Share

Bab 8

Author: Ulya Faudiyah
last update Huling Na-update: 2025-03-14 21:51:31

"Kenapa kamu selalu menghindar, Za?"

Suara Nadia terdengar pelan, tapi ada ketegasan di dalamnya. Reza yang baru saja masuk ke ruang tamu langsung terhenti. Matanya menatap perempuan di hadapannya dengan ekspresi dingin, tetapi ada ketegangan dalam sikapnya.

"Aku nggak menghindar," jawab Reza, menekan nada suaranya. "Aku cuma nggak mau ada masalah baru."

Nadia tersenyum miring, menutup jarak di antara mereka. "Masalah baru? Atau kamu takut menghadapi perasaan sendiri?"

Reza mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Kita udah selesai, Nad."

"Tapi aku belum."

Hening.

Reza menatap Nadia dengan mata tajam, tapi perempuan itu tetap berdiri tegak, penuh keyakinan.

"Aku nggak pernah benar-benar mencintai Bayu," lanjut Nadia, nadanya lebih pelan, lebih dalam. "Aku pergi karena keluarga kamu, Za. Karena tekanan dari mereka. Bukan karena aku pengin."

Reza mengalihkan pandangannya, dadanya terasa sesak. Dia tahu betul bagaimana ibunya bisa menghancurkan seseorang dengan gengsinya yang berlebihan. Tapi bukan berarti itu membenarkan apa yang Nadia lakukan.

"Kamu nggak ngerti apa yang aku alami selama ini," lanjut Nadia lagi, kali ini dengan suara bergetar. "Aku nggak pernah benar-benar bisa melupakan kita, Za."

"Nadia, jangan mulai lagi," potong Reza, suaranya lebih berat. "Kamu yang pergi. Kamu yang milih buat ninggalin semuanya. Aku—"

"Kamu nggak pernah mencoba mempertahankan aku!" sergah Nadia, suaranya meninggi. "Kamu diam aja, Za! Kamu biarin aku pergi, seolah aku bukan siapa-siapa!"

Reza terdiam. Pernyataan itu seperti tamparan baginya.

"Kamu nggak pernah ngerti rasanya jadi aku," bisik Nadia. "Aku nggak pernah punya pilihan, Za."

Reza mengusap wajahnya dengan kasar. Kepalanya terasa penuh. Sejak awal, hubungannya dengan Nadia memang nggak pernah sederhana. Mereka jatuh cinta, tapi selalu ada yang menghalangi. Keluarganya. Ekspektasi. Keadaan.

Tapi sekarang?

Sekarang ada Aisyah.

Dan itu membuat segalanya semakin kacau.

Di sudut ruangan, Aisyah berdiri terpaku.

Tangannya mencengkeram ujung kerudungnya erat, jantungnya berdebar tak karuan.

Dia nggak bermaksud menguping. Tapi langkahnya yang hendak ke dapur mendadak terhenti ketika suara Nadia memenuhi ruangan.

"Aku nggak pernah punya pilihan, Za."

Kalimat itu menggema di kepalanya.

Sejak awal, dia tahu dirinya hanya "pengganti."

Pernikahan ini bukan karena cinta. Reza menikahinya karena paksaan keluarga. Sementara di hati laki-laki itu, masih ada Nadia.

Dan Nadia masih ingin kembali.

Aisyah menelan ludah, rasanya sulit. Hatinya seperti diremas.

Dia harus pergi.

Reza masih menatap Nadia, berusaha memilah-milah pikirannya. Dia nggak bisa menyangkal bahwa dulu dia mencintai Nadia. Tapi setelah semua yang terjadi…

"Kamu nggak bisa datang seenaknya dan minta semuanya balik seperti dulu," ujar Reza, nada suaranya tajam. "Dunia nggak berjalan seperti itu, Nadia."

Nadia tersenyum kecut. "Jadi kamu bahagia sekarang?"

Reza terdiam.

Bahagia?

Entahlah.

Tapi Aisyah...

Sejak perempuan itu datang ke hidupnya, ada sesuatu yang berubah.

Dia nggak bisa mendeskripsikannya.

Aisyah bukan perempuan yang berusaha menarik perhatiannya. Dia diam, menerima semuanya dengan ketenangan yang kadang justru membuatnya frustrasi. Tapi di balik ketenangan itu, ada keteguhan hati yang nggak semua orang punya.

Reza menarik napas dalam.

"Nad, dengerin aku," katanya, lebih lembut kali ini. "Aku udah punya istri."

Nadia menegang. "Tapi kamu nggak mencintainya, kan?"

Reza mengatupkan rahangnya. Dia nggak bisa menjawab pertanyaan itu.

Dan keheningan itu sudah cukup jadi jawaban bagi Nadia.

Aisyah berdiri di depan pintu kamarnya, tangan gemetar saat memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas kecil.

Dia nggak bisa tinggal di sini lebih lama.

Nggak bisa terus menunggu sesuatu yang nggak akan pernah dia miliki.

Tepat saat dia hendak membuka pintu, suara berat itu terdengar dari belakangnya.

"Kamu mau ke mana?"

Aisyah memejamkan mata sesaat sebelum berbalik.

Reza berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam, tapi ada kebingungan di sana.

Aisyah menggenggam tasnya lebih erat.

"Aku mau pergi sebentar," jawabnya pelan.

Reza melangkah mendekat. "Pergi ke mana?"

Aisyah menunduk, menghindari tatapan itu. "Aku… nggak tahu."

Reza mengerutkan kening. "Kenapa tiba-tiba?"

Aisyah menggigit bibirnya. "Aku cuma butuh waktu, Mas."

"Tapi kamu nggak bisa pergi tanpa bilang ke aku," suara Reza terdengar lebih dalam. "Ada sesuatu yang terjadi?"

Aisyah menahan napas. Ada banyak yang ingin dia katakan. Tapi untuk apa?

Dia bukan siapa-siapa bagi laki-laki ini.

Aisyah mengangkat wajahnya, memaksakan senyum kecil.

"Kenapa, Mas?" tanyanya pelan. "Apa aku nggak boleh pergi?"

Reza menatapnya, matanya mendalam, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Aisyah tampak begitu gelisah?

"Nggak, bukan itu maksudku," jawab Reza, suaranya mulai pelan. "Tapi aku khawatir. Kenapa kamu tiba-tiba ingin pergi?"

Aisyah menghela napas. "Karena aku merasa terjebak, Mas. Aku nggak ingin jadi penghalang antara kamu dan Nadia."

Reza terdiam. Dia merasa seperti terjepit di antara dua perempuan yang sama-sama berarti baginya. Satu yang merupakan cinta pertamanya, dan satu lagi yang memberinya kesempatan untuk memulai kembali.

"Nadia itu masa lalu," ucap Reza, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Aku sudah berusaha move on. Tapi dia terus muncul."

"Nadia masih mencintaimu, Za," Aisyah berusaha tegas. "Dan kamu juga masih menyimpan perasaan untuknya."

Reza menggelengkan kepala. "Itu tidak adil untukmu, Aisyah. Aku sudah berkomitmen padamu."

"Komitmen tidak selalu berarti cinta, Za," Aisyah menjawab, suaranya bergetar. "Aku tidak ingin menjadi pilihan kedua."

Reza merasa hatinya tertekan. "Aisyah, aku…"

"Kamu butuh waktu untuk berpikir, kan?" Aisyah memotong, matanya mulai berkaca-kaca. "Kalau begitu, biarkan aku pergi. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri."

Reza merasa seolah seluruh dunia menantangnya. Dia tidak ingin kehilangan Aisyah, tetapi dia juga tidak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Nadia.

"Jangan pergi," akhirnya Reza berkata, suara lembutnya penuh harap.

Aisyah menunduk, air mata mulai menggenang. "Kalau kamu masih terjebak antara aku dan dia, bagaimana aku bisa bertahan?"

Reza meraih tangan Aisyah. "Tunggu, Aisyah. Kita bisa mencari jalan keluar dari ini. Kita bisa bicara, mencari solusinya."

Aisyah menarik tangannya. "Aku butuh waktu, Mas. Dan mungkin kita butuh ruang untuk berpikir."

Reza merasa hatinya hancur. "Tapi aku tidak ingin kehilanganmu."

Aisyah mengusap air mata yang jatuh di pipinya. "Kadang, kehilangan adalah cara untuk menemukan diri kita sendiri."

Reza menghela napas, merasa putus asa. Dia tidak ingin Aisyah pergi, tetapi dia juga tahu bahwa semua ini tidak sehat bagi mereka berdua.

Aisyah mengangkat tas kecilnya dan membalikkan badan. "Aku akan pergi sekarang. Aku akan kembali ketika aku sudah siap."

Reza ingin menghalangi, tapi dia tahu bahwa jika dia melakukan itu, semua akan semakin rumit. "Aisyah…" Dia memanggil lembut, tetapi Aisyah sudah melangkah pergi.

Pintu ditutup rapat di belakangnya, meninggalkan Reza sendirian di ruang tamu, terjebak dalam perasaannya yang berkecamuk.

Dia merasakan seolah semua pilihan di hadapannya adalah pilihan yang sulit. Dia mencintai Aisyah, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa mengabaikan masa lalunya dengan Nadia.

"Kenapa semua ini harus terjadi?" bisiknya pada diri sendiri.

Reza merasakan beban di dadanya semakin berat. Dia harus menemukan cara untuk menyelesaikan semua ini. Tetapi bagaimana?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 28

    "Kamu pikir dengan melakukan semua ini, kami akan menerimamu?"Suara Ibu Reza menggema di ruang makan keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah Aisyah yang berdiri tegak di seberang meja. Di sekelilingnya, suasana tegang. Reza duduk di samping, ekspresinya sulit ditebak.Aisyah menelan ludah, tapi dia tidak menunduk. "Saya tidak melakukan ini untuk diterima, Bu. Saya melakukannya karena saya ingin."Ibu Reza mengangkat alis. "Ingin?"Aisyah mengangguk. "Saya ingin berada di sisi Mas Reza, dalam keadaan apa pun."Hening. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Laila, yang berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Reza sendiri belum berkata apa-apa, tapi tangannya terkepal di atas meja, menandakan ketidakpuasannya terhadap situasi ini."Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara seperti ini?" suara Ibu Reza penuh sindiran. "Dari awal, kamu hanya diam, menunduk, seolah tidak punya pendirian. Kamu tidak seperti Nadia."Jantung Aisyah mencelos mend

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 27

    "Aku bukan bayangan Mbak Nadia, Mas."Suara Aisyah bergetar, tapi sorot matanya teguh. Reza menatapnya, terdiam beberapa saat. Di ruangan apartemen mereka yang remang, ketegangan terasa seperti udara yang mengental, menunggu untuk dipecahkan."Aku tahu," suara Reza lebih pelan, tetapi tak lantas mereda. "Dek Ais, aku nggak pernah menganggap kamu begitu."Aisyah menelan ludah. "Tapi Mas Reza selalu ragu-ragu. Aku bisa merasakannya."Reza mengusap wajahnya, napasnya berat. "Aku hanya butuh waktu...""Waktu untuk apa?" potong Aisyah. "Untuk menyadari kalau aku benar-benar istri Mas Reza? Untuk melihat aku bukan cuma seseorang yang hadir karena keadaan?"Hening. Suara detak jam di dinding terasa begitu jelas, seolah mengikuti irama ketegangan di antara mereka. Reza menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Aku memang butuh waktu, Aisyah. Tapi bukan untuk itu."Aisyah diam, menunggu. Dia tahu bahwa di balik setiap kata Reza terdapat sebuah ketulusan yang terpendam."Aku butuh waktu

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 26

    "Dek Ais, aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku harus ada di sana."Suara Reza terdengar tegas. Aisyah, yang tengah duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seperti arus listrik yang tak terlihat namun sangat kuat."Mas Reza, aku nggak mau merepotkan..." Reza berdecak, melangkah mendekat. "Kamu lulus hari ini. Hari penting dalam hidup kamu. Suamimu sendiri harus hadir, bukan?"Aisyah menggigit bibir. "Ibu nggak akan suka.""Ibu bisa berpikir sesukanya." Reza menggerakkan tangannya seolah menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghalangi mereka.Jantung Aisyah berdebar. Sejak pernikahan mereka, Reza memang selalu membela dirinya. Tapi tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan Reza dan ibunya. Rasa bersalah menyergapnya."Tapi, Mas..." Reza menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. "Nggak ada tapi. Aku suami kamu, dan aku mau ada di

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 25

    "Kenapa, Za? Kenapa kamu berubah gini?" Suara Nadia bergetar, tapi Reza tetap menatapnya tanpa ekspresi. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu seolah menekan setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya. "Aku nggak berubah, Nad. Justru ini pertama kalinya aku bersikap seperti yang seharusnya."Nadia menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya sesak—seolah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang selama ini dia pikir bisa dia kendalikan."Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bisa ninggalin aku, Za. Kamu tahu itu!" Reza mendengus pelan."Kamu terlalu percaya diri, Nad."Nadia mengerjap, seolah belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Sejak awal, dia selalu percaya bahwa Reza akan tetap ada untuknya—entah sebagai pria yang dia cintai, atau setidaknya seseorang yang tidak bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda."Kamu masih marah soal yang kemarin, kan?" Reza menghela napas. "Bukan cuma kemar

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 24

    Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin dan tegang. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantulkan bayangan samar di dinding, seolah mencerminkan pergolakan yang sedang berlangsung di antara dua wanita yang berdiri saling berhadapan. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, jilbab panjangnya yang berwarna krem menjuntai hingga menutupi sebagian pundaknya. Tangannya tersembunyi di balik kain itu, namun jika dilihat lebih dekat, jemarinya tampak mengepal erat, menahan gelombang emosi yang bergejolak di dadanya. Suaranya yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar, namun matanya—mata yang biasanya lembut dan penuh kehangatan—kini menatap lurus ke arah Nadia tanpa sedikit pun gentar."Apa maumu sebenarnya, Mbak Nadia?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara ketegangan dan kemarahan yang ia coba tahan.Nadia, yang duduk santai di sofa empuk dengan kaki disilangkan, hanya tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya; ada sesuatu yang dingin dan licik ters

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 23

    “Apa yang kamu lakukan, Mbak Nadia?” Suara Aisyah bergetar, namun ada kekuatan yang tersirat dalam nada bicaranya. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang berdiri di depannya, sorot keteguhan yang belum pernah Reza saksikan sebelumnya memenuhi wajah lembut Aisyah. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan suasana yang tegang seolah udara di sekitar mereka ikut mengeras.Nadia tersenyum sinis, lengkungan bibirnya penuh dengan kepahitan yang sudah lama terpendam. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu merebut semuanya dariku, Aisyah? Aku tahu semua rahasia keluarga ini—setiap detail kecil yang disembunyikan dengan rapi di balik senyum manis dan kata-kata bijak. Dan aku akan memastikan kamu menyesal telah masuk ke dalamnya, menjejakkan kakimu di dunia yang bukan milikmu.”Reza melangkah maju, tubuhnya yang tinggi berdiri tegak di antara Aisyah dan Nadia, seolah menjadi benteng pelindung bagi wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidu

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status