Share

Bab 3

Dua tahun kemudian, Panti Asuhan Dahlia

"Tidak.. Luna takut pa... jangan tinggalkan Luna..." keringat mengucur deras dari dahi perempuan itu. "Papa..!" Suaranya melambat di sertai air mata.

"Hei Gadis bodoh! bangun. Dasar pemalas!" Joyy, anak yang seumuran dengan Luna memukul meja yang di jadikan alas tidur oleh sang gadis. Luna tertidur setelah letih seharian membersihkan panti karena salah seorang pejabat akan datang ke panti itu dua hari lagi.

Luna mengucek matanya yang terasa berat dan menghapus air yang mengalir di pipi. Mimpi itu lagi, mimpi menakutkan yang selama dua tahun ini tak pernah berhenti mendatanginya. Rasa sedih, takut, dan menyesal, bekas kejadian itu tidak bisa hilang. Ketakutan dan melarikan diri. Pengecut, itulah sosok Luna dalam kepalanya. Tapi apa yang bisa di lakukan gadis diusianya waktu itu? .

"Hei apa yang kau lihat pemalas! Kerjakan bagianmu cepat!"

"Aku sudah menyelesaikannya"

"Oh ya?" Joyy menginjak sepatu bekas genangan pada lantai yang seharian sudah di pel oleh Luna.

"Hei, apa yang kau lakukan? Hentikan!" Luna mendorong anak itu hingga terjatuh. Teman-temannya yang sedari tadi melihat tertawa terpingkal-pingkal. Ternyata anak itu tidak sendirian. Dia menyuruh teman-temannya menunggu di luar tepat di depan pintu. Joyy menatap teman-temannya, segera mereka mendekati dan membantu joyy berdiri.

"Awas kau ya!" Luna menatap kepergian anak-anak nakal itu. Sejak kedatangan Luna ke panti asuhan Dahlia, dia selalu saja menjadi sosok yang di jahili karena berbeda dari yang lain. Sejak kejadian dua tahun lalu, Luna berubah menjadi pendiam dan tidak memiliki teman. Namun gadis itu selalu melawan siapapun yang berusaha menyakitinya walaupun kadang berakhir dengan dirinya yang luka- luka atau basah kuyup. Pernah satu kali Luna di jahili oleh beberapa wanita yang usianya terpaut sekitar satu atau dua tahun dari usianya. Salah satu dari mereka adalah penghuni panti sama halnya seperti dirinya. Saat itu Joyy menyelamatkan Luna. Ia berkata bahwa "yang boleh menjahili Luna hanya dia seorang"

"Huhhh. Aku harus membersihkan lantai ini lagi." Luna menjempitkan rambut panjangnya ke belakang telinga dan mengambil kain pel yang terletak di samping meja tempatnya tertidur tadi.

"Hei. Bagaimana kau bisa mendekatinya kalau di dorong begitu saja kau terjatuh." Luna masih bisa mendengar suara itu tetapi dia memilih untuk tidak mempedulikannya.

Panti asuhanan saat ini sangat ramai, penjagaan di perketat karena Menteri Sosial hari ini akan mengunjunhi pamti asuhan tersebut dalam rangka hari anak sedunia. Dinding-dinding panti yang awalnya lusuh dengan cat mengelupas di beberapa tempat, sekarang tampak mentereng dengan warna cerah. Beberapa keramik panti yang pecah di ganti. Seprei tempat tidur anak-anak panti juga di tukar dengan seprei yang baru. Di depan pekarangan sebuah panggung kecil berdiri dengan kursi-kursi yang di susun berjejer rapi.

Suara sirine mobil polisi terdengar meraung-raung menandakan kendaraan pejabat penting sudah berada dekat dari panti. Suara hiruk pikuk masyarakat juga terdengar. Semua orang sibuk dan tidak peduli dengan yang lain yang tidak ada hubungannya dengan acara yang akan di selenggarakan hari ini.

Hanya satu orang yang tidak memikirkan atau tertarik akan acara ini sedikitpun, dia Luna Hermawan, gadis itu memilih menyendiri di ruangan TV panti asuhan. Semua orang hari ini sibuk maka tidak akan ada prang lain di ruangan itu selain dirinya. Memilih menonton TV dari pada menikmati sandiwara besar yang di mainkan orang-orang di luar. Para pengurus panti yang terlihat senang padahal mereka mengeluh karena terpaksa menganggarkan dana untuk perbaikan panti, yang siapa tahu mereka lebih rela memotongnya kedalam saku mereka, biktinya sumbangan di sana sini sudah sangat banyak untuk panti ini namun untuk kasur saja mereka masih memakai kasur kapuk yang sudah bolong-bolong, baru hari ini kasur dan seprei mereka di ganti. Masyarakat yang terlihat antusias, padahal mereka mengeluh karena jalanan yang di tutup mengakibatkan kemacetan. Anak-anak yang tampak bersemangat padahal mereka sangat mengantuk karena di paksa untuk membersihkan sampai tengah malam. Dunia ini penuh dengan kepalsuan.

Cerita drama korea yang sedang di suguhkan sebuah chanel TV di depan hidungnya membuat gadis itu muak. Luna mengambil remote yang ada di dekat TV dan mengganti chanelnya. Siaran bola, benar-benar membosankan memperhatikan bola yang menggelinding dari kaki ke kaki. Chanel selanjutnya tidak menarik, Luna merubah vhanelnya dengan cepat. Sesuatu membuat jantungnya tak karuan. Luna membalik mundur ke chanel TV sebelmunya.

"Kami sudah mendapat pelakunya dan akan di proses sesuai hukum."

Tangan Luna mengepal melihat siapa yang berbicara dalam TV tersebut. Kotak biru di bagian bawah layar TV menuliskan Brigjen pol. Reza Isnandar. Wajah yang paling ia benci di dunia ini.

"Bagaimana dengan pistol yang di temukan di tkp pak?" Tanya seorang wartawan di TV.

"Tentu kami akan uji forensik terlebih dahulu. Setelah hasilnya keluar baru bisa kami sampaikan ke publik."

"Menurut salah satu saksi pelakunya adalah anggota ke polisian pak."

"Kita tunggu saja proses hukum berlanjut. Siapapun tidak bisa lepas dari hukum kalau prang tersebut benar-benar bersalah."

"Penghianat. Pembunuh!" Menghujat kotak persegi itu memang tidak berguna. Tak masalah jika demikian dapat menghilangkan sedikit sakit hatinya.

"Apa yang kau lakukan disini, bocah?" Lelaki setengah abad memegang kepala Luna hingga gadis otu mendongak pada sumber suara. Luna melepaskan tangan yang dengan seenaknya memegang kepalanya itu. "Ha. Kau suka berita kriminal juga? Kasus ini cukup menggemparkan belakangan ini. Kepolisian sduah bekerja keras." Pria tersebut duduk di kursi samping Luna.

"Kenapa?"

"Bekerja keras? Menurut anda begitu? Semua itu tak lebih dari sandiwara ku pikir. Bukankah semua orang seperti itu?"

"Benarkah? Menurutmu begitu? aku penasaran, apa menurutmu polisi itu berbohong?"

Luna mengangkat bahunya, " setiap orang punya potensi menjadi seorang penghianat bukan?"

"Haaa. Jika kau berada di posisi pria itu apa yang akan kau lakukan? Anggap saja yang kau katakan benar, bahwa mereka bermaksud membebaskan tersangka, dan mungkin mereka berada di bawah tekanan orang yang lebih berkuasa."

"Aku tidak tahu. Karena aku bukan mereka."

"Siapa namamu nak?"

"Luna" mata gadis itu tidak lepas dari kotak persegi yang menanmpilkan sosok seorang Reza Isnandar. "Luna Hermawan"

"Kau sangat unik. Aku berharap kau mau menjadi anak angkatku. Mungkin kau bisa mengembangkan pemikiran kritismu.

Luna memandang lelaki itu lama. Melihat lelaki itu mengulurkan tangannya. Tangan yang menawarkan masa depan untuknya. Dia tak mau terjebak disini. Terjebak dalam mimpi-mimpi suram yang mana dia yang mana dia tidak berbuat apa-apa pada mimpi itu. Maka dari itu tanpa fikir panjang lagi Luna menarik tangan yang menawarkan rasa aman padanya.

"Mulai hari ini kau tinggalkan nama itu nak. Tinggalkan semua kuka yang pernah kau rasakan di negara ini.mari kita menyongsong masa depan yang lebih baik."

Luna menyentuh kalung dengan bandul huruf L di lehernya.

"Panggil saya Laluna Aurora" Luna. Nama itu tak akan pernah ia lepaskan. Nama yang mengingatkan betapa menyakitkannya malam itu. Nama yang menyadarkannya kemana tujuannya.Luna nama terakhir yang di sebut ayah untuk dirinya.

Mario tersenyum, ia tidak menyangka gadis itu akan langsung setuju dan menawarkan nama baru padanya. "baiklah Laluna"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status