Share

LUNA
LUNA
Penulis: Khy

I

"Du..du..du.." senandung kecil dari bibir seseorang gadis muda mengikuti irama lagu yang sering di putar setiap pagi di sekolahnya. Dia tidak begitu suka dengan lagu mars sekolahnya itu namun kebiasaan mendengarnya setiap pagi membuat gadis muda ini tanpa sengaja menyandungkannya. Ia tidak begitu peduli dengan lagu yang sedang ia dendangkan. Apapun lagu yang melintas di kepalanya saat ini akan ia nyanyikan untuk menyambut hari karena suasana hatinya saat ini dalam keadaan bahagia.

Dia Luna Hermawan, empat belas tahun seorang murid kelas dua sekolah menengah pertama. Namun tubuhnya lebih dulu dewasa dari pada umurnya. Di umur yang baru empat belas tahun, umur yang baru menginjak masa pubertas, umur yang baru dua puluh empat kali merasakan apa yang namanya menstruasi,di umur segitu tubuhnya sudah tumbuh tinggi dengan kaki yang jenjang, garis rahang yang ramping dan dagunya berbelah seperti buah apel. 

Luna memasuki pertkarangan kantor polisi tempat ayahnya bekerja masih dengan senandung yang tak kunjung henti. Sekolah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantor polisi membuatnya selalu ke kantor itu saat pulang sekolah menemui sang ayah yang super sibuk. Dia bangga akan ayahnya. Namun terkadang kesal karena ayahnya terlalu sibuk dengan kasus-kasus sehingga tidak memperdulikan dirinya.

"Wah... juara lagi ya, Lun?" Seorang polisi di meja administrasi menyapa luna yang masuk tanpa canggung. 

"iya om. Hehe..." Luna tersenyum pada polisi muda itu lalu berlari keruangan ayahnya ingin memamerkan tropi yang ia peroleh, namun tidak ada seorangpun dalam ruangan tersebut.

"Luna" seorang polisi lain memanggil dari pintu yang terbuka lebar, setelah memasukkan pistol kedalam sarung di pinggangnya. Memandang gemas ke pada gadis mida yang menoleh ke kiri dan ke kanan sehingga rambut ekor kudanya yang di kuncir bergerak mengikuti arah pandang gadis itu.

"Oh om Is, om lihat papa nggak?" Setengah berlari Luna mendekati Isnandar.

"papamu sedang di ruangan pimpinan, kamu mau om temani menunggu papa?"

"Hmm..." kepala gadis itu mengangguk setuju. Dia gadis yang suka bicara, jadi agak tidak menyenangkan rasanya jika menunggu dan sendirian. Isnandar mengiring gadis itu pada sebuah sofa lusuh di dalam ruangan.

"om habis menangkap pejahat ya?" Lelaki itu mengangguk.

"sama papa juga" Ia mengangguk sekali lagi.

"kereeennn!" Luna memandang lelaki di hadapannya berbinar.

"Luna mau jadi polisi juga kalau sudah dewasa?"

"polisi itu keren om, tapi Luna nggak mau jadi polisi soalnya papa selalu saja sibuk nggak ada waktu untuk Luna. Luna mau jadi dokter aja agar bisa memastikan papa sehat. Kalau papa pulang luka-luka Luna bisa ngobatin. Isnandar mengacak rambut gadis itu dengan tersenyum hangat. 

"Eh.. om is itu papa."

Luna menghampiri dan memeluk ayahnya. Tingginya sekarang adalah sedada sang ayah. Cukup tinggi untuk ukuran anak berumur empat belas tahun.

"Hari yang berat, heh?" Isnandar menepuk bahu Hermawan dan meninggalkan ayah dan anak itu. Memberi ruang privasi pada keduanya.

"Pa, lihat Luna juara lagi" Luna memamerka tropinya pada hermawan dengan membusungkan dada.

"Wah.. anak papa pintar sekali." Hermawan mencium perempuan satu-satunya dan memeluk gadis itu menuntun ke meja kerjanya. Luna seorang gadis piatu. Ibunya meninggal seja ia lahir, karena itu dia tidak tumbuh menjadi gadis yang manja. Tinggal dengan ayah yang sibuk membuat Luna harus bisa melakukan pekerjaan rumah tangga.

Hermawan mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah kotak perhiasan berwarna donker yang terdapat tulisan merk toko dengan tinta berwarna emas di balut dengan kain pita warna emas pula. Luna denga antusias mengambil kotak itu namun kesulitan membuka ikatan pitanya. Dengan sigap hermawan mengambil kotak tersebut lalu membukanya. Kotak itu berisi sebuah kalung emas dengan bandul huruf L dengan manik permata. Hermawan memakaikan kalun tersebut ke putrinya 

"selamat ulang tahun ke empat belas sayang."

"Papa ingat ulang tahun Luna?"

"Tentu papa ingat"

"Yes.. kalau begitu sesuai janji papa, hari ini kita akan ke taman mini kan, pa?"

"Luna, hari ini papa sangat sibuk sayang. Ada kasus penting yang harus papa kerjakan. Maafkan papa, hemm?" Hermawan memasang wajah bersalah kepada Luna. 

"kamu memaafkan papa kan, Lun?"

"kan masih ada Om polisi yang lain pa" protes bila dengan bibir yang di kerucutkan.

Ponsel hermawan di atas meja bergetar menampilkan nama Prof. Ilyas. Hermawan mengangkat ponselnya dan mundur membelakangi gadis itu.

"Hallo profesor Ilyas"

"...."

"Baik. Mohon anda untuk bersembunyi dulu. Saya akan mengabari tempat pertemuan kita." Herman mematikan telponnya dan tampak panik.

"Luna sayang." Hermawan berbalik dan berusaha membujuk putrinya. Luna memandangi ayahnya penasaran sekaligus marah. 

"Luna benci papa."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status