Meisya terdiam. Ia tahu Fathi belum sepenuhnya percaya padanya, tapi satu celah sudah terbuka. Ia berdiri perlahan, merapikan tasnya.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak terjebak dalam permainan yang menyakitkan. Itu saja.” Ia melangkah pergi, tapi sebelum mencapai pintu, ia berkata tanpa menoleh, “Kau orang baik, Fathi. Jangan sampai hatimu hancur oleh wanita yang bahkan tak tahu siapa yang benar-benar mencintainya.”"Dea sangat pintar memanfaatkan kelembutannya dan menghipnotis semua orang untuk berempati lalu jatuh cinta padanya tanpa sadar."Setelah Meisya pergi, Fathi membuka tirai jendela di belakangnya lalu duduk di kursi mewah mahoni yang bisa berputar ke jendela. Kedua matanya menatap jendela besar yang menghadap taman belakang mansionnya."Tidak terjebak permainan?""Menghipnotis?"Di kejauhan, tampak Dea sedang duduk di ayunan, mengenakan dress hangat, tangannya m
Sang nenek menghela napas berat. “Kalau begitu… jangan gegabah. Jika benar dia di bawah perlindungan keluarga Al-Fareez, maka satu langkah salah bisa menjadi perang antar pengaruh.”"Kamu mengerti hal ini, Yama?"“Aku tak akan menyerang,” ucap Yama. “Tapi aku juga tak akan tinggal diam.”Sang nenek diam beberapa saat, lalu akhirnya berkata, “Pastikan Dea tidak terprovokasi untuk bicara ke media. Kalau publik tahu dia kabur dari istana, apalagi dalam keadaan hamil… citra kerajaan bisa hancur. Dan itu akan jadi akhir bagimu juga.”Yama menatap lurus ke depan, pikirannya berkecamuk antara strategi dan rasa. "Bagaimana aku bisa memastikan semua itu, sementara aku sendiri tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengannya, Nek."“Tapi... Aku tak peduli kalau aku harus kehilangan semuanya,” katanya akhirnya. “Selama aku tidak
“Aku akan menjaga janji itu, Dea,” bisiknya lembut. “Aku tidak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi… bahkan jika itu Yama sekalipun.”Dan di luar jendela, malam makin larut. Dunia menjadi sunyi. Tapi badai… baru saja dimulai.***Di kamar rawat VIP rumah sakit swasta paling mewah di kota, aroma bunga lili menguar dari vas kristal di meja sudut ruangan. Meisya berbaring di ranjang putih, tampak pucat tapi tetap berdandan rapi. Rambutnya yang biasanya tergerai kini dikepang manis, dan selimut tebal menutupi tubuh mungilnya. Ia tampak lemah, tapi matanya tak berhenti melirik ke arah pintu, menunggu kedatangan seseorang yang telah ia tunggu sejak pagi.Begitu pintu terbuka dan Yama masuk, Meisya langsung memasang ekspresi paling menyedihkan yang bisa ia tampilkan."Yama…" panggilnya lirih, serak-serak dibuat-buat.Y
Bob yang duduk di kursi depan menoleh, wajahnya masih terlihat tegang. “Tuan… Anda yakin?”Bob khawatir tindakan Yama yang mungkin akan berlebihan, memandang masih banyak kerjasama yang mereka jalani bersama keluarga Al-Fareez."Fathi Al-Fareez," ujar Yama pelan. "Putra satu-satunya dari konglomerat terbesar di negara ini. Pemilik jaringan pelabuhan, penguasa media, dan donatur utama sektor perbankan. Dan dia yang membawa kabur Dea."Yama mengepalkan kedua tangannya erat-erat dengan mata memerah. Mengapa semua pria yang berada di sisinya adalah penguasa?Wanita itu semakin ingin dia perjuangkan dan tidak ada yang tahu hal itu.Bob tak menjawab. Dia tahu, bahkan pengaruh Yama sebagai pewaris takhta Negara Matahari tak bisa sepenuhnya menyentuh keluarga itu tanpa risiko politik dan ekonomi yang besar."Tuan, keluarga Al-Fareez..."Yama melemparkan tatapan tajam kepada Bob lalu menyela denga
Pintu kayu tua terpental terbuka, menampilkan sosok Fathi yang berdiri garang, wajahnya dipenuhi kemarahan. Di belakangnya, dua pria berbadan besar masuk dengan langkah cepat."Yama?" Dea berusaha melihat siapa yang datang dengan memicingkan matanya.“Minggir dari dia, atau kalian akan menyesal datang ke dunia ini!” suara Fathi membahana, penuh ancaman."Fathi?" Dea masih mencoba menebak.Salah satu pria mencoba menyerang, tapi Fathi menghantamnya tepat di rahang dengan tinju keras. Lelaki itu langsung terkapar ke lantai. Dua lainnya mencoba melawan, namun kedua bawahan Fathi sudah lebih dulu menahan mereka dengan cekatan.Perkelahian sengit terjadi, tapi Fathi tak kehilangan fokus. Ia menghampiri Dea dan memutuskan ikatannya dengan pisau kecil dari sakunya."Fathi... kamu datang!"“Dea... kau baik-baik saja?” tanyanya dengan suara gemetar, namun tangannya cepat memeluk
Bob mendekat hati-hati dari belakang. “Tuan, kami sudah menyisir pelabuhan dan hotel sekitar. Tak ada tanda-tanda Dea maupun pria yang bersamanya.”Yama berbalik tajam, wajahnya penuh amarah. “Kau! Kau yang membawaku ke titik salah! Kau yang mempercayai informan itu tanpa mengecek dua kali!”Bob terpukul oleh tuduhan itu, tapi ia tak membantah. “Saya juga curiga, Tuan. Saya akan buktikan bahwa ini bukan kelalaian saya.”Tanpa menunggu izin, Bob langsung menghubungi orang-orang kepercayaannya. Beberapa menit kemudian, dua informan yang sebelumnya memberi titik koordinat palsu diseret masuk ke ruangan kecil dekat dermaga—di mana ombak menghantam tiang-tiang kayu dengan ritme menghukum.Yama menatap mereka seperti singa lapar.“Berikan aku satu alasan untuk tidak melempar kalian ke tengah laut malam ini,” desis Yama, penuh ancama