Bab 5: Tumbuhnya Rasa yang Tak Disadari
Reza menggenggam ponselnya erat-erat. Pandangannya melayang ke arah kamar Aisyah. Dia tahu berita ini akan mengubah segalanya. “Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?” suara Aisyah memecah keheningan, membuat Reza tersentak. Reza menoleh. Di sana, Aisyah berdiri dengan wajah penuh tanda tanya. Matanya memancarkan campuran emosi antara kebingungan, rasa ingin tahu, dan ketakutan. Untuk beberapa detik, Reza hanya bisa diam. Ia tahu Aisyah pantas mendapatkan jawaban, tetapi masalahnya, apa yang bisa ia katakan? “Aisyah…” Reza menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, meletakkan ponsel di atas meja. “Mas nggak mau kamu salah paham.” “Kalau begitu, jelaskan, Mas,” potong Aisyah dengan suara yang lebih tegas dari biasanya. “Siapa yang telepon? Apa hubungannya sama Mbak Nadia?” Reza duduk di sofa, mengusap wajahnya yang tampak lelah. “Orang itu bilang… dia tahu di mana Nadia sekarang.” Aisyah terdiam. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. “Mbak Nadia?” tanyanya dengan suara pelan. “Mas masih… mencari dia?” “Bukan begitu, Dek Ais,” jawab Reza cepat. “Mas cuma… Mas cuma nggak mau ada masalah baru yang bisa nyakitin kita berdua.” Aisyah menatapnya tajam. “Nyakitin kita, atau… nyakitin Mas?” Reza tidak menjawab. Dia tahu Aisyah sedang terluka, dan dia tidak ingin memperburuk keadaan. “Mas cuma mau semuanya selesai. Mas nggak mau kamu terus merasa terjebak di pernikahan ini.” Aisyah ingin membalas, tetapi hatinya terasa terlalu sesak. Dia hanya mengangguk pelan, lalu berjalan ke kamar tanpa sepatah kata lagi. Pintu tertutup dengan suara pelan, tetapi cukup untuk membuat Reza merasa semakin bersalah. Keesokan harinya, Reza memutuskan untuk mengajak Aisyah kembali ke kafe. Dia berharap, setidaknya, suasana di luar rumah bisa mengurangi ketegangan di antara mereka. Aisyah, meski masih merasa canggung, tidak menolak. “Kita mau ke kafe yang mana, Mas?” tanya Aisyah ketika mereka sudah di dalam mobil. “Kafe yang kemarin,” jawab Reza sambil tersenyum tipis. “Kemarin kamu belum sempat lihat semuanya. Mas mau kamu lebih ngerti soal bisnis ini.” Aisyah hanya mengangguk, meski dia merasa tidak yakin apa yang bisa dia bantu. Namun, di dalam hatinya, dia ingin mencoba. Mungkin dengan memahami pekerjaan Reza, dia bisa sedikit lebih dekat dengan pria itu. Sesampainya di kafe, Reza langsung sibuk menjelaskan berbagai hal. Mulai dari menu baru, strategi pemasaran, hingga rencana renovasi kecil untuk menarik lebih banyak pelanggan. Aisyah mendengarkan dengan seksama, meski beberapa istilah bisnis terdengar asing baginya. “Menu ini,” kata Reza sambil menunjuk salah satu daftar di buku menu, “sebenarnya punya potensi besar. Tapi pelanggan sering bilang harganya terlalu mahal.” Aisyah memandangi menu itu dengan seksama. “Kalau menurut Mas, kenapa mereka bilang mahal?” “Karena bahannya premium,” jawab Reza. “Tapi Mas yakin, rasa dan kualitasnya sepadan.” Aisyah mengangguk pelan, lalu berkata, “Kalau gitu, mungkin yang harus diubah bukan harganya, Mas, tapi cara promosinya. Kalau pelanggan tahu bahan dan prosesnya, mereka mungkin bakal lebih nerima harga itu.” Reza terdiam, memandang Aisyah dengan tatapan penuh kekaguman. Kata-kata istrinya itu sederhana, tetapi masuk akal. “Kamu benar, Dek Ais,” katanya akhirnya. “Mas nggak nyangka kamu bisa mikir sejauh itu.” Aisyah tersenyum kecil, merasa sedikit lega bahwa sarannya diterima. Untuk pertama kalinya, dia merasa dirinya berguna dalam kehidupan Reza. Hari itu, Aisyah membantu Reza dengan berbagai hal di kafe. Mulai dari mencatat masukan pelanggan, mengatur ulang tata letak meja, hingga berbicara dengan beberapa staf. Reza memperhatikan semuanya dari jauh, dan untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Aisyah. Gadis itu, meski pendiam dan sering terlihat canggung, sebenarnya punya ketulusan yang luar biasa. Cara dia berbicara dengan staf, senyumnya yang lembut, bahkan caranya mencoba memahami hal-hal baru dengan tekun—semuanya membuat Reza merasa ada sesuatu yang berbeda. Ketika sore tiba, Reza mendekati Aisyah yang sedang duduk di salah satu meja, mencatat sesuatu di buku kecil. “Dek Ais,” panggilnya. Aisyah menoleh, tersenyum kecil. “Iya, Mas?” “Mas mau bilang… terima kasih. Kamu banyak bantu Mas hari ini.” Aisyah menggeleng pelan. “Aku nggak ngelakuin apa-apa, Mas. Aku cuma… ya, ngasih saran aja.” “Tapi itu berarti banyak buat Mas,” jawab Reza. Suaranya terdengar tulus, dan Aisyah tidak bisa menahan perasaan hangat yang tiba-tiba muncul di dadanya. Beberapa hari setelah itu, Aisyah mulai sering ikut membantu Reza di kafe. Dia tidak hanya memberi saran, tetapi juga mulai mengambil inisiatif untuk menyelesaikan beberapa masalah kecil. Misalnya, ketika salah satu staf absen, Aisyah dengan sigap membantu di dapur, meski dia tidak terlalu ahli memasak. “Mas, aku udah coba urus laporan stok bahan ini,” kata Aisyah suatu hari sambil menyerahkan sebuah buku catatan pada Reza. “Aku nggak tahu ini benar atau nggak, tapi aku coba bikin lebih rapi.” Reza membuka buku itu, dan matanya langsung membelalak. Catatan yang biasanya berantakan kini terlihat jauh lebih terorganisir. “Ini… kamu yang bikin, Dek Ais?” Aisyah mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku cuma mau bantu aja.” Reza menatapnya dengan tatapan lembut. “Kamu nggak cuma bantu, Dek. Kamu bikin semuanya jadi lebih baik.” Aisyah tersipu. “Aku cuma ngelakuin yang aku bisa.” Reza tersenyum. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa pernikahan ini mungkin bukan sebuah kesalahan. Mungkin, Aisyah adalah orang yang tepat untuknya, meski cara mereka dipertemukan tidak ideal. Namun, kebahagiaan kecil itu tidak bertahan lama. Malam itu, ketika Reza dan Aisyah baru saja pulang dari kafe, seseorang mengetuk pintu rumah mereka dengan keras. “Aku buka, Mas,” kata Aisyah sambil berjalan menuju pintu. Dia membuka pintu, dan di sana, berdiri seorang wanita dengan wajah yang tidak asing. Wanita itu tampak lelah, tetapi masih memancarkan aura percaya diri yang sama seperti dulu. “Nadia?” Aisyah terkejut. Tubuhnya langsung membeku, sementara pikirannya berputar-putar. Reza yang mendengar suara itu segera berjalan ke pintu. Ketika dia melihat siapa yang datang, wajahnya langsung berubah. “Nad… apa yang kamu lakukan di sini?” Nadia tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak menunjukkan kebahagiaan. “Aku butuh bantuanmu, Za,” katanya dengan suara pelan. “Dan aku nggak akan pergi sampai kamu dengar apa yang aku katakan.” Aisyah hanya bisa berdiri di sana, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semua usahanya selama ini tidak ada artinya. “Apa maksudnya ini, Mas?” tanya Aisyah akhirnya, suaranya penuh dengan rasa sakit. Reza menatap Aisyah, lalu Nadia. Dia tahu, apa pun yang akan terjadi setelah ini, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi."Kamu pikir dengan melakukan semua ini, kami akan menerimamu?"Suara Ibu Reza menggema di ruang makan keluarga. Wajahnya dingin, matanya menatap tajam ke arah Aisyah yang berdiri tegak di seberang meja. Di sekelilingnya, suasana tegang. Reza duduk di samping, ekspresinya sulit ditebak.Aisyah menelan ludah, tapi dia tidak menunduk. "Saya tidak melakukan ini untuk diterima, Bu. Saya melakukannya karena saya ingin."Ibu Reza mengangkat alis. "Ingin?"Aisyah mengangguk. "Saya ingin berada di sisi Mas Reza, dalam keadaan apa pun."Hening. Suasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Laila, yang berdiri di sudut ruangan, menggigit bibirnya, terlihat gelisah. Reza sendiri belum berkata apa-apa, tapi tangannya terkepal di atas meja, menandakan ketidakpuasannya terhadap situasi ini."Kalau begitu, kenapa baru sekarang bicara seperti ini?" suara Ibu Reza penuh sindiran. "Dari awal, kamu hanya diam, menunduk, seolah tidak punya pendirian. Kamu tidak seperti Nadia."Jantung Aisyah mencelos mend
"Aku bukan bayangan Mbak Nadia, Mas."Suara Aisyah bergetar, tapi sorot matanya teguh. Reza menatapnya, terdiam beberapa saat. Di ruangan apartemen mereka yang remang, ketegangan terasa seperti udara yang mengental, menunggu untuk dipecahkan."Aku tahu," suara Reza lebih pelan, tetapi tak lantas mereda. "Dek Ais, aku nggak pernah menganggap kamu begitu."Aisyah menelan ludah. "Tapi Mas Reza selalu ragu-ragu. Aku bisa merasakannya."Reza mengusap wajahnya, napasnya berat. "Aku hanya butuh waktu...""Waktu untuk apa?" potong Aisyah. "Untuk menyadari kalau aku benar-benar istri Mas Reza? Untuk melihat aku bukan cuma seseorang yang hadir karena keadaan?"Hening. Suara detak jam di dinding terasa begitu jelas, seolah mengikuti irama ketegangan di antara mereka. Reza menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat. "Aku memang butuh waktu, Aisyah. Tapi bukan untuk itu."Aisyah diam, menunggu. Dia tahu bahwa di balik setiap kata Reza terdapat sebuah ketulusan yang terpendam."Aku butuh waktu
"Dek Ais, aku nggak mau dengar alasan apa pun lagi. Aku harus ada di sana."Suara Reza terdengar tegas. Aisyah, yang tengah duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di cermin. Tangan mungilnya mengepal di atas pangkuan. Dia merasakan ketegangan yang mengalir di antara mereka, seperti arus listrik yang tak terlihat namun sangat kuat."Mas Reza, aku nggak mau merepotkan..." Reza berdecak, melangkah mendekat. "Kamu lulus hari ini. Hari penting dalam hidup kamu. Suamimu sendiri harus hadir, bukan?"Aisyah menggigit bibir. "Ibu nggak akan suka.""Ibu bisa berpikir sesukanya." Reza menggerakkan tangannya seolah menyingkirkan semua kekhawatiran yang menghalangi mereka.Jantung Aisyah berdebar. Sejak pernikahan mereka, Reza memang selalu membela dirinya. Tapi tetap saja, dia tak ingin menjadi penyebab keretakan hubungan Reza dan ibunya. Rasa bersalah menyergapnya."Tapi, Mas..." Reza menunduk sedikit, menatap langsung ke matanya. "Nggak ada tapi. Aku suami kamu, dan aku mau ada di
"Kenapa, Za? Kenapa kamu berubah gini?" Suara Nadia bergetar, tapi Reza tetap menatapnya tanpa ekspresi. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu seolah menekan setiap kata yang ingin keluar dari mulutnya. "Aku nggak berubah, Nad. Justru ini pertama kalinya aku bersikap seperti yang seharusnya."Nadia menelan ludah. Ada sesuatu dalam tatapan Reza yang membuat dadanya sesak—seolah dia benar-benar kehilangan sesuatu yang selama ini dia pikir bisa dia kendalikan."Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak bisa ninggalin aku, Za. Kamu tahu itu!" Reza mendengus pelan."Kamu terlalu percaya diri, Nad."Nadia mengerjap, seolah belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Sejak awal, dia selalu percaya bahwa Reza akan tetap ada untuknya—entah sebagai pria yang dia cintai, atau setidaknya seseorang yang tidak bisa benar-benar lepas dari genggamannya. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda."Kamu masih marah soal yang kemarin, kan?" Reza menghela napas. "Bukan cuma kemar
Ruang tamu yang biasanya hangat dan penuh tawa kini terasa dingin dan tegang. Cahaya lampu gantung di langit-langit memantulkan bayangan samar di dinding, seolah mencerminkan pergolakan yang sedang berlangsung di antara dua wanita yang berdiri saling berhadapan. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, jilbab panjangnya yang berwarna krem menjuntai hingga menutupi sebagian pundaknya. Tangannya tersembunyi di balik kain itu, namun jika dilihat lebih dekat, jemarinya tampak mengepal erat, menahan gelombang emosi yang bergejolak di dadanya. Suaranya yang keluar dari bibirnya sedikit bergetar, namun matanya—mata yang biasanya lembut dan penuh kehangatan—kini menatap lurus ke arah Nadia tanpa sedikit pun gentar."Apa maumu sebenarnya, Mbak Nadia?" tanyanya, nada suaranya bercampur antara ketegangan dan kemarahan yang ia coba tahan.Nadia, yang duduk santai di sofa empuk dengan kaki disilangkan, hanya tersenyum tipis. Senyum itu tidak mencapai matanya; ada sesuatu yang dingin dan licik ters
“Apa yang kamu lakukan, Mbak Nadia?” Suara Aisyah bergetar, namun ada kekuatan yang tersirat dalam nada bicaranya. Matanya menatap lurus ke arah wanita yang berdiri di depannya, sorot keteguhan yang belum pernah Reza saksikan sebelumnya memenuhi wajah lembut Aisyah. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan mereka di dinding, menciptakan suasana yang tegang seolah udara di sekitar mereka ikut mengeras.Nadia tersenyum sinis, lengkungan bibirnya penuh dengan kepahitan yang sudah lama terpendam. “Kamu pikir aku akan membiarkan kamu merebut semuanya dariku, Aisyah? Aku tahu semua rahasia keluarga ini—setiap detail kecil yang disembunyikan dengan rapi di balik senyum manis dan kata-kata bijak. Dan aku akan memastikan kamu menyesal telah masuk ke dalamnya, menjejakkan kakimu di dunia yang bukan milikmu.”Reza melangkah maju, tubuhnya yang tinggi berdiri tegak di antara Aisyah dan Nadia, seolah menjadi benteng pelindung bagi wanita yang kini menjadi bagian penting dalam hidu
"Aku mau hubungan kita dimulai dari awal, Mas. Tanpa bayangan Mbak Nadia."Reza terdiam. Suasana ruang tamu yang biasanya dingin, dengan dinding-dinding putih polos dan sofa tua yang berderit pelan, kini terasa sesak, seolah udara di sekitar mereka menolak bergerak. Cahaya lampu gantung di atas kepala memantulkan bayangan samar di lantai kayu, namun sorotan mata Aisyah yang berdiri di hadapannya jauh lebih tajam daripada kilau itu. Wajahnya tenang, hampir terlalu tenang, tapi di balik ketenangan itu, Reza bisa melihat kilasan ketegasan yang asing—sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya dalam diri Aisyah selama tiga tahun pernikahan mereka."Jadi, kamu... benar-benar mau kembali ke rumah ini?" Suara Reza bergetar samar, seperti angin yang menyelinap di sela-sela jendela yang tak pernah tertutup rapat. Dia berdiri di dekat meja kecil di sudut ruangan, tangannya meremas ujung kain sarung yang dikenakannya, mencari pegangan untuk menenangkan hati yang bergetar.Aisyah mengangguk pe
Cinta adalah sebuah perasaan yang tak terduga, sering kali datang di saat yang tak kita duga dan membawa perubahan besar dalam hidup. Dalam kisah ini, kita akan menyelami perjalanan Aisyah dan Reza yang terjebak dalam hubungan yang rumit. Apakah mereka akan mampu mengatasi masa lalu dan menemukan kebahagiaan yang sejati? Mari kita lanjutkan narasi ini.Sejak pernikahan mereka dimulai, Aisyah selalu merasakan bayang-bayang Nadia, mantan kekasih Reza yang masih menghantui hubungan mereka. Setiap kali Aisyah berharap untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang Reza, selalu ada rasa bahwa ia hanya menjadi pengganti. **Realita ini sangat menyakitkan** bagi Aisyah, dan ia merasa terjebak dalam situasi yang tidak adil. Reza, di sisi lain, berjuang dengan rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam. Kehilangan Nadia membuatnya merasa bahwa ia tidak berhak untuk mencintai lagi. **Pikiran ini membuatnya menjaga jarak dari Aisyah**, meskipun di dalam hatinya, ia menyimpan perasaan yang semakin d
"Aku lelah, Mas. Aku nggak bisa terus-terusan berusaha kalau aku sendiri nggak yakin aku memang pantas di sini."Aisyah menatap Reza dengan mata yang dipenuhi air. Suaranya terdengar pelan, tetapi cukup untuk menusuk hati pria di depannya. Dia merasa terjebak dalam perasaannya sendiri, dan saat-saat seperti ini membuatnya meragukan segala sesuatu yang telah dia jalani bersama Reza."Jangan ngomong gitu, Dek Ais." Suara Reza lebih rendah dari biasanya, nyaris seperti bisikan. "Aku tahu ini berat, tapi kita bisa cari jalan keluar bareng-bareng." Ada nada harapan dalam suaranya, tetapi Aisyah merasa semua itu sia-sia.Aisyah menggeleng. "Aku udah coba. Aku berusaha keras buat bertahan, buat percaya kalau aku bisa jadi bagian dari hidup Mas Reza. Tapi yang selalu aku lihat cuma bayang-bayang Mbak Nadia. Aku capek." Kata-kata itu meluncur keluar seperti aliran air yang tidak bisa dia tahan lagi. Setiap detik rasanya semakin menyakitkan.Reza mengatupkan rahangnya. Tangannya mengepal di sis