LOGINBab 2. PENYERGAPAN TAK TERDUGA
Waktu berlalu secepat angin yang berhembus jika tidak dinanti, akan tetapi akan terasa sangat lambat ketika waktu di tunggui. Sepuluh tahun berlalu sejak tragedi di desa Waru dan kehancuran di seluruh dunia sejak keonaran yang dibuat para golongan hitam. Saat ini dunia sudah kembali tertata, meskipun tidak kembali seperti sebelumnya. Karena penguasa dunia ini pada saat ini adalah para penguasa dari golongan hitam, bahkan raja-raja dari berbagai negeri juga sudah ditaklukkan oleh para pendekar golongan hitam yang sangat kuat. Meskipun tidak ada penyebaran dan pembantaian seperti sepuluh tahun yang lalu, akan tetapi ketenangan penduduk sudah terbiasa karenanya. Akan tetapi kejahatan seperti perampokan, perdagangan budak dan kejahatan lainnya masih saja berlangsung. Dunia sekarang kembali ke hukum rimba, siapa yang kuat maka dia akan bisa melindungi kelompoknya, dan siapa yang lemah akan dibantai serta para wanitanya akan di rudapaksa dan dijual sebagai barang dagangan. Hujan saat ini sedang turun dengan sangat lebatnya, seakan langit sedang menangis, menangisi ulah manusia yang senantiasa berbuat angkara di muka bumi ini. Malam sangat gelap di hutan Mentaok yang masih dipenuhi pepohonan tinggi dan menjulang. Di tengah hutan terlihat ada sekumpulan tenda dan kereta kuda yang terparkir mengelilingi api unggun yang sudah padam. oleh siraman air hujan. “Ha ha ha ha… sepertinya malam ini kita akan berpesta, ha ha ha ha….” Keheningan malam seketika di terusik oleh suara tawa yang menggema di dalam hutan yang sedang diguyur hujan lebat. Suara tawa yang entah datang dari mana tentu saja mengejutkan rombongan saudagar yang sedang beristirahat di tengah hutan Mentaok ini. Para pendekar yang disewa untuk menjaga dan mengawal perjalanan rombongan saudagar ini, seketika langsung berdiri sambil menggenggam gagang golok di pinggang mereka. “Semuanya bersiap, sepertinya kita mendapat serangan,” terdengar suara seseorang dari salah satu tenda yang memberi perintah kepada para pendekar pengawal rombongan pedagang ini. Para pendekar ini sebelumnya sudah pernah mendapatkan kabar, kalau di dalam hutan Mentaok ada gerombolan perampok yang sangat sadis dan suka menjarah siapapun yang melewati hutan ini. Rombongan kereta ini merupakan rombongan saudagar Atmaja yang berasal dari kota Kutowinangun yang merupakan ibukota kadipaten. Di dalam rombongan ini, selain Juragan Atmaja sebagai pemilik semua kereta kuda. Di salah satu kereta kuda ikut bersama dirinya Nimas Ayunina yang merupakan anak gadisnya. Nimas Ayunina mempunyai wajah yang sangat cantik dengan kulit kuning langsat khas keluarga bangsawan di tanah Jawadwipa dan mempunyai postur tubuh yang indah pula. Rambutnya yang hitam dan matanya yang bulat dan jernih, membuat setiap bangsawan muda tergila-gila padanya. Nimas Ayunina sendiri sudah dilamar oleh Raden Mas Wijoyo kusumo yang merupakan putra selir dari Raja Angling Kusumo penguasa kerajaan Madangkara. Saat ini saudagar Atmaja sedang mengantarkan anak gadisnya menuju kerajaan Madangkara untuk menemui Raden Mas Wijoyo Kusumo. Sebenarnya dari pihak kerajaan sudah mengirimkan seorang orang utusan dan lima prajurit untuk menjemput Nimas Ayunina, yang saat ini ikut mengawal rombongan ini. Karena perjalanan menuju kota raja Madangkara harus melewati hutan Mentaok yang terkenal angker dan dikuasai oleh gerombolan perampok warok Buto Kolo. Sehingga juragan Atmaja menyewa puluhan pendekar bayaran untuk mengawal perjalanan mereka. Nimas Ayunina sendiri saat ini berada di kereta kuda yang paling mewah kiriman Raden Mas Wijoyo Kusumo. Saat mendengar suara tawa yang mengerikan itu, Nimas Ayunina dan ayahnya Juragan Atmaja sudah tertidur didalam kereta kuda, mereka berdua langsung terbangun dan tampak waspada. Kereta kuda yang di tumpangi Nimas Ayunina cukuplah besar dan bisa untuk tiduran, sehingga Nimas Ayunina tidak perlu tidur di tenda. Demikian juga dengan kereta kuda yang di tumpangi Juragan Atmaja, meskipun kereta kudanya tidak semewah kereta kuda yang ditumpangi Ayunina, akan tetapi kereta kudanya juga cukup luas dan bisa untuk tidur juga. Hujan masih turun dengan lebatnya dan kilat juga masih menyambar-nyambar seakan langit sedang murka dan bersedih dengan apa yang akan terjadi di hutan Mentaok ini. Para Prajurit dan Pendekar yang mengawal rombongan Juragan Atmaja segera keluar dari dalam tenda, dengan golok dan pedang di tangan, mereka segera berlari ke arah kereta kuda yang berisi Nimas Ayunina dan Juragan Atmaja. Begitu para prajurit dan pendekar bayaran sudah siaga di sekeliling kereta kuda Nimas Ayunina dan Juragan Atmaja, puluhan bayangan hitam terlihat berloncatan dari dahan pohon. Sosok-sosok kekar dengan pakaian serba hitam bermunculan satu persatu seperti hantu hutan Mentaok. Seketika ada ratusan pria dengan tampak sangar sudah mengepung rombongan kereta Juragan Atmaja. Ciri khas gerombolan perampok Warok Buto Kolo adalah kumisnya yang tebal dan panjang melintang, dengan pakaian serba hitam dan gelang akar bahar di tangan mereka. Pandangan mata para warok ini sangatlah tajam dan buas, seakan mereka bukanlah manusia. Benar, sebelumnya mereka adalah gerombolan perampok yang tidak terlalu kuat, akan tetapi sejak sepuluh tahun yang lalu, mereka mempunyai fisik dan kekuatan yang sangat mengagumkan. Sejak sepuluh tahun yang lalu pula, gerombolan perampok Warok Buto Kolo ini berani mengikrarkan diri sebagai penguasa hutan Mentaok. “Ha ha ha ha… ternyata hari ini kita sedang mujur. Lihatlah kereta yang indah itu, pasti di dalam kereta itu ada harta benda yang sangat berharga!” “Ha ha ha ha…. betul sekali, kita sudah lama tidak mendapatkan jarahan. Sekarang meskipun hujan, sepertinya sang Raja Iblis Angkara telah mengasihi kita dengan dikirimnya mereka untuk menjadi mangsa kita!” “Ha ha h ha…..” “Ha ha ha ha….” Suara tawa dari ratusan perampok seketika memenuhi hutan Mentaok, seakan suara mereka sedang bersaing dengan derasnya hujan saat ini. “Semuanya waspada, siapapun yang berusaha mendekati kereta kuda langsung kita habisi,” perintah salah satu prajurit yang sepertinya adalah seorang senopati muda atau perwira muda. “Siap Senopati,” semua orang segera menyerukan kesiapan mereka. “Kalian para prajurit dan pendekar lemah, kalau sayang dengan nyawa kalian maka pergi dan tinggalkan semua kereta kuda ini!” terdengar suara serak dan sedikit parau memberi perintah kepada para prajurit dan pendekar yang mengawal rombongan juragan Atmaja untuk pergi. Bukan nya menuruti perintah perampok itu, Senopati muda segera balas menjawab, “Sebaiknya kalian yang segera pergi, apa kalian tidak tahu siapa kami? Kami adalah utusan dari kerajaan Madangkara penguasa wilayah ini!” “Ha ha ha ha… Penguasa wilayah ini katamu? Ha ha ha ha… penguasa wilayah ini adalah aku Warok Buto Kolo, ha ha ha ha….” “Raja kalian yang lemah itu, mana berani berhadapan denganku. Buktinya selama ini tidak ada prajurit yang datang mengusir kami, ha ha ha ha…” “Ha ha ha ha….” Tawa Warok Buto Kolo terdengar menggema di penuhi dengan nada ejekan kepada raja mereka. Para prajurit seketika memucat dan amarahnya tidak bisa ditahan lagi, ketika mendengar junjungan mereka diejek Warok Buto Kolo dan anak buahnya. Mereka memang sudah tahu, kalau gerombolan Warok Buto Kolo ini mempunyai ilmu kebal. Setiap anggota perampok Warok Buto Kolo tidak mempan bacokan maupun tusukan pedang maupun tombak. Sebenarnya Raja Angling Kusumo pernah mengirim ratusan prajurit yang menyamar sebagai rombongan saudagar dan sengaja mendatangi hutan Mentaok ini. Akan tetapi dari seratus orang prajurit hanya tersisa lima orang saja yang berhasil kabur dan melaporkan kejadian ini kepada Raja Angling Kusumo. Sejak saat itu, pihak kerajaan tidak berani mengusik Warok Buto Kolo lagi. Saat ini Senopati muda dan yang lainnya hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyelamatkan Nimas Ayunina, sebagai pilihan pertama untuk diselamatkan jika keadaan tidak memungkinkan untuk selamat. “Kamu, nanti bawa kabur Nimas Ayunina jika kita sudah terdesak, saya akan berusaha melindungi kalian,” kata Senopati muda kepada salah satu prajurit kepercayaannya. “Baik, Senopati,” balas prajurit dengan wajah tegas. Semua prajurit dan pendekar bayaran tampak tegang, ketika ada ratusan perampok mengepung mereka. Terdengar suara perintah Warok Buto Kolo dikumandangkan menembus gemuruh hujan yang masih turun dengan lebatnya. “Semuanya serbu, jarah semua kereta kuda itu dan habisi para prajurit yang mengawalnya!” ***Bab 70. JURUS TARING MAUNG MENGOYAK MANGSA Kedatangan Jaka Tole segera membuat situasi berubah, para murid yang sebelumnya sangat terdesak seketika menghela nafas lega. Mereka langsung bisa menghirup nafas lega, kepala mereka segera mendongak ke langit. Mata mereka langsung membelalak lebar, ekspresi mereka menggambarkan seperti ekspresi orang yang melihat hantu. Tentu saja para murid senior sangat mengenali sosok pemuda yang sedang melayang di langit sambil mengayunkan dua buah golok besar, ke segala arah. Kini dalam sekejap ribuan pasukan golongan hitam sudah tergeletak tanpa nyawa, tersambar angin sabetan sepasang golok besar milik Jaka Tole. Ki Braja, sesepuh, tetua dan para guru tampak gembira melihat ada pendekar yang membantu mereka. “Siapa pendekar itu? Syukurlah dengan kedatangannya, kita bisa bernafas lega,” gumam Ki Braja sambil terus bertarung dengan pimpinan golongan hitam yang juga sudah mencapai alam Kaisar. Den
Bab 69. JAKA TOLE TURUN TANGAN “Apa? Mereka sudah menerobos penghalang pertama? Baiklah, semuanya mari kita bendung dan hancurkan pasukan hitam yang menyerang Padepokan kita. Semua murid baru segera siaga dan bersiap menghadapi serbuan musuh, ketika mereka berhasil melewati kita.” Ki Braja segera memberi perintah kepada para sesepuh dan tetua Padepokan Maung Siliwangi untuk ikut menahan serbuan musuh, agar mereka tidak sampai ke puncak, tempat markas utama Padepokan berada. “Baik ketua!” Semua orang segera keluar dari Paseban Agung menuju pintu masuk Padepokan yang berada di lereng gunung Maung. Pasukan Padepokan Maung Siliwangi yang awalnya terdesak oleh serbuan pasukan hitam, kini bisa sedikit bernafas lega, setelah para sesepuh dan tetua Padepokan ikut turun tangan menghadang para penyerang. Suara jeritan kesakitan bercampur dengan teriakan penyemangat berbaur menjadi satu, membuat suasana di gunung Maung benar-benar sangat mengerikan.
Bab 68. PADEPOKAN MAUNG SILIWANGI DISERANG PENDEKAR GOLONGAN HITAM Dan sebelum Jaka Tole mencerna apa sebetulnya yang sedang terjadi pada tubuhnya, tiba-tiba saja sebuah telapak tangan sudah mendarat di kepalanya. Kemudian sebuah energi hangat langsung memasuki tubuhnya beserta sebuah ingatan tentang jurus-jurus silat dan ajian tingkat tinggi. Dari gambaran yang masuk kedalam tubuhnya, Jaka Tole bisa melihat kalau sebagian besar jurus silat itu menyerupai jurus silat yang pernah dipelajari di Padepokan Maung Siliwangi. Hanya saja jurus silat ini terlihat lebih kuat dan bertenaga. “Sekarang kamu bisa keluar dari ruangan ini dan pelajari ilmu yang saya berikan.” Begitu energi hangat yang memasuki kepalanya terhenti, tiba tiba-tiba saja tubuh Jaka Tole terlempar dari ruang rahasia ini. Dan kembali ke ruangan sebelumnya dia bersemedi. Setelah itu pintu ruang rahasia kembali tertutup. “Eh… kenapa saya keluar? Saya belum me
Bab 67. PERTAPA Klik Terdengar suara aneh saat Jaka Tole berusaha mencabut batu hitam yang menonjol itu. Awalnya Jaka Tole menarik kemudian menekan dan memutar batu itu, dan disaat dia berusaha memutar batu sebesar kepalan tangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara aneh. Drrttt… Setelah terdengar suara klik, tiba tiba-tiba saja terasa sebuah getaran di didinding gua yang disentuhnya. Secara reflek Jaka Tole berusaha menjauh, sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan seketika terpampang di depan matanya. Debu beterbangan ketika dinding gua bergerak masuk ke dalam seperti ada yang menariknya. Jaka Tole semakin waspada dan berusaha menanamkan matanya untuk melihat isi dibalik dinding gua. Setelah debu yang berterbangan mereda, dihadapan Jaka Tole kini terlihat sebuah ruangan lagi, akan tetapi anehnya ruangan ini cukup terang. “Ruangan apa ini? Kenapa ada ruangan lain di dalam gua ini?” gumam Jaka Tole sambil mel
Bab 66. TOMBOL MEKANIS Jaka Tole yang fokus bersemedi sudah berada di titik, dimana keadaan sekelilingnya sudah terasa hampa, dia seakan sedang duduk sendirian di sebuah dimensi hampa yang tidak ada orang yang menemaninya. Sementara itu pemandangan di langit diatas puncak gunung Maung sudah mulai terlihat kembali cerah, bintang dan bulan mulai menampakkan senyumnya. Tentu saja awan hitam yang baru saja membawa ujian kesengsaraan bagi Jaka Tole langsung menghilang, setelah petir kesengsaraan menyambar tubuhnya sebanyak sembilan kali. Petir kesengsaraan sepertinya mempunyai indera dan pemikiran sendiri, buktinya dia bisa memasuki bagian terdalam gua dan langsung menembakkan petirnya ke Jaka Tole. Padahal gua keramat sangatlah rapat, sama sekali tidak ada lobang yang bisa membuat cahaya matahari masuk. Hanya lorong tempat Jaka Tole masuk sajalah yang dia tahu adanya lobang di tempat ini. Akan tetapi dia tidak tahu dimana letak masuknya udara segar
Bab 65. TIDAK MUNGKIN Ki Braja menatap Ki Supa dengan tatapan tajam, dari ekspresi wajahnya saja bisa di lihat kalau ketua Padepokan Maung Siliwangi merasa kesal dengan Ki Supa yang tidak melaporkan keberadaan orang asing di puncak gunung Maung. Ki Supa segera menangkupkan kedua telapak tangannya di depan kepala kearah ketua Padepokan Maung Siliwangi, sambil tetap duduk bersila di tempatnya. “Hormat ketua, sebelumnya semua orang di Padepokan juga sudah tahu siapa orang yang baru-baru ini berada di puncak gunung Maung.” “Semua orang sudah tahu? Ki Supa kalau bicara itu yang jelas, jangan berputar-putar. Coba kamu sebutkan siapa orangnya yang sudah berani memasuki puncak gunung Maung tanpa sepengetahuanku?” kata Ki Braja sambil menatap kearah Ki Supa dengan tatapan tajam dan penuh wibawa. Sekali lagi Ki Supa menangkupkan kedua tangannya di depan kepala sebelum menjawab pertanyaan Ki Braja. “Ketua, apakah ketua masih ingat dengan pertandingan y







