasi.”

“Ya, Dok. Saya setuju.” Maura terpaksa setuju untuk dirawat setelah melihat Rissa sedang melotot padanya.

“Ini kado akhir tahun dariku.” Rissa terkekeh. “Aku tinggal mengurus kamar dulu. Kak Evan akan menemanimu.”

Belum sempat Maura mengajukan keberatan, Rissa sudah menghilang di balik tirai.

“Ra, bagaimana kabarmu?” tanya Evan bego.

“Sakit, Kak,” sahut Maura seraya mengangkat tangan yang terpasang infus.

Mereka berdua tertawa canggung karena pertanyaan Evan yang aneh dan jawaban spontan Maura.

“Kak, maaf. Aku .…”

“Tidak perlu dibahas. Kita fokus pada kesembuhanmu dulu.”

Tiba-tiba saja, Maura menggeleng panik sembari menutup mulutnya. Namun, terlambat, Maura keburu menumpahkan isi perutnya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status