Bab 1. PEMBANTAIAN DI KAMPUNG WARU
“Lari, Jaka! Jangan lihat ke belakang!” suara Nyai Padmi seorang wanita berusia tiga puluh tahunan yang masih tampak cantik, pecah di antara riuh jeritan warga dan gemeretak rumah yang dilalap api. Namun kaki Jaka Tole membeku. Di hadapannya, ayahnya atau Ki Rayaksa berlutut dengan kedua tangan terikat, wajahnya berlumuran darah, tapi matanya tetap menatap tajam ke arah Warok Suromenggolo yang berdiri tegak seperti bayangan maut. Sementara ibunya disekap di samping ayahnya, seperti mangsa yang siap dihabisi kapan saja. Pendekar golongan hitam itu mengayunkan golok panjangnya, mata baja senjata itu memantulkan nyala api yang menari liar. “Kampung ini berani menolak upetiku,” desisnya dingin. “Maka biarlah semua jadi milikku, dan kalian mati sebagai contoh.” Nyai Padmi menatap Warok Suromenggolo, tubuhnya bergetar namun sorot matanya tak gentar. “Kau boleh bunuh kami, Suromenggolo… tapi jangan sentuh anakku.” Tawa pendekar itu meledak, keras dan memekakkan telinga. Goloknya diangkat tinggi. Malam seketika terasa kian pekat, seakan seluruh dunia menahan napas menunggu detik eksekusi itu tiba. “Cuih! Semua warga kampung ini harus mati tak berbekas!” ucap Warok, matanya menyalang. “Dan, semua dimulai dari kepala kalian berdua!” Golok itu mengkilat diterpa cahaya api yang hampir membakar seluruh rumah, sementara Jaka Tole masih terpaku. “Romo… Simbok…” “Jaka! Lari…!” ucap ayahnya serak. Cras! Jantung Jaka Tole seketika berhenti, tepat saat kepala ayahnya menggelinding ketika golok Warok Suromenggolo dengan cepat menebasnya tanpa ampun. “Nak! Pergi dari sini…” suara ibunya parau. Entah Jaka Tole mendapat energi dari mana, namun sepasang kakinya yang tadi membeku tiba-tiba beranjak keluar dari rumah itu, menuju pintu belakang yang telah hancur digasak golok-golok para pendekar golongan hitam yang menyatroni kampung mereka. “Kejar keparat itu! Jangan sampai ada yang lolos dari kampung ini. Habisi semua!” Suara Warok Suromenggolo menggelegar, diikuti kegesitan bawahannya yang langsung mengejar Jaka Tole. “Simbok… Romo…” isak anak kecil itu dengan kaki telanjang berlari ke arah hutan yang tak jauh dari kampung Waru, lebih tepatnya di sisi timur kampung. Sementara Joko berlari tak tentu arah, matanya berkabut sebab air mata yang sedari tadi tumpah.Ayah ibunya mati, dan dia tak bisa melakukan apa-apa selain melihat proses kematian mereka?!
“Aku anak tak berguna!”
Masih sambil berlari, Jaka Tole terisak dan sesekali tersandung kayu dari puing-puing rumah yang juga hancur dilalap api. “Paman!” Di tengah kekacauan itu, Jaka Tole segera mengarah ke rumah yang sangat ia kenal, sekaligus berusaha hilang dari orang-orang yang mengejarnya, yang letaknya di pinggir kampung dekat dengan hutan. Namun, seketika kakinya lemas. Ia melihat pamannya, sosok yang paling dihormati dan dianggap pelindung kampung, tewas mengenaskan. Tubuhnya ditusuk dan ditancapkan tepat di depan rumahnya. Sepupu-sepupunya bernasib sama. Bahkan, salah satu jasad saudaranya yang sudah tanpa kepala dibiarkan teronggok di samping jasad pamannya. Ia terduduk, air mata kembali mengalir di pelupuknya. Orang yang ia kira bisa melindunginya, mati lebih mengenaskan! “Apa yang terjadi—”“Keparat, jangan lari dari kami!”
Jaka Tole menoleh, tiba-tiba tubuhnya mendapatkan energi penuh yang entah datang dari mana ketika melihat para pengejarnya kini ada di belakangnya. Di kepalanya, dendam dan amarah yang mengepul di ujung minta ditumpahkan keluar. Tangannya mengepal, siap mati demi membalaskan dendam atas apa yang ia lihat! “Tapi… mati sekarang? Itu percuma…” Jaka Tole paham, tak sampai sepuluh detik, nyawanya akan melayang di tangan para pendekar golongan hitam itu. Nyawanya akan terbuang percuma, dan dendamnya tidak terbalas sempurna. Matanya memerah, dadanya sesak. Kematian demi kematian keluarganya tidak boleh sia-sia. Jaka Tole mengumpulkan kekuatan di kakinya, lalu ia berlari sekuat tenaga keluar kampung, melewati gapura yang hanya tinggal rangka. Shush! Sebuah anak panah dengan bising melewati samping kupingnya. “Tidak! Aku harus membalaskan dendam Romo dan Simbok. Aku harus tetap hidup!” Jaka Tole berlari sekuat tenaga sampai kakinya mati rasa. Ia belum makan sejak sore, dan tenaganya kini tak tersisa lagi di tubuhnya. Hanya satu cara dia untuk melarikan diri dari gerombolan para Warok dari dunia hitam, yaitu masuk ke hutan Larangan. Padahal, sebetulnya penduduk kampung Waru sangat takut untuk memasuki hutan Larangan, akan tetapi Jaka Tole tidak memperdulikan larangan orang tua serta penatua kampung yang pernah menasehatinya. Hanya satu tempat yang bisa menyelamatkan nyawanya, dari kejaran para Warok dunia hitam ini. Di tengah gelap malam dan siulan jangkrik serta bunyi gemerisik alang-alang yang ia lewati, Jaka Tole berlari tak tentu arah. Kobaran api yang muncul dari kampungnya kian mengecil, namun para pendekar golongan hitam itu terus mengejarnya. Panah-panah kembali melesat, diselingi teriakan-teriakan yang menggema dan membuat Jaka Tole ketakutan. “Kancil berengsek! Mati kau di tangan kami!” Tiba-tiba, mata Jaka Tole kabur, ia tak lagi bisa membedakan cahaya atau kelap-kelip kunang-kunang yang sedari tadi jadi pengarah jalannya. “Sial! Sial! Aku tak boleh mati!” Jaka Tole tetap berlari, menahan rasa sakit tubuhnya yang semakin lama tak lagi dapat ia rasakan denyutnya. Namun, langkah Jaka Tole kian gontai, dunia di matanya seketika menghitam. “Aku tak boleh mati… aku belum boleh mati…” Bruk! Ia jatuh tersungkur di tanah becek. Derap kaki puluhan anak buah Warok Suromenggolo menggetarkan isi hutan, demi mengejar seorang anak kecil yang lemah untuk menghilangkan saksi hidup atas apa yang mereka lakukan di kampung Waru. Akan tetapi gelapnya malam, ditambah dengan rimbunnya hutan membuat pandangan anak buah Warok Suromenggolo tidak bisa menemukan Jaka Tole yang jatuh di tanah yang becek. Dengan tubuh dipenuhi lumpur serta tertutup rumput ilalang setinggi satu meter, Jaka Tole terbaring dalam diam. Langkah kaki anak buah Warok Suromenggolo hampir saja menginjak tubuh Jaka Tole yang berbaring di bawah rumput ilalang. Sepertinya langit masih melindunginya, karena hanya berjarak dua kilan dari tubuhnya, kaki kekar para pendekar berjalan di dekatnya. Jaka Tole masih tetap berbaring diatas lumpur, menunggu situasi benar-benar aman. Hingga malam semakin larut dan suara teriakan serta langkah kaki orang yang mengejarnya menghilang. Suara serangga malam menghilang, ketika dari langit turun rintik hujan membasahi bumi. Dengan tubuh penuh lumpur, perlahan Jaka Tole mulai berdiri dan memperhatikan keadaan sekelilingnya. “Sepertinya orang-orang yang mengejarku sudah pergi, sebaiknya saya segera menjauh dari tempat ini,” gumam Jaka Tole yang segera berlari semakin masuk kedalam hutan. Gelapnya malam, serta lebatnya pepohonan serta hujan yang mulai turun dengan sangat deras, tidak menjadi halangan bagi anak kecil ini untuk terus berlari, hingga akhirnya. Wushhh…. “Wuaaa…..!” Kaki Jaka Tole tidak menginjak tanah, dan tubuhnya jatuh dengan cepat diatas jurang, jeritan penuh dengan ketakutan menggema di dalam hutan ketika tubuh Jaka Tole melayang di atas jurang yang dalamnya tidak diketahui. ***Bab 7. JERITAN KEMATIAN WAROK BUTO KOLO Krak…! Sekali lagi terdengar suara tulang patah, suara ini menyerupai suara bambu yang ditekuk dengan paksa dan begitu nyaring. Saking nyaringnya suara tulang patah ini, membuat telinga siapa saja yang mendengarnya langsung bergidik ngeri. “Argh… sialan kamu kampret… ! “ maki Warok Buto Kolo dengan wajah dipenuhi ekspresi kesakitan bercampur dengan kemarahan. Mendengar makian Warok Buto Kolo, ekspresi wajah Jaka Tole tetap datar seakan makian pentolan perampok itu hanya angin lalu. Setelah menghancurkan kaki Warok Buto Kolo, Jaka Tole melepaskan pegangan pada tangan Warok itu. Bruk… Tubuh Warok Buto Kolo terjatuh di lantai ubin batu, begitu Jaka Tole melepaskan cengkraman pada tangannya. Tatapan mata Jaka Tole langsung berubah sangat tajam, ketika mendengar makian pentolan perampok ini. Dengan santainya pemuda berpenampilan aneh ini, segera mengangkat kakin
Bab 6. MENGHUKUM WAROK BUTO KOLO “Kamu ingin tahu siapa saya? Sebaiknya kamu tanyakan kepada Malaikat maut yang akan menjemputmu,” kata Jaka Tole dengan nada bercanda sambil tersenyum mengejek. “Kurang ajar, kalian tangkap orang gila ini dan siksa dia untuk mengaku siapa dia.” “Baik ketua…!” teriak lima orang berbadan kekar yang menjadi komandan pasukan gerombolan perampok ini. Jaka Tole yang melihat ada lima orang berbadan kekar, menghampirinya tampak cuek, ekspresi wajahnya sama sekali tidak terlihat takut maupun panik. “Kenapa hanya lima yang minta dikirim menemui Malaikat maut? Sebaiknya kalian semua menangkapku kalau bisa, he he he he….” ejek Jaka Tole sambil menyeringai dengan ekspresi menghina. “Brengsek, dasar kecoa. Terima ini…!” teriak salah satu warok sambil menyabetkan golok besar di tangannya ke arah Jaka Tole. Melihat ada golok besar berkelebat kearahnya, ekspresi wajah Jaka Tole tidak berubah. Mana mungki
Bab 5. MENYATRONI MARKAS PERAMPOK Tidak berapa lama pria misterius itu sudah kembali dengan dua ekor ayam hutan yang sudah dibersihkan bulu dan isinya dengan air hujan. “Siapa itu?!” kata Nimas Ayunina saat melihat bayangan orang memasuki gua tempat dia berada. Sepertinya dia belum sadar, kalau dia saat ini sedang berada didalam gua milik orang lain. “Ini saya,” kata pria misterius itu sambil melangkah masuk kebagian dalam gua. Rasa panik Nimas Ayunina seketika menghilang ketika mendengar suara dan penampilan orang yang baru saja masuk kedalam gua dengan dua ekor ayam hutan di tangannya. Sekarang dia baru tersadar, kalau sedari tadi pria misterius itu belum masuk ke dalam gua. Kemudian Nimas Ayunina melihat pria yang penampilannya sangat aneh ini mulai menusuk kedua ayam hutan itu dengan ranting, kemudian menggantungnya di atas api unggun. Kriuk… kriuk… Tak lama kemudian bau harum dari ayam bakar diatas api unggun mulai tercium seb
Bab 4. PRIA MISTERIUS Ekspresi ketakutan tidak bisa disembunyikan dari wajah Nimas Ayunina, siapa orangnya yang tidak ketakutan, jika saat sedang berlari dari kejaran para perampok tiba-tiba menabrak sesosok tubuh yang mempunyai tampilan kacau.*** “Wanita? Bagaimana bisa, didalam hutan yang sangat lebat seperti ini ada wanita di dalam hutan,” kata manusia yang baru saja ditabrak Nimas Ayunina. Meskipun suara manusia yang ditabraknya tidak terlalu keras, akan tetapi Nimas Ayunina masih bisa mendengarnya. Ternyata manusia yang ditabraknya adalah seorang manusia dan dari nada suaranya terlihat masih muda. Hal ini tentu saja membuatnya semakin ketakutan,siapa yang tidak takut, saat dia sedang melarikan diri dari para perampok, kini dia malah bertemu dengan orang yang tidak jelas jati dirinya. “Kenapa kamu berada di dalam hutan, malam-malam begini? Dimana rumahmu?” kata pria yang ditabrak Nimas Ayunina alih-alih menjawab pertanyaannya. “Pergi! Pergi!
Bab 3. PUTRI JADI PELAMPIASAN NAFSUSepertinya ini bukanlah pertarungan akan tetapi lebih tepat jika disebut sebagai pembantaian.Karena para prajurit dan pendekar bayaran itu seperti pohon pisang yang bisa di tebas dengan sangat mudah oleh anak buah Warok Buto Kolo.Serangan para prajurit dan pendekar bayaran yang mengenai tubuh anak buah Warok Buto Kolo dibiarkan saja, mereka malah tertawa terbahak-bahak ketika sabetan serta tusukan para prajurit dan pendekar itu mengenai tubuh mereka.Dan saat para prajurit dan pendekar itu tertegun, sabetan golok para perampok menebas leher mereka.Kepala yang tertebas dan perut yang terburai langsung menghiasi hutan Mentaok.Darah segar bercampur dengan air hujan seketika membuat tanah di bawah kereta kuda berubah merah.Hanya dalam hitungan menit, semua pengawal juragan Atmaja sudah binasa di tebas golok dan pedang para perampok. Nimas Ayunina dan Juragan Atmaja yang bersembunyi di dalam kereta kuda tampak panik, saat mendengar teriakan k
Bab 2. PENYERGAPAN TAK TERDUGA Waktu berlalu secepat angin yang berhembus jika tidak dinanti, akan tetapi akan terasa sangat lambat ketika waktu di tunggui. Sepuluh tahun berlalu sejak tragedi di desa Waru dan kehancuran di seluruh dunia sejak keonaran yang dibuat para golongan hitam. Saat ini dunia sudah kembali tertata, meskipun tidak kembali seperti sebelumnya. Karena penguasa dunia ini pada saat ini adalah para penguasa dari golongan hitam, bahkan raja-raja dari berbagai negeri juga sudah ditaklukkan oleh para pendekar golongan hitam yang sangat kuat. Meskipun tidak ada penyebaran dan pembantaian seperti sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi ketenangan penduduk sudah terbiasa karenanya. Akan tetapi kejahatan seperti perampokan, perdagangan budak dan kejahatan lainnya masih saja berlangsung. Dunia sekarang kembali ke hukum rimba, siapa yang kuat maka dia akan bisa melindungi kelompoknya, dan siapa yang lemah akan dibantai serta para w