Share

[4] Tubuh "Body Goals" Destri

Rendra terhenyak sesaat menerima panggilan dari bundanya. Bundanya bilang, Oma Destri sakit dan kini sedang dirawat di rumah sakit.

Laki-laki itu langsung mengabari sekretarisnya, lantas bergegas menuju rumah sakit.

Bundanya sudah ada di sana bersama Mama Destri. Mereka tersenyum dan membiarkan Rendra mendekati ranjang tempat Oma terbaring lemah.

Napas Oma teratur, nampaknya obatnya mulai bekerja.

Di kaki ranjang, seorang laki-laki berjas dokter berdiri bersebelahan dengan seorang perawat. Rendra memicingkan mata sejenak sebelum akhirnya sadar bahwa dokter itu adalah teman SMP-nya dulu.

"Doni?"

"Rendra?"

Rendra tertawa kecil dan menjabat tangan Sang Dokter. "Aku gak tahu loh kalau kamu praktek di sini juga."

"Dimana-mana sih, Bro. Kejar setoran." Doni tertawa pelan. "Btw ini pasiennya ada hubungan apa sama kamu?"

"Oh, Oma-nya temenku. Sudah kayak Oma sendiri, sih. Gimana keadaannya?"

"Tekanan darahnya tinggi, Ren. Kayaknya sih karena stres, karena dari pihak keluarga bilangnya juga makanannya sudah dikontrol. Barusan saya kasih obat biar tekanannya stabil."

Rendra menganggukkan kepala dan memandangi wajah pucat Oma dengan iba. "Stroke-nya gimana, Don?"

"Sejauh ini sih kayaknya masih baik-baik aja, Ren. Kecuali kalau ada keluhan lain setelah ini, mau gak mau harus ada pemeriksaan lanjutan."

Rendra menghela napas. Perhatiannya kemudian teralih saat Destri memasuki ruang rawat inap. Gadis itu tersenyum padanya sekilas, kemudian Rendra mempersilakannya untuk melihat Oma.

"Beliau gak apa-apa. Tadi sudah kami beri obat untuk menurunkan tekanan."

Destri menganggukkan kepala, "Terima kasih, Dok," ujarnya kepada Doni.

Doni kemudian menepuk bahu Rendra, secara tak langsung memberitahu bahwa ia harus pergi untuk menemui pasiennya yang lain.

Orangtua Rendra dan Destri masih ada di posisi semula. Opa Destri baru saja keluar dari toilet dan duduk di sebelah istrinya. Rendra mengamati Destri dalam diam. Meskipun kelihatan tenang, Rendra tahu kalau Destri pasti merasa takut kehilangan. Gadis itu mengusap tangan Oma-nya beberapa kali sambil memperbaiki selimutnya.

Rendra berdeham, "Kamu gak apa-apa?"

Destri tersenyum masam, "Hm... kenapa-kenapa, sih." Gadis itu kemudian mengalihkan pandang sejenak ke Rendra sebelum akhirnya menatap Oma-nya lagi.

"Sudah makan?"

Destri menggeleng.

"Kamu belum makan, Des?" Mama menimpali dari belakang. Destri menoleh dan nyengir.

Laki-laki yang berada di sebelah Destri itu kini kembali mengamati Destri lagi. Rendra menghela napas pelan.

Bagi Rendra, Destri itu benar-benar terlihat kurus. Tulang selangkanya terlihat sangat menonjol, jarinya bahkan terlihat sangat kurus. Dari teman-temannya, tubuh Destri sering disebut sebagai body goals karena tubuhnya persis seperti idol Korea.

"Saya temani Destri makan di kantin ya, Tante."

Rendra meminta izin, lantas menoleh pada Destri sambil mengangkat alis.

"Atau mau saya belikan makanan biar kamu bisa makan di sini?" tanyanya lagi.

Destri langsung menggelengkan kepala.

Rendra tersenyum, "Ayo."

.

Di mata Rendra, Destri itu selalu memesona. Apapun yang dia lakukan.

Meski sebelumnya Rendra bilang Destri terlalu kurus, baginya Destri tetap memesona.

Rendra kira, Destri adalah gadis yang tidak terlalu suka makan. Memiliki pengalaman berkencan dengan beberapa gadis membuat Rendra berpikir kalau selera makan Destri mungkin rendah dan berakhir menyisakan makanan.

Nyatanya, tidak.

Gadis itu bisa menghabiskan satu mangkok bubur ayam, dua tusuk telur puyuh, satu tusuk hati ampela, dan juga sebotol air mineral tanggung.

Rendra tersenyum di sela-sela makannya. Ini kali pertama ia melihat Destri makan dan ia sungguh tidak menyangka kalau Destri akan selahap itu.

"Enak?"

Destri menganggukkan kepala, "Kamu sering makan di sini?"

"Gak sering, sih, tapi lumayan kenal sama yang punya warung. Kalau kamu suka, kapan-kapan kita bisa kesini lagi."

Destri tersenyum, "Boleh."

Hati Rendra kegirangan. Ini artinya dia punya kesempatan lain untuk mendekati Destri. Tidak sia-sia penantiannya selama beberapa tahun ini.

Destri mengacak-acak tasnya, kemudian menggerutu pelan.

"Kenapa, Des?"

"Ikat rambutku hilang. Bentar deh mau minta karet. Semoga ada."

Destri berdiri dan melenggang. Rendra memperhatikan rambut sepunggung Destri yang bergerak pelan. Di saat gadis lain sibuk mewarnai rambutnya, Destri membiarkan rambutnya tetap berwarna hitam dan agak bergelombang.

Dari jauh, Rendra mengamati Destri yang sedang mengikat rambutnya menggunakan karet sayur pemberian pemilik warung.

Damn.

Rendra mengatur napas satu demi satu di sela-sela sumpah serapahnya.

Bagaimana bisa Destri tetap terlihat cantik dan menawan di saat ikatan rambutnya sangat berantakan?

Saat Destri melangkah kembali ke meja makan, Rendra langsung mengalihkan pandangan. Laki-laki itu bisa melihat pipi Destri yang bersemu merah, mungkin karena kegerahan.

"Sudah?" tanya Rendra yang langsung dijawab dengan anggukan oleh gadis di depannya.

Rendra beranjak, berniat untuk membayar makanan mereka di kasir sebelum akhirnya Destri menyeletuk, "Ayo langsung ke mobil aja. Makanannya sudah aku bayar semua."

Laki-laki itu mendelik kaget, "Serius?"

"Iya. Serius. Memangnya kenapa?"

Rendra menghela napas pelan.

Astaga. Destri benar-benar menghancurkan ego Rendra sebagai seorang laki-laki.

.

Rendra menyapukan jemarinya di antara helai rambut sambil mengamati pemandangan lampu kota. Tangan kanannya menggenggam segelas air putih dingin, yang diteguknya perlahan sambil berjalan ke sofa.

Laki-laki itu duduk dan menarik napas panjang. Lantas menghitung berapa lama sudah dia memutuskan untuk tinggal di apartemen, berpisah dengan kedua orangtuanya.

Tiga tahun?

Atau empat?

Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali ia tidur di kasurnya yang ada di rumah. Mungkin sejak kuliah semester enam, kalau ia tidak salah ingat.

Rendra ingat dulu saat awal dia tinggal seorang diri, ia sering sekali membawa temannya ke apartemen. Berpesta, kemudian menginap ramai-ramai. Tak lupa juga membawa beberapa perempuan silih berganti untuk bersenang-senang.

Bahkan sampai setelah ia mengenal Destri dan jatuh cinta pada gadis itu pun, ia masih terus bermain-main dengan gadis lain.

Satu-satunya yang berhasil membuat hasrat Rendra berhenti untuk bersenang-senang dengan banyak gadis adalah fakta kalau dia pernah bercinta dengan seorang gadis penderita HIV.

Rendra ingat jelas kalau gadis itu adalah seorang primadona kampus di angkatannya. Gadis itu selalu berusaha mendekati Rendra dan menggoda dia sampai akhirnya mereka melakukannya.

Besoknya, gadis itu tidak masuk kuliah. Dua bulan setelahnya, gosip meluas ke seantero kampus kalau gadis itu didiagnosa HIV, dan itulah sebabnya kenapa ia tidak pernah masuk lagi sampai masa wisuda mereka.

Setelah berita itu ramai, Rendra yang panik langsung melakukan check-up di rumah sakit. Beruntungnya, saat itu rumah sakit menyatakan kalau Rendra sehat dan baik-baik saja.

Namun, tentu saja, berita itu berhasil membuat Rendra trauma sedikit, yang berakhir dengan berhentinya kebiasaan buruk bersenang-senang dengan banyak wanita.

Destri saja cukup, Rendra membatin. Tersenyum sendiri.

Tangannya bergerak mengambil ponsel, mencoba mencari akun sosial media gadisnya. Tidak sulit menemukannya karena ternyata Raya sudah berteman dengan gadis itu.

Sebelum meng-klik "Follow", laki-laki itu menyusuri foto-foto yang ada di laman media sosial Destri.

Hanya ada beberapa puluh foto di akun Destri. Sebagian besar adalah foto pemandangan. Ada satu foto yang menarik perhatian Rendra, yaitu foto tulisan di kertas. Sebuah puisi yang di-tag ke seorang laki-laki dengan profil privat.

"John de Joanne? Kayak pernah denger."

Suara screen capture terdengar. Profil itu kini tersimpan di galeri Rendra, menunggu sampai Rendra tahu siapa gerangan laki-laki yang di-tag dalam puisi penuh cinta yang Destri buat.

Melanjutkan rasa ingin tahunya, laki-laki itu kini kembali ke laman Destri dan menyusuri foto-foto yang ada di sana. Mata Rendra membesar saat melihat foto Destri yang tersembunyi di antara slide foto-foto pemandangan.

Foto itu diambil saat matahari terbenam. Tubuh Destri terlihat seperti siluet yang sempurna. Dari balik cardigan tipis yang dia gunakan, Rendra bisa melihat bikini yang melekat sempurna di tubuh Destri.

Kemudian, ketika Rendra menggulir foto yang lain, semakin banyak foto Destri muncul. Semuanya diambil di pantai, mengenakan bikini.

Laki-laki itu menelan ludah.

Kini, Rendra bisa memaklumi sebutan body goals yang ditujukan ke Destri. Karena memang nyatanya gadis itu... body goals.

Selama ini, Rendra selalu melihat Destri dengan pakaian yang longgar dan celana yang modelnya lurus. Ia bahkan tidak pernah melihat Destri mengenakan celana pendek sekalipun.

Ternyata di balik itu ....

Rendra memperhatikan lagi baik-baik foto Destri saat gadis itu tengkurap di atas pasir dan membiarkan tubuhnya disapu ombak. Gadis itu tersenyum senang meski anak rambutnya berantakan dan menutupi sebagian wajahnya.

Tidak, Rendra tidak melihat senyum Destri. Pandangan laki-laki itu langsung terpusat pada belahan dada dan juga bokong Destri sejak foto itu muncul.

Rendra masih seorang laki-laki tulen. Andai saat ini bukan foto Destri yang ia lihat, mungkin ia tidak akan seburuk ini.

Iya, sangat buruk sampai akhirnya ia tidak bisa menahan diri to touch himself.

[ ]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status