ログインBab 3. PUTRI JADI PELAMPIASAN NAFSU
Sepertinya ini bukanlah pertarungan akan tetapi lebih tepat jika disebut sebagai pembantaian. Karena para prajurit dan pendekar bayaran itu seperti pohon pisang yang bisa di tebas dengan sangat mudah oleh anak buah Warok Buto Kolo. Serangan para prajurit dan pendekar bayaran yang mengenai tubuh anak buah Warok Buto Kolo dibiarkan saja, mereka malah tertawa terbahak-bahak ketika sabetan serta tusukan para prajurit dan pendekar itu mengenai tubuh mereka. Dan saat para prajurit dan pendekar itu tertegun, sabetan golok para perampok menebas leher mereka. Kepala yang tertebas dan perut yang terburai langsung menghiasi hutan Mentaok. Darah segar bercampur dengan air hujan seketika membuat tanah di bawah kereta kuda berubah merah. Hanya dalam hitungan menit, semua pengawal juragan Atmaja sudah binasa di tebas golok dan pedang para perampok. Nimas Ayunina dan Juragan Atmaja yang bersembunyi di dalam kereta kuda tampak panik, saat mendengar teriakan kematian para pengawal mereka. Perlahan salah satu jendela kereta kuda terbuka, kemudian muncullah wajah pria paruh baya dengan pakaian bagus dari balik jendela kereta itu. Pemilik wajah pria paruh baya itu adalah juragan Atmaja yang penasaran, setelah suasana di luar kereta menjadi hening. Demikian juga dengan Nimas Ayunina, dia juga merasa penasaran ketika tidak mendengar suara pertarungan dan teriakan lagi. Saat wajah cantik nan molek Nimas Ayunina terlihat dari balik jendela kereta, Warok Buto Kolo dan anak buahnya langsung menjatuhkan rahangnya. Mulut mereka membentuk lingkaran atau huruf O, dan air liur tampak menetes keluar dari mulut mereka bercampur dengan air hujan. “Amboi cantiknya….” “Bidadari….” “Sungguh nikmat mana lagi yang aku dustakan setelah melihat kecantikan bidadari di hadapanku ini.” Para anak buah Warok Buto Kolo tampak bicara sendiri tanpa sadar memuji kecantikan Nimas Ayunina. Bahkan sampai ada yang berpuisi mensyukuri kecantikan yang dilihat. “Ha ha ha ha… sepertinya Kaisar Kegelapan telah mengirimkan bidadari untukku, ha ha ha ha…!” Tawa Warok Buto Kolo menggema mengalahkan suara hujan yang membasahi bumi, ketika kesadaran nya sudah kembali setelah melihat kecantikan Nimas Ayunina. “Ha ha ha ha….!” anak buahnya juga ikut tertawa, melihat pemimpin mereka tampaknya sangat puas dengan hasil jarahan kali ini. Sementara itu juragan Atmaja yang melihat para pengawalnya sudah mati, segera keluar dari keretanya dan berlari ke arah kereta Nimas Ayunina. Niat hati untuk melindungi anak gadisnya, akan tetapi sebuah sabetan pedang menebas perutnya, yang membuat ususnya terburai. “A.. a.. a.. ayunina, maafkan Romo yang tidak bisa melindungimu…” Brukk… Tubuh Juragan Atmaja langsung terjatuh di depan pintu kereta dengan nyawa sudah di bawa pergi Malaikat Maut sebelum sempat melindungi anak gadisnya. Perlahan dengan seringai mesum, Warok Buto Kolo melangkah menuju kereta yang berisi Nimas Ayunina, sambil memelintir kumisnya yang tebal dan melintang. “Hmmm… sepertinya malam ini akan terasa panas dengan adanya bidadari di pelukanku,’ gumam Warok Buto Kolo ketika sampai di depan pintu kereta. Brak….! Sebuah dorongan kuat membuat pintu kereta terbuka, perlahan Warok Buto Kolo memasuki kereta dimana Nimas Ayunina berada. “Pergi… pergi… jangan mendekat… pergi…!” Nimas Ayunina berteriak dengan histeris mengusir Warok Buto Kolo yang sedang mendekatinya dengan mata penuh dengan hawa mesum. “Ha ha ha ha… tidak perlu berteriak cantik, di tempat ini tidak akan ada orang yang menolongmu. Lihatlah semua pengawalmu sudah menjadi bangkai, jadi kalau kamu ingin selamat, maka turuti saja apa mauku, maka kamu akan selamat dan merasakan kenikmatan bersama-sama ha ha ha.” “Pergi… pergi… keluar… Tolong… tolong… tolong…!!” Breet…. Suara kain yang robek mengalahkan suara teriakan Nimas Ayunina, tangan kekar Warok Buto Kolo sudah berhasil merobek kain kebaya yang menutupi tubuh bagian atas gadis malang ini. Pemandangan indah seketika terpampang di depan Warok Buto Kolo, membuat nafsu iblisnya semakin menjadi-jadi. Di hadapan Warok Buto Kolo kini terpampang dada putih gadis cantik seperti bidadari yang sedang berusaha ditutupi dengan kedua tangannya. Meskipun suasana didalam kereta cukup gelap, akan tetapi tubuh Nimas Ayunina yang terbuka tampak berkilau seperti batu pualam. Nafas Warok Buto Kolo seketika memburu mengeluarkan udara panas dari lobang hidungnya, ketika melihat betapa mulusnya dada gadis di depannya. “Tolong ampuni saya, jangan sentuh tubuhku. Saya adalah calon istri Raden Mas Wijoyo Kusumo. Apa kamu tahu hukuman apa yang akan kamu terima jika berani menggangguku,” kata Nimas Ayunina mencoba menakut-nakuti Warok Buto Kolo dengan nama anak dari penguasa kerajaan ini. “Ha ha ha ha… untuk apa kamu menakut-nakutiku dengan nama Raja yang lemah itu. Kamu sebaiknya menurut saja agar tubuhmu yang indah ini tidak terluka,” bujuk Warok Buto Kolo sambil berusaha menyentuh dagu Nimas Ayunina. “Tolong… tolong… tolong… pergi… pergi… tolong… tolong…!” Teriakan Nimas Ayunina sama sekali tidak di perdulikan Warok Buto Kolo, dengan tenaganya yang kuat dia langsung memeluk tubuh gadis itu dan mulai menyentuhkan kumisnya yang tebal ke leher Nimas Ayunina yang jenjang. Sementara itu anak buah Warok Buto Kolo yang mendengar teriakan Nimas Ayunina tampak menyeringai dan ikut terbawa suasana. Tangan lembut Nimas Ayunina sama sekali tidak bisa mendorong tubuh kekar Warok Buto Kolo yang menindih tubuhnya. Tuuut…. tuuut… tuuut…tuit… tuit…tuut… tuuut.. tuit… Dan pada saat-saat kritis tiba-tiba terdengar suara suling yang mendayu-dayu mengalahkan suara derasnya hujan, bahkan mengalahkan suara petir yang menggelegar. Suara seruling itu seakan menghipnotis semua orang yang sedang melakukan kejahatan ini, tanpa terkecuali Warok Buto Kolo yang sedang melakukan aksinya di dalam kereta. Warok Buto Kolo sampai menghentikan aksinya, bahkan tangannya yang sedang menggerayangi tubuh Nimas Ayunina seakan menjadi kaku dan tubuhnya juga tidak bisa digerakkan. Tapi sebuah keanehan terjadi pada Nimas Ayunina, dia sepertinya tidak terpengaruh oleh suara seruling ini. Bahkan dia seperti mempunyai kekuatan lebih untuk mendorong tubuh kekar Warok Buto Kolo dari atas tubuhnya. Tubuh Warok Buto Kolo yang beratnya hampir seratus kilogram dengan tubuh yang kekar, tentu saja membuat tenaga Nimas Ayunina yang digunakan untuk mendorong tubuhnya sedikit kesusahan. Dalam hatinya Warok Buto Kolo sangat kesal dan penasaran ketika tiba-tiba saja tubuhnya menjadi kaku. Kekesalannya semakin menjadi-jadi, ketika mengetahui kalau wanita yang akan dinikmatinya bisa bergerak dan menyingkirkan tubuhnya yang sedang menindih tubuh wanita itu. Setelah bisa menyingkirkan tubuh Warok Buto Kolo dari atas tubuhnya, Nimas Ayunina segera merapikan pakaiannya yang sudah robek dan berantakan. Dengan tubuh gemetar dan dengan hati yang diselimuti dengan rasa takut, perlahan Nimas Ayunina mengeluarkan kepalanya dari dalam kereta untuk melihat situasi di luar. Sepasang matanya yang indah membelalak lebar, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di hadapannya Nimas Ayunina melihat ratusan anak buah warok Buto Kolo yang memiliki tubuh kekar dengan ciri khas kumis besar dan melintang, terlihat sedang berdiri selayaknya patung di bawah guyuran hujan deras. Samar-samar Nimas Ayunina juga mendengar alunan suara seruling yang terdengar sangat indah melantunkan nada-nada yang sangat menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Dengan hati-hati Nimas Ayunina keluar dari dalam kereta, kemudian berjalan perlahan menjauhi kerumunan anak buah Warok Buto Kolo, ke belakang kereta kuda miliknya. Begitu sudah berada di belakang kereta kuda, dengan cepat Nimas Ayunina berlari menerobos derasnya hujan masuk kedalam hutan. Tanpa memandang semak perdu di depannya, Nimas Ayunina terus berlari menembus gelapnya malam berusaha menjauhi kereta kudanya. Saking paniknya berlari tanpa arah, Nimas Ayunina tidak menyadari kalau dia malah berlari ke arah sumber suara seruling yang menembus derasnya hujan. Brak…!” “Auww..” pekik Nimas Ayunina. Dengan keras tubuh Nimas Ayunina langsung terjatuh, ketika dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba ada didepannya. Mata Nimas Ayunina langsung menatap dengan tajam kearah benda yang baru saja di tabraknya. Samar-samar dia bisa melihat bayangan seorang manusia yang bertelanjang dada dengan rambut panjang berdiri di depannya. Manusia itu di tangannya terlihat memegangi sebuah seruling yang terbuat dari bambu kuning. Wajah manusia yang berdiri di depannya tidak terlalu jelas, karena rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya yang basah. “Si… si… siapa kamu…?” sambil memegangi kain yang menutupi dadanya, Nimas Ayunina bertanya sambil menatap sosok manusia di depannya. ***Bab 70. JURUS TARING MAUNG MENGOYAK MANGSA Kedatangan Jaka Tole segera membuat situasi berubah, para murid yang sebelumnya sangat terdesak seketika menghela nafas lega. Mereka langsung bisa menghirup nafas lega, kepala mereka segera mendongak ke langit. Mata mereka langsung membelalak lebar, ekspresi mereka menggambarkan seperti ekspresi orang yang melihat hantu. Tentu saja para murid senior sangat mengenali sosok pemuda yang sedang melayang di langit sambil mengayunkan dua buah golok besar, ke segala arah. Kini dalam sekejap ribuan pasukan golongan hitam sudah tergeletak tanpa nyawa, tersambar angin sabetan sepasang golok besar milik Jaka Tole. Ki Braja, sesepuh, tetua dan para guru tampak gembira melihat ada pendekar yang membantu mereka. “Siapa pendekar itu? Syukurlah dengan kedatangannya, kita bisa bernafas lega,” gumam Ki Braja sambil terus bertarung dengan pimpinan golongan hitam yang juga sudah mencapai alam Kaisar. Den
Bab 69. JAKA TOLE TURUN TANGAN “Apa? Mereka sudah menerobos penghalang pertama? Baiklah, semuanya mari kita bendung dan hancurkan pasukan hitam yang menyerang Padepokan kita. Semua murid baru segera siaga dan bersiap menghadapi serbuan musuh, ketika mereka berhasil melewati kita.” Ki Braja segera memberi perintah kepada para sesepuh dan tetua Padepokan Maung Siliwangi untuk ikut menahan serbuan musuh, agar mereka tidak sampai ke puncak, tempat markas utama Padepokan berada. “Baik ketua!” Semua orang segera keluar dari Paseban Agung menuju pintu masuk Padepokan yang berada di lereng gunung Maung. Pasukan Padepokan Maung Siliwangi yang awalnya terdesak oleh serbuan pasukan hitam, kini bisa sedikit bernafas lega, setelah para sesepuh dan tetua Padepokan ikut turun tangan menghadang para penyerang. Suara jeritan kesakitan bercampur dengan teriakan penyemangat berbaur menjadi satu, membuat suasana di gunung Maung benar-benar sangat mengerikan.
Bab 68. PADEPOKAN MAUNG SILIWANGI DISERANG PENDEKAR GOLONGAN HITAM Dan sebelum Jaka Tole mencerna apa sebetulnya yang sedang terjadi pada tubuhnya, tiba-tiba saja sebuah telapak tangan sudah mendarat di kepalanya. Kemudian sebuah energi hangat langsung memasuki tubuhnya beserta sebuah ingatan tentang jurus-jurus silat dan ajian tingkat tinggi. Dari gambaran yang masuk kedalam tubuhnya, Jaka Tole bisa melihat kalau sebagian besar jurus silat itu menyerupai jurus silat yang pernah dipelajari di Padepokan Maung Siliwangi. Hanya saja jurus silat ini terlihat lebih kuat dan bertenaga. “Sekarang kamu bisa keluar dari ruangan ini dan pelajari ilmu yang saya berikan.” Begitu energi hangat yang memasuki kepalanya terhenti, tiba tiba-tiba saja tubuh Jaka Tole terlempar dari ruang rahasia ini. Dan kembali ke ruangan sebelumnya dia bersemedi. Setelah itu pintu ruang rahasia kembali tertutup. “Eh… kenapa saya keluar? Saya belum me
Bab 67. PERTAPA Klik Terdengar suara aneh saat Jaka Tole berusaha mencabut batu hitam yang menonjol itu. Awalnya Jaka Tole menarik kemudian menekan dan memutar batu itu, dan disaat dia berusaha memutar batu sebesar kepalan tangan itu, tiba-tiba saja terdengar suara aneh. Drrttt… Setelah terdengar suara klik, tiba tiba-tiba saja terasa sebuah getaran di didinding gua yang disentuhnya. Secara reflek Jaka Tole berusaha menjauh, sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan seketika terpampang di depan matanya. Debu beterbangan ketika dinding gua bergerak masuk ke dalam seperti ada yang menariknya. Jaka Tole semakin waspada dan berusaha menanamkan matanya untuk melihat isi dibalik dinding gua. Setelah debu yang berterbangan mereda, dihadapan Jaka Tole kini terlihat sebuah ruangan lagi, akan tetapi anehnya ruangan ini cukup terang. “Ruangan apa ini? Kenapa ada ruangan lain di dalam gua ini?” gumam Jaka Tole sambil mel
Bab 66. TOMBOL MEKANIS Jaka Tole yang fokus bersemedi sudah berada di titik, dimana keadaan sekelilingnya sudah terasa hampa, dia seakan sedang duduk sendirian di sebuah dimensi hampa yang tidak ada orang yang menemaninya. Sementara itu pemandangan di langit diatas puncak gunung Maung sudah mulai terlihat kembali cerah, bintang dan bulan mulai menampakkan senyumnya. Tentu saja awan hitam yang baru saja membawa ujian kesengsaraan bagi Jaka Tole langsung menghilang, setelah petir kesengsaraan menyambar tubuhnya sebanyak sembilan kali. Petir kesengsaraan sepertinya mempunyai indera dan pemikiran sendiri, buktinya dia bisa memasuki bagian terdalam gua dan langsung menembakkan petirnya ke Jaka Tole. Padahal gua keramat sangatlah rapat, sama sekali tidak ada lobang yang bisa membuat cahaya matahari masuk. Hanya lorong tempat Jaka Tole masuk sajalah yang dia tahu adanya lobang di tempat ini. Akan tetapi dia tidak tahu dimana letak masuknya udara segar
Bab 65. TIDAK MUNGKIN Ki Braja menatap Ki Supa dengan tatapan tajam, dari ekspresi wajahnya saja bisa di lihat kalau ketua Padepokan Maung Siliwangi merasa kesal dengan Ki Supa yang tidak melaporkan keberadaan orang asing di puncak gunung Maung. Ki Supa segera menangkupkan kedua telapak tangannya di depan kepala kearah ketua Padepokan Maung Siliwangi, sambil tetap duduk bersila di tempatnya. “Hormat ketua, sebelumnya semua orang di Padepokan juga sudah tahu siapa orang yang baru-baru ini berada di puncak gunung Maung.” “Semua orang sudah tahu? Ki Supa kalau bicara itu yang jelas, jangan berputar-putar. Coba kamu sebutkan siapa orangnya yang sudah berani memasuki puncak gunung Maung tanpa sepengetahuanku?” kata Ki Braja sambil menatap kearah Ki Supa dengan tatapan tajam dan penuh wibawa. Sekali lagi Ki Supa menangkupkan kedua tangannya di depan kepala sebelum menjawab pertanyaan Ki Braja. “Ketua, apakah ketua masih ingat dengan pertandingan y







