Share

Bab 6

Author: Ulya Faudiyah
last update Last Updated: 2025-03-13 21:43:17

"Tok! Tok! Tok!"

Ketukan di pintu depan menggema di seluruh rumah. Aisyah yang sedang membereskan meja makan di ruang tengah spontan menoleh ke arah sumber suara. Matanya memandang sekilas ke arah dapur, di mana Reza baru saja menaruh gelas ke dalam wastafel.

"Ais, bisa bukain pintunya?" suara Reza terdengar dari dapur.

Aisyah mengangguk kecil sebelum melangkah ke depan. Tangannya menggenggam gagang pintu, menariknya perlahan. Namun, begitu melihat siapa yang berdiri di balik pintu, napasnya tertahan sejenak.

Nadia.

Perempuan itu berdiri dengan angkuh di depan pintu, mengenakan blouse putih elegan yang dipadukan dengan rok panjang hitam. Wajahnya tetap secantik yang Aisyah ingat, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih suram, lebih lelah.

"Aisyah," Nadia menyebut namanya dengan nada yang sulit diartikan, seperti ada ketidaksukaan yang terpaksa ditahan. "Reza ada?"

Aisyah tidak langsung menjawab. Ada perasaan aneh yang menyusup di dadanya. Sejak awal, keberadaannya di rumah ini sudah terasa seperti tamu yang tidak diundang. Dan kini, kehadiran Nadia seperti mempertegas perasaan itu.

"Ada," jawab Aisyah akhirnya, suaranya lembut tetapi tegas. "Mas Reza ada di dapur."

Tanpa menunggu izin lebih lanjut, Nadia melangkah masuk begitu saja. Aroma parfum mewahnya menyapu ruangan saat dia berjalan melewati Aisyah.

Reza, yang baru saja keluar dari dapur, menghentikan langkahnya begitu melihat Nadia. Ekspresinya berubah kaku.

"Nadia?"

Nadia menatapnya dengan mata yang sedikit memerah. "Kita harus bicara."

Reza melirik sekilas ke arah Aisyah yang masih berdiri di dekat pintu, sebelum kembali menatap Nadia. "Kalau ini soal masa lalu—"

"Bukan," potong Nadia cepat. "Ini soal sekarang. Aku butuh bantuanmu."

Ruangan itu mendadak sunyi. Aisyah menggenggam ujung bajunya dengan erat, mencoba menahan perasaan tidak nyaman yang mulai menyusup ke dalam dirinya.

"Aku nggak bisa bantu kamu lagi, Nad," suara Reza terdengar tegas. "Aku sudah punya tanggung jawab lain sekarang."

Nadia terkekeh kecil, tetapi nadanya terdengar getir. "Aisyah?" dia melirik ke arah perempuan yang masih berdiri canggung. "Dia tanggung jawabmu?"

Aisyah menundukkan kepala, menahan diri untuk tidak terbawa emosi. Dia tahu posisinya di rumah ini masih dipertanyakan oleh banyak orang, termasuk oleh dirinya sendiri.

Reza mendesah pelan. "Ya, dia istriku."

Jawaban itu membuat Nadia diam sejenak. Ada sesuatu dalam matanya yang sulit diartikan—antara kecewa dan marah, tetapi juga seolah sudah menduganya sejak awal.

"Lalu, apa aku harus pergi sekarang?" tanya Nadia, suaranya penuh tantangan.

Aisyah merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Dia ingin mengatakan "ya", ingin mengusir bayangan masa lalu yang selalu menghantuinya di rumah ini. Tapi sebelum dia sempat membuka mulut, Reza sudah menjawab,

"Kita bicara di luar."

Kata-kata itu membuat Aisyah sedikit terkejut, tetapi dia tidak menunjukkan ekspresinya. Reza melirik sekilas ke arahnya, seolah meminta pengertiannya.

Aisyah mengangguk pelan. "Aku siapkan teh dulu."

Namun, sebelum dia sempat bergerak, Nadia sudah berseru, "Nggak usah repot-repot. Aku cuma butuh lima menit."

Reza menghela napas, lalu berjalan mendekati Nadia. Mereka berdua kemudian keluar menuju teras depan, meninggalkan Aisyah yang hanya bisa menatap punggung mereka dengan hati yang berdebar.

Di luar, angin sore berembus pelan, tetapi suasana di antara mereka berdua terasa panas. Reza menyilangkan tangan di depan dada, menatap Nadia dengan tatapan tajam.

"Jelaskan," ucapnya dingin.

Nadia menelan ludah, sebelum akhirnya berkata, "Aku dalam masalah, Za."

Reza tidak menunjukkan reaksi apa pun. "Masalah seperti apa?"

Nadia mengusap wajahnya, tampak frustasi. "Bayu."

Nama itu membuat mata Reza menyipit. "Bayu? Maksudmu mantanmu itu?"

"Dia mengancamku," suara Nadia sedikit bergetar. "Dia tahu terlalu banyak tentangku, dan dia bilang dia akan membongkar semuanya ke publik kalau aku nggak memenuhi permintaannya."

Reza mengangkat alis, nadanya terdengar skeptis. "Dan kenapa itu jadi urusanku?"

Nadia meremas jemarinya sendiri, wajahnya tampak semakin tertekan. "Karena dulu aku pernah pergi meninggalkan semuanya demi dia! Dan sekarang, dia malah ingin menghancurkan aku!"

Reza mendengus. "Jadi kamu datang ke sini supaya aku menolongmu setelah semua yang kamu lakukan?"

Nadia menggigit bibirnya. "Reza, aku tahu aku salah! Aku tahu aku sudah menyia-nyiakan kamu! Tapi tolong, kali ini aku benar-benar butuh bantuanmu!"

Reza terdiam. Ada pergulatan dalam dirinya.

Dari dalam rumah, Aisyah berdiri di balik pintu, mendengar percakapan mereka tanpa sengaja. Jari-jarinya mencengkeram lengan bajunya sendiri, perasaan tidak nyaman semakin menumpuk di dadanya.

Dia tahu Reza bukan tipe orang yang akan meninggalkan seseorang dalam kesulitan, bahkan jika orang itu adalah seseorang yang pernah menyakitinya. Dan sekarang, Nadia ada di sini—meminta pertolongannya, memainkan perasaan dan tanggung jawab yang selalu menjadi kelemahan Reza.

"Reza," suara Nadia terdengar lebih pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi."

Aisyah menahan napas.

Lalu, suara Reza terdengar, tegas dan tidak terbantahkan. "Aku nggak bisa, Nadia. Aku sudah punya tanggung jawab lain sekarang."

Aisyah membelalakkan matanya, merasakan kelegaan yang aneh.

Namun, Nadia tidak menyerah. "Jadi kamu lebih memilih dia? Gadis yang bahkan nggak benar-benar kamu cintai?"

Reza menatapnya tajam. "Ini bukan soal memilih. Ini soal prinsip."

Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar terlihat rapuh di hadapan Reza.

Reza menghela napas, lalu melanjutkan dengan nada lebih tenang, "Kamu sudah membuat pilihanmu, Nad. Dan sekarang aku juga sudah membuat pilihanku."

Keheningan menyelimuti mereka berdua.

Dari balik pintu, Aisyah menggigit bibirnya, mencoba memahami perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.

Lalu, tiba-tiba, Nadia membuka mulutnya lagi, suaranya dingin. "Kalau begitu, Reza..." Dia menatap tajam. "Apa kamu siap menghadapi apa yang akan terjadi kalau Bayu benar-benar membongkar rahasiaku?"

Reza terdiam, wajahnya menunjukkan keraguan yang dalam. "Apa maksudmu?"

Nadia berusaha mempertahankan ketenangannya. "Kamu tahu siapa Bayu. Dia tidak akan segan-segan untuk merusak hidupku. Bahkan, aku takut dia bisa melibatkanmu."

"Aku tidak takut pada Bayu," jawab Reza, tetapi nada suaranya mulai menunjukkan ketegangan. "Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Nadia membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dia tampak bingung, seolah kata-kata itu terjebak di tenggorokannya.

"Ceritakan padaku," pinta Reza, suaranya lebih lembut, menandakan bahwa dia mulai melunak. "Apa yang dia inginkan darimu?"

Nadia menarik napas dalam-dalam, berjuang melawan air mata yang hampir keluar. "Dulu, saat kita masih bersama, aku membuat kesalahan. Aku berjanji untuk tidak pernah mengkhianatinya, tetapi aku melanggar janji itu. Dan sekarang, dia ingin aku membayar harga untuk kesalahanku."

Reza menggelengkan kepalanya. "Ini semua salahmu, Nad. Kamu yang memilih untuk kembali ke dalam hidupnya."

Nadia mengangguk, wajahnya dipenuhi penyesalan. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa menghadapi ini sendiri. Aku butuh kamu."

Reza menatapnya, penuh kebingungan. "Dan jika aku memutuskan untuk membantumu, apa yang akan terjadi pada Aisyah?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 28

    "Kamu pikir dengan melakukan semua ini, kami akan menerimamu?"Suara Ibu Reza menggema di ruang makan keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah Aisyah yang berdiri tegak di seberang meja. Di sekelilingnya, suasana tegang. Reza duduk di samping, ekspresinya sulit ditebak.Aisyah menelan ludah, tapi dia tidak menunduk. "Saya tidak melakukan ini untuk diterima, Bu. Saya melakukannya karena saya ingin."Ibu Reza mengangkat alis. "Ingin?"Aisyah mengangguk. "Saya ingin berada di sisi Mas Reza, dalam keadaan apa pun."Hening. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Laila, yang berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Reza sendiri belum berkata apa-apa, tapi tangannya terkepal di atas meja, menandakan ketidakpuasannya terhadap situasi ini."Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara seperti ini?" suara Ibu Reza penuh sindiran. "Dari awal, kamu hanya diam, menunduk, seolah tidak punya pendirian. Kamu tidak seperti Nadia."Jantung Aisyah mencelos mend

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 27

    "Aku bukan bayangan Mbak Nadia, Mas."Suara Aisyah bergetar, tapi sorot matanya teguh. Reza menatapnya, terdiam beberapa saat. Di ruangan apartemen mereka yang remang, ketegangan terasa seperti udara yang mengental, menunggu untuk dipecahkan."Aku tahu," suara Reza lebih pelan, tetapi tak lantas mereda. "Dek Ais, aku nggak pernah menganggap kamu begitu."Aisyah menelan ludah. "Tapi Mas Reza selalu ragu-ragu. Aku bisa merasakannya."Reza mengusap wajahnya, napasnya berat. "Aku hanya butuh waktu...""Waktu untuk apa?" potong Aisyah. "Untuk menyadari kalau aku benar-benar istri Mas Reza? Untuk melihat aku bukan cuma seseorang yang hadir karena keadaan?"Hening. Suara detak jam di dinding terasa begitu jelas, seolah mengikuti irama ketegangan di antara mereka. Reza menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Aku memang butuh waktu, Aisyah. Tapi bukan untuk itu."Aisyah diam, menunggu. Dia tahu bahwa di balik setiap kata Reza terdapat sebuah ketulusan yang terpendam."Aku butuh waktu

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 26

    "Dek Ais, aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku harus ada di sana."Suara Reza terdengar tegas. Aisyah, yang tengah duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seperti arus listrik yang tak terlihat namun sangat kuat."Mas Reza, aku nggak mau merepotkan..." Reza berdecak, melangkah mendekat. "Kamu lulus hari ini. Hari penting dalam hidup kamu. Suamimu sendiri harus hadir, bukan?"Aisyah menggigit bibir. "Ibu nggak akan suka.""Ibu bisa berpikir sesukanya." Reza menggerakkan tangannya seolah menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghalangi mereka.Jantung Aisyah berdebar. Sejak pernikahan mereka, Reza memang selalu membela dirinya. Tapi tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan Reza dan ibunya. Rasa bersalah menyergapnya."Tapi, Mas..." Reza menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. "Nggak ada tapi. Aku suami kamu, dan aku mau ada di

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 25

    "Kenapa, Za? Kenapa kamu berubah gini?" Suara Nadia bergetar, tapi Reza tetap menatapnya tanpa ekspresi. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu seolah menekan setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya. "Aku nggak berubah, Nad. Justru ini pertama kalinya aku bersikap seperti yang seharusnya."Nadia menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya sesak—seolah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang selama ini dia pikir bisa dia kendalikan."Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bisa ninggalin aku, Za. Kamu tahu itu!" Reza mendengus pelan."Kamu terlalu percaya diri, Nad."Nadia mengerjap, seolah belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Sejak awal, dia selalu percaya bahwa Reza akan tetap ada untuknya—entah sebagai pria yang dia cintai, atau setidaknya seseorang yang tidak bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda."Kamu masih marah soal yang kemarin, kan?" Reza menghela napas. "Bukan cuma kemar

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 24

    Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin dan tegang. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantulkan bayangan samar di dinding, seolah mencerminkan pergolakan yang sedang berlangsung di antara dua wanita yang berdiri saling berhadapan. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, jilbab panjangnya yang berwarna krem menjuntai hingga menutupi sebagian pundaknya. Tangannya tersembunyi di balik kain itu, namun jika dilihat lebih dekat, jemarinya tampak mengepal erat, menahan gelombang emosi yang bergejolak di dadanya. Suaranya yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar, namun matanya—mata yang biasanya lembut dan penuh kehangatan—kini menatap lurus ke arah Nadia tanpa sedikit pun gentar."Apa maumu sebenarnya, Mbak Nadia?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara ketegangan dan kemarahan yang ia coba tahan.Nadia, yang duduk santai di sofa empuk dengan kaki disilangkan, hanya tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya; ada sesuatu yang dingin dan licik ters

  • Lamar Kakak, Nikahi Adiknya   Bab 23

    “Apa yang kamu lakukan, Mbak Nadia?” Suara Aisyah bergetar, namun ada kekuatan yang tersirat dalam nada bicaranya. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang berdiri di depannya, sorot keteguhan yang belum pernah Reza saksikan sebelumnya memenuhi wajah lembut Aisyah. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan suasana yang tegang seolah udara di sekitar mereka ikut mengeras.Nadia tersenyum sinis, lengkungan bibirnya penuh dengan kepahitan yang sudah lama terpendam. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu merebut semuanya dariku, Aisyah? Aku tahu semua rahasia keluarga ini—setiap detail kecil yang disembunyikan dengan rapi di balik senyum manis dan kata-kata bijak. Dan aku akan memastikan kamu menyesal telah masuk ke dalamnya, menjejakkan kakimu di dunia yang bukan milikmu.”Reza melangkah maju, tubuhnya yang tinggi berdiri tegak di antara Aisyah dan Nadia, seolah menjadi benteng pelindung bagi wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status