Share

Lara Cinta
Lara Cinta
Penulis: Neza Visna

Rencana Lamaran

“Gue bakal  melamar Anira.”  Deril menatap Reksa lekat sembari mengucapkan kalimatnya itu. Tidak ingin melewatkan sedikitpun  reaksi sahabatnya itu.

Wajah Reksa masih tetap datar, tapi dia menatap Deril tajam. “Om sama tante sudah tahu tentang ini? Velma gimana?”   Tangan Reksa yang terselip di sakunya, mengepal kuat, berusaha  menahan perasaannya sendiri.

Dua pria tampan itu bertatapan lama, sampai pada akhirnya Deril yang kalah, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia menatap ke pemandangan malam  kota Jakarta terlihat dengan sangat jelas dari restoran itu. 

“Belum,” gumamnya sedikit merasa bersalah. “Gue bakal  bilang secepatnya ke mereka, untung sekarang, masih lo yang tahu tentang ini sekarang.”

Reksa menghela napas panjang, sekuat tenaga dia menepuk punggung Deril sampai menimbulkan suara nyaring. 

Plak!!

Deril mengernyitkan keningnya merasakan perih di punggungnya, tapi dia sama sekali tidak marah ke Reksa. “Sorry Rek,” gumamnya.

Reksa memukul punggung Deril sekali lagi. “Gue nggak butuh permintaan maaf dari lo. Anira udah milih lo. Gue Cuma minta, jangan sakitin dia. Kalau memang lo berniat melamar dia, pastikan keluarga lo udah bisa nerima dia!”

Deril tersenyum getir, perasaannya sungguh campur aduk, mengatakan ini semua kepada sahabatnya itu. Meski Reksa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, rasa bersalah itu tidak bisa hilang sepenuhnya dari dirinya. 

Kedua laki-laki tampan itu tidak lagi berbicara, keduanya memilih diam, menyesap rokok elektrik yang menempel di bibir masing-masing, membiarkan asap yang mengepul itu bisa menjernihkan pikiran mereka saat ini.

“Hei, kalian ngomongin apa? Asyik banget di luar sini. Nggak dingin apa? Bukannya di dalam. Kalian berdua dicariin loh.”  

Nyaris serentak keduanya mematikan rokok di tangan mereka, dan menoleh ke sumber suara itu.

Malam ini, adalah acara pernikahan salah seorang teman mereka semasa kuliah dulu, tapi apa daya, dua pria itu malah lebih tertarik di luar, ketimbang bernostalgia di dalam sana.

Anira, perempuan yang menjadi objek pembicaraan mereka tadi, berjalan ke arah keduanya, dia berhenti di samping Deril, kemudian merangkul lengan pria itu manja. “Aku udah pamitan, kita pulang sekarang ya?  Papa udah nanyain.”  

Deril dengan gemas mengacak rambut kekasihnya itu. “Iya,  kita pulang sekarang.”

“Hahh, kayanya baru kemarin kita semua ospek,  nggak nyangka, sekarang, teman kita  udah mulai married aja,” gumamnya. 

“Kenapa? Kamu mau nikah juga? Tinggal bilang saja, aku ready kapanpun kok,” seloroh Deril, tapi matanya menatap Anira dengan sangat lembut. Sama sekali tidak ada canda di sana.

Wajah Anira bersemu merah. “Apa sih! Kamu pikir nikah segampang beli  mekdi di Rawamangun, ready 24 jam!”  

Melihat kemesraan dua orang itu, Reksa memilih diam, dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ini pemandangan yang sudah sangat sering dia saksikan, tapi rasanya dia tidak akan pernah terbiasa. Rasa sakit yang menusuk dadanya itu, masih senantiasa menemaninya.

Reksa dan Deril sudah berteman semenjak mereka bisa masih kanak-kanak.  Kemudian Anira bergabung dengan  mereka ketika kuliah. Dari sejak itu, sudah  nyaris tujuh tahun berlalu.  

Seperti layaknya persahabatan pada umumnya, tiga orang itu menikmati masa muda mereka dengan penuh warna, sampai satu rasa bernama cinta hadir di antara ketiganya.

Persahabatan laki-laki dan wanita sangat sulit murni, karena rasa yang seringkali muncul tidak pada tempatnya. Itu juga yang terjadi di antara tiga orang itu.

“Hoi, bengong aja, mikirin apa lo?” Reksa tersentak, ketika melihat wajah Anira entah sejak kapan begitu dekat dengannya. Dengan cepat, Reksa melangkah ke samping menjauhi wajah manis itu. 

“Ngomong santai aja! Nggak usah mepet-mepet!” ujarnya ketus.

“Dih sensi!”

Deril menarik Anira kembali mendekat ke arahnya, hingga tubuh mereka bersentuhan. Anira dengan pongah menyandarkan kepalanya di dada Deril. “Ckck, sama cewek aja takut, gimana lo mau punya pacar. Ini baru gue, gimana orang lain?”

“Jangan digodain terus, nanti dia marah.”

“Dih aku nggak takut.” Anira mengeluarkan lidahnya manja ke arah kekasihnya itu. Deril tidak punya pilihan selain mengetuk dahi Anira.  “Aku ke toilet bentar, kalian duluan saja ke mobil.”

 Deril menatap Reksa sekali lagi, menunggu anggukan Reksa baru dia pergi menjauh dari sana. Meninggalkan kekasihnya dekat dengan pria lain yang punya perasaan pada Anira, apa Deril tidak khawatir?

Ironisnya tidak sama sekali. Reksa terlalu pandai menyembunyikan perasaannya sendiri. Anira tidak pernah menyadari, perasaan Reksa padanya, dia sedikit kasihan juga pada Reksa.  Di sisi lain, kalau bukan karena itu, mungkin juga dua tahun lalu, bukan dia laki-laki yang akan mendapatkan Anira.

Anira menggosok lengannya kedinginan. Angin malam di tempat itu mulai terasa menusuk kulit.  

Reksa mengerutkan keningnya. “Nggak bawa jaket?”

Alih-alih menjawab, Anira menunjuk ke arah dirinya sendiri, dari atas ke bawah. “Lihat gaun dong gue pakai apa? Bagian mana dari gaun ini yang menunjukkan  kalau dia cocok dipadukan sama jaket?” gerutunya.

Reksa menilai Anira dari atas ke bawah. Perempuan itu masih secantik yang dia ingat. Gaun satin tali spageti yang membungkus badan Anira membuat pandangannya sulit teralihkan.  “Siapa yang menyuruhmu mengenakan pakaian seperti ini?”

“Nggak ada! Gue Cuma pengen cantik aja. Gue juga perempuan, kalo lo nggak ingat!” jawab Anira pasrah.  “Lo nggak ada niat gentle gitu, nawarin gue jas lo?”

Ingat? Tentu saja Reksa ingat. Setiap saat dia menyadari kalau Anira adalah perempuan, perempuan yang menempati hatinya, tapi di saat yang sama, perempuan yang tidak mungkin untuk digapainya.

Reksa memilih menatap wanita itu datar. “Itu bukan kapasitas gue, udah ada Deril, kan?”

Wajah Anira langsung melembut begitu ingat Deril. “Well, lo bener sih. Sayangnya orangnya juga kurang peka tadi.”

“Lo mau tetap di sini, kedinginan atau nunggu di mobil?” tanya Reksa, menolak mengomentari hubungan pasangan kekasih itu.

“Hmm ....” Anira mengusap lengannya yang mulai merinding karena kedinginan. “Tunggu di bawah aja lah. Di sini terlalu dingin.” 

Reksa dan Anira akhirnya berjalan beriringan menuju ke lift yang akan membawa mereka ke parkiran.  

“Ra,” panggil Reksa, memecah kebisuan itu.

“Kenapa?”

“Lo bahagia sama Deril?”

Mata Anira melebar, dia memiringkan kepalanya menoleh ke Reksa. “Pertanyaan lo kok gitu?”

Sebenarnya, Reksa juga terkejut dengan pertanyaannya itu. “Bukan apa-apa, Cuma nanya saja.”

Anira menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan satu dua hari gue kenal sama lo.” Pria itu tidak akan pernah mengatakan sesuatu, tanpa dasar. 

Jantung Reksa berdebar sangat keras. Di lift sempit itu, dia merasa seperti wanita itu bisa  mendengar degup jantungnya saat ini.  “Cuma kepo aja.”

“Dih nggak jelas!” Anira mengernyitkan keningnya, menatap Reksa dengan pandangan menyelidik.    “Gue kira, Deril ngomong apa gitu sama lo. Dia nggak bilang, mau ngelamar gue atau apa gitu?”

Tepat sasaran! Harus diakui, Anira cukup pintar membaca sahabat sekaligus kekasihnya itu.  Kalau bukan Reksa yang ditanya, mungkin rencana Deril sudah terbongkar begitu saja, bahkan sebelum apapun.

“Kenapa? Lo juga udah pengen nikah?” tanya Reksa datar.  “Kalau lo emang udah pengen, ngomong saja sama Deril, gampang kan?”

Seperti ini, selalu cara Reksa menyembunyikan perasaannya, tidak heran sebenarnya, Anira sendiri tidak menyadari perasaan pria itu.

“Lo pikir, gampang? Gue cewek, masa gue yang nyosor sih?”

Reksa mengangkat bahunya santai. “Cewek sama cowok bedanya apa? Kalau lo nggak ngomong, darimana Deril tahu?”

Anira mendengus kesal,   dia melangkah lebih cepat mendahului Reksa  sembari menghentakkan kakinya, dan baru berhenti tepat di depan mobil Deril. 

“Lo nggak mau nunggu di mobil gue dulu?” tanya Reksa,  berjalan ke arah mobilnya sendiri.

Kening Anira masih berkerut kesal, menatap pria itu, tapi pada akhirnya kakinya melangkah mendekati Reksa, kemudian menghentakkan punggungnya sedikit kasar ke bagian body mobil pria itu. 

“Kenapa? Marah? Emangnya yang gue bilang itu salah?”

“Salah! Ini makanya lo nggak pernah punya cewek. Lo nggak paham perempuan sih.” 

Reksa memilih memutar bola matanya, terlalu malas menanggapi ucapan Anira itu.

“Sebentar lagi umur gue udah 26 tahun,  gue juga pengen kaya perempuan lain, married, punya anak, tapi gue nggak tahu maunya Deril. Gue udah coba ngasih kode, tapi entah dia peka atau nggak.”

“Lo mau gue ngomong langsung ke Deril?” 

Mata Anira berbinar, tapi secepat itu juga dia lunglai. “Jangan deh, gue nggak mau Deril jadi tertekan. Lo tahu sendiri, keadaan keluarganya kaya apa.”

“Bukan tugas lo  mikirin semua itu. Deril pasti udah mikirin semuanya, kalau dia memang niat serius sama lo.”

“Dan lo pikir, dia serius sama gue?” 

Reksa mengerutkan keningnya. “Kenapa nanya? Nggak yakin sama Deril?”

“Jawab aja dulu!”

Kalau ada kesempatan untuk menggoyahkan hubungan dua orang itu,  ini adalah satu di antaranya, tapi yang jadi pertanyaan, apakah Reksa akan melakukan itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status