LOGINDublin, meski tidak sepenuhnya dijuluki kota yang tidak tidur, tapi masih terdapat kehidupan malam. Beberapa sudut-sudut kota masih ada tempat yang masih buka, tentunya tidak seperti kehidupan malam kota besar di dunia.
Meski terlihat satu dua kendaraan melintas, tapi lebih banyak jalanan sepi daripada aktivitasnya. Itu menyulitkan Rachel untuk menyelinap dan kabur dari intaian Gregor. Dia mengetahuinya dari pantulan kaca kantor yang dilaluinya sesaat setelah turun dari mobil. "Rupanya kau ditugaskan untuk memata-mataiku. Apa lagi sekarang yang mereka inginkan, mengapa aku tidak bisa dibiarkan hidup tenang," keluh Rachel. Rachel terus berjalan bersikap seolah-olah tidak mengetahui bahwa dirinya dibuntuti. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, dia berjalan dengan tenang. Tidak ada gunanya juga untuk kabur, karena dia yakin organisasi itu tidak diisi oleh sekumpulan orang-orang bodoh. Tentu mereka punya banyak jaringan yang tersebar di mana-mana yang bisa dengan mudah menemukannya di mana saja. Sesampainya di rumah, Rachel mengunci pintu masuk. Untuk saat ini dia mencoba menangkan fikiran, tentu tidak mudah setelah apa yang terjadi pada Adam petang tadi, ditambah orang tuanya yang saat ini dalam tawanan. "Apa yang harus kulakukan?" gumamnya sambil bersandar di daun pintu. Sejenak dia memutar kembali ingatannya saat kendaraan yang ditumpanginya berpencar. Mobil satunya menuju ke Jalan Rosewood, nama jalan pertama ketika memasuki Dublin. Namun dia menelan kekecewaan karena tidak punya kenalan di sana. "Ah, sial. Aku tidak punya kenalan di sana." Kemudian dia membuka laptop dan melalui mesin pencari, disusurinya sepanjang jalan dan persimpangan yang sekiranya terdapat kemungkinan. Namun, tak satupun mendapatkan hasil, karena hanya menampilkan bangunan publik yang tidak nampak mencurigakan. Nyaris putus asa, di gulir terakhir dia menemukan wajah yang nampak tidak asing di halaman gedung pemerintahan. Dia adalah pengemudi mobil yang ditumpanginya dalam perjalanan ke Dublin. "Ketemu, Kau. Apa yang dia lakukan di sana?" Meskipun cuma foto, tapi bisa saja menyampaikan informasi yang diperlukan. Pria itu berada di halaman gedung yang mengelola tata kota lama, sedangkan saat ini departemen tersebut pindah di pusat kota bersebelahan dengan departemen keuangan. Praktis, bangunan itu kosong tanpa aktifitas. Namun, kenyataannya di sana masih terdapat kegiatan. "Sampai jumpa besok pagi. Akan kucari tahu ada apa di sana." Di luar, Gregor berdiri bersandar pada sebuah pohon. Matanya awas memantau dari luar. Meskipun saat ini rintik hujan mulai turun, dia tetap berada di sana hanya berbekal jaket tebal dengan penutup kepala. "Cih, sampai kapan saya harus berdiri di sini. Bisa-bisa saya mati berdiri kedinginan. Lagipula kemana lagi Rachel mau kabur, setahu saya dia tidak punya sanak saudara di Dublin." Dengan berbagai asumsi tak mendasar, lantas dia meninggalkan tempat tersebut dan berjalan pulang yang jaraknya hanya sepuluh menit perjalanan. Keesokan harinya, Rachel sengaja tidak masuk kuliah. Pagi-pagi sekali dia pergi menemui salah seorang teman yang sebelumnya sudah membuat janji. Mereka akan berkeliling di Dublin terutama bagian selatan, tempat di mana Jalan Rosewood berada. "Mau apa kamu ke sana?" tanya teman Rachel yang bernama Judy. Saat ini mereka ada di depan apartemen, berdiri di samping mobil terparkir di depan pos penjaga. "Nanti kujelaskan di jalan." Dengan mengendarai mobil sedan hitam, mereka meluncur ke Rosewood. Gregor tidak mengetahui Rachel pergi ke sana, dia hanya tahu bahwa Rachel tidak masuk hari itu. Dia tidak mau ambil pusing karena beranggapan bahwa Rachel masih shock dengan kejadian yang merenggut nyawa Adam. "Sepengetahuanku, di sana tidak ada situs budaya. Lagipula saat ini tidak ada penelitian atau kegiatan yang mengharuskan terjun ke lapangan," kata Judy sambil terus memperhatikan lalu lintas. "Benar, tapi bukan itu tujuanku ke sana." "Lantas?" "Aku ingin mencari tahu ada apa di Rosewood." Judy yang tidak mengerti maksud pembicaraan Rachel mengernyitkan dahi, lalu melihat sekilas dan kembali fokus ke jalan raya. "Aku ingin tahu apakah gedung tata kelola perkotaan beralih fungsi atau tidak." Judy semakin heran karena Rachel dengan tempat itu dirasa tidak ada hubungannya. Tidak biasanya Rachel penasaran dengan hal di luar minat. Yang dia tahu, gadis ini tertarik dengan arkeolog dan sains, bukan tata kelola perkotaan. "Memangnya ada apa, apa yang membuatmu sangat tertarik dengan departemen itu?" "Aku curiga jika markas The Myth ada di sana," jawab Rachel. "Untuk apa kau berurusan dengan mereka, bahaya," protesnya saat mendengar nama The Myth. "Aku tahu, tapi aku terpaksa melakukannya karena orang tuaku disandera. Dan aku yakin jika orang tuaku ada di sana." "Astaga." Judy mengurangi kecepatan lalu menepikan kendaraan. Bagaimana bisa orang tua Rachel disekap oleh mereka. Namun, jika diingat-ingat, museum pernah didatangi oleh sekelompok pria. Beberapa artefak bangsa Celtic serta harta nasional hilang dan sempat masuk berita nasional. Jadi apakah peristiwa beberapa waktu silam ada kaitannya dengan orang tua Rachel. "Benarkah itu, Rachel? Lalu mengapa kau tidak lapor polisi?" "Sudah pernah, tapi reaksi mereka seperti lepas tangan begitu mendengar organisasi itu. Maaf jika sudah melibatkanmu, jika kau keberatan aku tidak memaksa." Judy terdiam sejenak. Apa yang bisa dilakukan dua gadis kuliahan untuk menghadapi organisasi itu. Memang mereka baru setahun di Irlandia, tapi reputasi di Eropa timur sangat mengerikan. "Apa yang ingin aku lakukan untukmu?" tanya Judy. "Hanya mencari tahu apakah benar markas mereka ada di sana, tidak lebih," jawab Rachel pasrah. Dia tidak berekspektasi terlalu tinggi, tapi seandainya Judy menyanggupi, dia akan sangat berterimakasih. "Baiklah, tapi kita hanya memantau dari luar saja. Kalau masih belum dapat informasi, ya, apa boleh buat. Maaf, aku tidak bisa melangkah lebih jauh lagi." Senyum Rachel mengembang, dia lalu memeluk erat tubuh Judy seraya mengucap terima kasih. "Baiklah, ayo kita lakukan."Kedatangan August yang muncul tiba-tiba seperti hantu, membuat raksasa penjaga kembali bangkit. Rupanya roh tersebut merasakan kekuatan gelap dan besar hadir, kekuatan yang bisa saja mengundang bencana di kemudian hari.Sihir Geovani hanya membuat raksasa itu jatuh untuk sementara. Sekarang roh itu kembali berdiri dengan mata merah menyala. Hanya bagian dada yang terlihat di permukaan air, sedangkan sisanya berada di dalam."Dia bangkit lagi." Geovani menatap makhluk itu dengan kecewa, lantaran sihirnya ternyata tidak berpengaruh.Krul lantas mengeluarkan bayangan rantai. Kedua tangannya dijulurkan ke depan, lalu sekitar sembilan buah rantai hitam meluncur deras mengikat kaki, tangan, dan leher raksasa itu hingga tidak bisa bergerak.Tak berhenti sampai di situ, rantai itu melilit kencang. Rantai sihir yang dilengkapi duri itu menancap kuat hingga tubuh raksasa itu terkoyak dan mengeluarkan cahaya merah.Dengan tetap menapakkan kedua tangan di permukaan tanah, Krul tersenyum miring. "
“Triskele ini bukan hanya kunci. Ia juga penentu siapa yang layak mengakses altar Cumhail. Jika kita bisa mengaktifkan sisi pelindungnya, mungkin kita bisa mengunci kembali segel itu bahkan sebelum August sampai di sana.”Sam bersandar ke kursinya. “Dan untuk itu, kita butuh waktu. Sementara mereka menggali Calais, kita harus mendahului mereka dengan memahami cara kerja artefak itu sepenuhnya.”Rachel berdiri, menatap peta besar di dinding yang menandai lokasi-lokasi Celtic kuno. “Kalau lokasi altar Cumhail benar-benar ditemukan di Calais, itu berarti jalur energi ley line dari Irlandia melewati titik itu. Artinya, semua energi spiritual akan berpusat di sana saat ritual dilakukan.”Adam berjalan ke sisinya, mengangguk. “Dan jika Triskele ditempatkan di titik pusat ley line, mungkin bisa memutus arus itu.”Sam menatap mereka berdua. “Lalu siapa yang akan pergi ke Calais?”Keheningan memenuhi ruangan sejenak.Akhirnya, Adam menjawab tanpa ragu, “Aku dan Rachel. Kau tetap di Dublin, Pam
Rachel menatap Adam. “Artinya… August tidak akan bisa membangkitkan segel itu meski ketiga syarat sudah dipenuhi?”Adam diam beberapa saat sebelum menjawab, “Tidak semudah itu. Triskele hanya mencegah kekuatan segel bangkit dengan sempurna. Tapi jika seseorang menemukan cara untuk memutar spiralnya ke arah sebaliknya… keseimbangan itu bisa hancur.”Rachel terdiam. Dalam hatinya muncul rasa takut yang tak bisa dijelaskan. “Dan kau yakin August akan mencoba?”Adam mengangguk mantap. “Dia tidak akan berhenti sampai segel itu terbuka. Karena di balik segel Cumhail bukan hanya kekuatan sihir kuno—tapi sesuatu yang jauh lebih besar. Sebuah entitas yang bahkan Oishin sendiri takutkan. Tapi aku tidak tahu siapa entitas tersebut yang sanggup mencegah segel Cumhail terbebas."Suara jam berdetak pelan. Di luar, hujan turun semakin deras.Rachel menatap Triskele dengan wajah tegang. “Kalau begitu… apa yang harus kita lakukan sekarang?”Sebelum Adam menjawab, pintu kamar mereka diketuk tiga kali.
Kabut tipis menyelimuti jalanan Calais di pagi hari. Angin laut yang asin bertiup dari arah pelabuhan, membawa aroma besi karat dan air laut yang menguap. Di kejauhan, deru ombak menghantam dinding beton dermaga tua yang sudah berlumut. Di antara suara camar dan kapal kargo yang merapat, sebuah mobil hitam berhenti di depan reruntuhan gereja tua, tak jauh dari tebing batu cadas abu-abu yang menjulang menghadap Selat Inggris.Dari dalam mobil itu keluar tiga orang: Geovani, Elber, dan Krul, tiga petinggi The Myth yang dipercaya langsung oleh August. Wajah mereka menyimpan keheningan yang berat, seolah menyadari bahwa langkah mereka kali ini bukan sekadar misi biasa.Geovani menatap reruntuhan di depan mereka, berupa tebing batuan cadas abu-abu menjulang tinggi.“Di sinilah,” katanya lirih. “Tempat sumpah gencatan senjata pernah diucapkan.”Elber membuka catatan tua di tangannya. Di antara lembaran kertas rapuh itu, tertera aksara kuno dengan tinta yang hampir pudar. “Menurut catatan da
Asap tipis masih mengepul dari kap mobil sedan hitam yang ringsek di tepi jalan Prague. Sopirnya meringis, mencoba keluar dengan tubuh penuh luka. Namun Krul tetap duduk tenang di kursi belakang. Tatapannya tajam menembus gelap, menatap jauh ke arah jalan yang telah ditinggalkan Adam.Tangan Krul meremas kursi kulit hingga robek. Ia tahu ini bukan kecelakaan biasa. Ada trik yang dimainkan. Namun tanpa bukti, ia tidak bisa langsung memastikan.Krul menarik napas panjang, lalu mengambil ponsel hitam berukiran lambang The Myth. Jemarinya menekan nomor cepat.Sambungan tersambung hanya dalam dua dering. Suara berat, penuh wibawa, terdengar dari seberang.“Krul.”Krul menundukkan kepala, seolah August bisa melihatnya melalui ponsel.“Bos… aku gagal membawa artefak dari Prague. Lelang itu dimenangkan oleh seorang investor muda dari Paris. Namanya Adrien Gilbert Lloris.”Suara di seberang hening sejenak. Lalu August berkata datar, “Artefak itu tidak sepenting yang kau kira. Jangan risau.”Kr
Sopir menoleh sebentar, lalu mengangguk. “Baik, Tuan.”Mobil melaju lebih kencang. Roda melibas genangan air, menyipratkan air kotor ke trotoar kosong. Kota Prague setelah hujan seperti labirin basah, dengan jalan sempit yang mudah menjerat siapa saja yang tidak tahu jalur.Di belakang, sedan hitam itu tetap mengikuti, menjaga jarak."Adam menghela napas. Aku tidak bisa melawan dia di sini. Jika aku menggunakan sihirku secara terang-terangan, Krul pasti akan mengenalinya," kata Adam seorang diri.Tiba-tiba, sebuah kilasan ide muncul di benaknya. Orion—entitas yang bisa ia bentuk sesuai kebutuhan. Dia tidak perlu menyerang langsung. Hanya butuh trik kecil, samar, tapi efektif.Adam menutup matanya sejenak, menyatukan pikirannya dengan Orion. Suara deras tetesan air dari atap gedung dan sisa rintik hujan menambah fokusnya. Orion muncul dalam imajinasinya, berwujud cahaya putih kebiruan yang berdenyut.Itu pilihannya. Jalanan Prague yang basah bisa menjadi senjata alami tanpa meninggalka







