Share

[3] Si Kembar Beda Usia

Aku menguap lebar saat gorden kamar dibuka oleh Mama. Matanya ikut mengernyit saat sinar matahari memasuki jendela.

"Pagi, Des."

Aku terduduk sambil mengucek mata, "Pagi, Ma."

Jika kalian mengira membangunkan aku di pagi hari adalah kegiatan rutin Mama, kalian salah besar.

Mama tidak pernah membangunkan aku di pagi hari kecuali jika memang ada hal yang benar-benar penting yang harus segera aku lakukan.

"Oma demam semalam, dan sampai sekarang demamnya gak turun juga. Mama, Papa, sama Opa bakal ke rumah sakit. Kamu tolong jaga adik-adik, ya."

"Oma demam?"

Mama mengangguk cepat, tampak tidak mau berlama-lama berbicara denganku. "Iya, tiga puluh delapan derajat. Kamu pesan makanan aja nanti kalau gak mau masak. Di kulkas sebenarnya ada--"

"Ma, it's okay. Aku tahu apa yang harus aku lakuin kok."

Mama menghela napas, berusaha menenangkan diri. "Thank you, Dear," ucapnya, lantas mengecup dahiku. "Mama berangkat dulu, ya. Adik-adikmu masih tidur semua."

Aku mengangguk, membiarkan Mama setengah berlari keluar dari kamarku.

Wajar kalau Mama sepanik itu. Oma pernah didiagnosa gejala stroke oleh dokter, dan sejak saat itu, Mama mulai membatasi asupan makanan Oma. Dan gejala stroke itu terdeteksi saat Oma demam tinggi sampai tidak sadarkan diri.

Aku berdiri dari atas kasur saat mendengar pintu pagar dibuka. Dari jendela kamar, aku lihat Opa yang tampak panik hanya mengenakan celana pendek dan sandal rumah, langsung memasuki mobil begitu saja. Sementara Mama tergesa-gesa menutup pintu pagar, tanpa menguncinya.

Semoga Oma baik-baik saja.

Denting notifikasi mengalihkan perhatianku. Ponsel pintar yang aku letakkan di atas laci bergetar dua kali.

Naraya_ has started following you.

Kuintip kolom notifikasi sambil menahan senyum.

Semalam, setelah menghabiskan waktu beberapa jam stalking akun media sosial Raya, aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti akun I*******m-nya. Kuabaikan rasa minder karena menjadi satu-satunya wanita yang biasa saja di antara puluhan ribu pengikut Raya.

Sungguh, aku tidak mengharapkan Raya akan mengikuti akunku juga, tapi ternyata Tuhan lebih tahu apa yang ada di dasar hati hamba-Nya.

Siapa juga coba yang tidak mau di-follow oleh laki-laki ganteng dan tenar seperti Raya?

Aku duduk di kursi dan kembali stalking. Memperhatikan tiap post Raya yang selalu dikomentari oleh banyak wanita dari berbagai latar belakang.

Sebagian besar sih model.

Model yang merangkap menjadi dokter.

Model yang merangkap menjadi pengacara.

Model yang merangkap sebagai pengusaha.

Intinya, sebagian besar dari mereka adalah wanita cantik dan juga cerdas.

Aku menghela napas. Kini mulai menggerakkan jariku untuk stalking pada salah satu gadis yang ada di dalam post Raya. Wajahnya sangat Indonesia. Kulitnya sawo matang, senyumnya ramah dan elegan. Rambutnya hitam legam, begitu pula warna bola matanya.

Thalita Maharani.

Bukan model, tapi laman akun media sosialnya penuh dengan fotonya saat mengajar anak-anak terlantar di bawah jembatan yang sangat aku kenal.

Fotonya bersama Menteri Pendidikan.

Fotonya saat menjadi pembicara di Hari Pendidikan Nasional.

Aku menghela napas, lagi.

Kali ini memang bukan model, tapi Duta Pendidikan. Tetap saja, aku bukan tandingannya.

Tapi, apa hubungannya dengan Raya, ya? Mereka berdua kelihatan dekat di foto itu.

Mereka pacaran?

"Kak Des!"

Aku terhenyak saat mendengar teriakan adikku di depan pintu kamar. Kedua alisnya bertaut sebal, kakinya dihentakkan saat masuk ke kamar.

"Kak Des dari tadi dipanggilin kok diem aja, sih?!"

"Eh, maaf gak dengar. Kenapa, Yan?" Aku mengunci ponselku dan berdiri, mendekati adik laki-lakiku yang masih berumur 6 tahun.

"Biyan laper. Kak Mada juga."

Aku mendengus. Mada adalah adik pertamaku, usianya sudah tujuh belas, tapi tidak bisa melakukan sedikitpun pekerjaan rumah, termasuk menggoreng telur atau memasak mie instan.

"Iya, iya, bentar. Kakak sikat gigi sama cuci muka dulu, ya. Kamu mau makan apa?"

"Hm...," Biyan tampak berpikir keras, "roti bakar, deh."

"Oke. Sekarang tunggu di bawah, ya. Kakak siap-siap dulu."

Wajah Biyan berubah sumringah. Ia langsung berlari dan menutup pintu kamarku keras-keras.

Pantas saja engsel pintu di rumah ini tidak berfungsi dengan baik.

Untung saja masih kecil, masih aman dari omelanku.

.

Kamar inap Oma berada di ujung koridor. Di depan kamarnya, tampak beberapa orang duduk dan berbincang.

Mataku menyipit saat menyadari bahwa orang-orang itu adalah Papa, Pak Hendrawan, dan juga beberapa orang laki-laki yang tidak aku kenal.

Aku tersenyum sambil agak membungkuk saat melewati mereka. Biyan langsung duduk di atas pangkuan Papa, sementara aku dan Mada masuk ke kamar inap Oma.

Kamar inap Oma wangi, tidak berbau obat sama sekali. Di atas ranjang, Oma sedang memejamkan mata. Entah tidur atau sedang menahan sakit kepala.

Di sofa, Mama dan Nyonya Hendrawan sedang berbicang pelan. Mereka tersenyum saat melihatku. Mama langsung berdiri dan mengambil barang bawaan kami, lantas meletakkannya di dalam lemari tv.

Di samping ranjang, seorang pria berjas putih berdiri sambil berbicara dengan laki-laki yang lain--Narendra.

Rendra tersenyum dan agak bergeser, seolah mempersilakan aku untuk melihat kondisi Oma.

"Beliau gak apa-apa. Tadi sudah kami beri obat untuk menurunkan tekanan."

Aku menganggukkan kepala, memandangi Oma yang kelihatannya memang benar-benar tertidur.

"Terima kasih," ujarku kepada Pak Dokter.

Pak Dokter menganggukkan kepala, kemudian menepuk bahu Rendra beberapa kali sebelum akhirnya keluar dari ruangan.

Aku dan Rendra sama-sama diam. Aku mengamati Oma, dan Rendra, tampaknya diam-diam mengamati aku.

"Kamu gak apa-apa?" tanyanya kemudian.

Rendra berdiri tepat di sebelahku.

Aku tidak pernah berada di posisi sedekat ini dengannya. Sampai samar-samar, aku bisa mencium aroma tubuhnya yang segar.

Bagaimana ya mendeskripsikannya....

Aromanya seperti hembusan angin laut. Samar, sangat samar. Tapi... segar.

Aku mengucek hidung, berusaha mengalihkan fokus.

"Hm... kenapa-kenapa, sih," jawabku, sekenanya. Tidak bisa berpikir lama untuk jawaban apa yang sekiranya lebih baik.

"Sudah makan?"

Aku menggelengkan kepala.

"Kamu belum makan, Des?" Mama menimpali dari belakang. Aku menoleh dan nyengir.

Dari gerak wajah Mama, aku tahu kalau Mama sangat ingin mengomel, tapi menahan diri karena saat ini sedang banyak orang.

"Saya temani Destri makan di kantin ya, Tante."

Ucapan Rendra tidak butuh persetujuan. Laki-laki itu menoleh padaku sambil mengangkat alis, aku mengalihkan pandang secara bergantian dari Rendra, Mama, dan Nyonya Hendrawan.

"Atau mau saya belikan makanan biar kamu bisa makan di sini?" tanyanya lagi.

Aku lekas menggeleng. Terlalu merepotkan orang lain.

Rendra tersenyum, "Ayo."

.

"Buburnya kamu aduk?" Rendra mengangkat alis saat melihat aku memutar sendok di dalam bubur.

Kupandangi bubur ayam Rendra yang masih rapi. Aku nyengir, "Iya."

Rendra tertawa kecil, mempersilakan aku untuk makan sebelum akhirnya ia ikut makan.

Diam-diam, aku pandangi Rendra dengan tatapan menilai.

Rendra cukup terlihat rapi dibandingkan dengan Raya. Raya adalah trendsetter, sementara Rendra adalah tipe laki-laki CEO sempurna yang selalu menjadi tokoh utama dalam fiksi masa kini.

Aku bisa mendefinisikan Rendra sebagai neat and tidy.

Sedangkan Raya adalah young and free.

Dua kepribadian yang sebenarnya sangat bertolak belakang.

Meskipun begitu, keduanya sama-sama rupawan.

Rendra dan Raya punya garis rahang yang sama-sama tegas. Hidung Rendra beberapa mili lebih mancung dibanding milik Raya, tapi mata Raya lebih tajam daripada mata Rendra.

Bibir Raya lebih penuh, sementara bibir Rendra tampak tipis tapi lengkungannya terbentuk sempurna.

Aku menahan napas dan menelan ludah.

"Buburnya gak enak?"

Aku lekas menggeleng dan memasukkan sesuap bubur ke mulut. Terlalu lama mengamati Rendra membuatku hilang fokus.

Diam-diam aku berpikir, kalau saja rentang usia mereka tidak jauh, mungkin mereka sudah dikira kembar.

"Ini tahun terakhir kamu kuliah, kan?"

Pertanyaan dari Rendra membuatku kehilangan napsu makan. Aku bisa menduga-duga kemana arah pembicaraan ini--pasti tidak jauh-jauh dari pembahasan tentang rencananya melamarku.

"Iya," aku mengangguk. "Rencananya setelah ini mau langsung lanjut pasca sarjana," ujarku, sekenanya. Padahal hal itu ada dalam urutan terakhir. Aku ingin bersantai-santai dulu sejenak setelah pusing kuliah selama 4 tahun.

"Wah. Serius?" Rendra memandangiku takjub. "Rencananya mau ambil S2 dimana?"

Aku berpikir agak lama. "Bandung, mungkin."

"Saya punya temen di kampus ternama di Bandung. Kebetulan dia dosen di sana."

Aku menerawang.

Berapa, ya, kira-kira usia Rendra?

Aku kira kami sepantaran karena wajahnya tidak terlihat tua. Tapi, prestasi pekerjaannya itu sudah segudang, loh. Butuh waktu minimal 5 - 6 tahun agar seseorang bisa sesukses Rendra.

Jangan-jangan aku beda 10 tahun dengannya!

"Des? Kok bengong?"

Aku tergagap.

Bagaimana ya cara menanyakan umur seseorang agar tetap terdengar sopan....

Oh.

"Denger-denger kampus kita sama, ya?"

Rendra tertawa kecil, "Iya. Saya tiga tahun di atas kamu."

Aku menaikkan satu alis. Terkejut.

"Kita sering papasan waktu kuliah umum. Gak pernah sadar, ya?"

Aku menggelengkan kepala, sungkan.

Ada ratusan mahasiswa yang hadir saat kuliah umum. Mana mungkin aku sempat mengamati satu demi satu. Toh kalau aku melakukannya, aku juga pasti sudah lupa wajah mereka beberapa jam berikutnya.

"Kamu ingat Profesor Adnan?"

"Yang agak nyebelin itu?"

Rendra tertawa, "Iya, yang agak nyebelin itu. Sejak kamu telat dan diminta tutup pintu dari luar, saya gak bisa berhenti buat gak ngeliatin kamu."

A lil bit creepy, to be honest. Rasanya kayak ada seseorang yang tiba-tiba mengaku kalau selama ini ia menguntit aku.

Tapi, siapa juga yang tidak akan ingat wajahku saat itu. Profesor Adnan jelas-jelas membuatku keluar dari kelas yang mati-matian tetap berusaha aku ikuti, setelah berlari dari Gedung A ke Gedung C yang jaraknya hampir satu kilo!

Aku bahkan takut membayangkan bagaimana wajahku saat itu.

Berkeringat. Napas terengah. Rambut berantakan.

Shit. A mess.

Jelas saja semua orang yang ada di ruangan itu akan mengingatku sepanjang masa.

"Kamu nangis waktu itu."

Aku mengerutkan kening, "Gak! Siapa juga yang bakalan nangis karena diusir dari kelas."

"Tapi mata kamu merah. Trus pipi dan hidung kamu juga basah, bawah matanya apa lagi."

"I--itu keringat." Aku mendengus, langsung menundukkan kepala dan kembali makan.

Rendra tertawa puas. Lantas meminta maaf meski kemudian ia terus mengungkit kembali cerita itu.

Hari itu, aku ngobrol banyak dengan Rendra. Awalnya aku kira Rendra sangat kaku dan formal, ternyata dia gak seburuk itu.

Rendra juga cerita banyak tentang studinya. Termasuk usahanya yang sudah ia rintis sejak ia masih seorang bocah SMA.

Ngomong-ngomong, Rendra benar-benar seorang CEO. Ia tidak mau menyebutkan perusahaannya padaku, katanya biar nanti aku sendiri yang tahu.

Di akhir hari, saat aku baru saja selesai mandi dan merebahkan diri di atas kasur, ponselku berdenting dua kali, satu notifikasi masuk.

NRendra has started following you.

Aku memandangi layar ponselku lama. Menimbang-nimbang apakah aku harus mengikutinya balik.

Beberapa menit kemudian, jempolku menekan tombol 'Ikuti'.

Well, gak ada salahnya mengikuti kembali. Kami kan teman.

[ ]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status