Share

Jurang Lebar

“Kamu harusnya tanya adik kamu itu! Kalau bukan dia mengurungku dan meninggalkankanku dalam keadaan terkunci, aku nggak akan pulang terlambat! Papa nggak akan perlu keluar mencariku! Papa nggak perlu  berbaring di dalam sana!” tunjukknya ke arah ruang operasi dengan mata nyalang.  

Deril terkejut bukan main. “Ta-tapi Velma bilang dia sama sekali nggak ketemu kamu di kantormu.”

“Aku sudah heran, kenapa adikmu yang biasanya ketus, mau berinisiatif menjemputku! Harusnya aku tidak ikut dengannya! Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh!” Kakinya lemas, dia merasa seluruh tulangnya dilolosi dari tubuhnya.

Dia berharap ini semua hanya mimpi buruk, tapi kenapa dia tidak kunjung terbangun. Warna merah di ruang operasi  yang tidak kunjung padam membuat Anira semakin putus asa. Penyesalan itu makin menggunung bagai bola salju.

Beribu tanya kenapa, bermunculan di kepalanya. Kenapa harus ayahnya? Kenapa dia tidak berteriak lebih awal tadi, kenapa dia harus berusaha mendekatkan diri ke Velma? Dia tidak bisa bernapas karena semua penyesalan itu.

“Aku akan tanya ke Velma sekarang!” Deril sama sekali tidak menyangka, kalau ini semua ada hubungannya dengan Velma. Perasaan tidak enak mulai memenuhi dadanya. Dia berharap kalau ini semua hanya kesalahpahaman.

“Pergi! Aku tidak mau melihat kamu sekarang!” Lirih suara Anira, bahkan  nyaris tidak terdengar, tapi perintah itu bagai  jarum yang menusuk telinga Deril, hingga tembus ke dada.

“Nir, aku ....”

“Pergi! Tolong! Pergi dari sini!” Anira mulai histeris, sampai ibunya harus memeluknya.

Meski tidak mengerti kebenaran apa yang terjadi sebenarnya, wanita paruh baya itu mulai memahami apa yang terjadi. Ternyata ada alasan demikian di balik kepulangan Anira yang terlambat, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

“Ril, lebih baik lo pergi dulu.” Reksa menarik Deril menjauh. “Biarkan Anira tenang dulu. Siapa yang benar dan salah, bukan prioritas sekarang ini.”

Anira sudah tenggelam dalam rasa bersalah, ditambah rasa cemas karena tidak tahu nasib ayahnya di dalam sana, penjelasan dan klarifikasi Deril bukanlah yang dibutuhkan Anira saat ini.

“Tapi, Sa!” Deril mencoba  membantah, tapi dia terdiam ketika melihat pandangan tajam Reksa. “Telepon Velma dan tanya apa yang sebenarnya terjadi. Biar gue yang di sini menemani tante dan Anira.”

Deril masih enggan, tapi dia juga memahami kalau ini adalah pilihan  terbaik yang bisa dia lakukan. Dengan berat hati, dia akhirnya pergi dari sana. “Kabari gue kalau ada apa-apa.”

Reksa menganggukkan kepalanya. “Lo tenang aja.”

Setelah Deril pergi, Reksa buru-buru membantu Anira untuk bangkit, dan membimbingnya untuk duduk di kursi.

“Hei, tenang ya. Semua akan baik-baik saja.” Reksa berlutut di depan Anira, berusaha memberikan kekuatan untuk gadis itu.

Tidak mampu lagi menahan emosinya, Anira menghambur ke pelukan Reksa. “Kenapa ini harus terjadi sama papa? Tadi pagi, gue masih pamitan sama papa, kenapa sekarang semuanya jadi kaya gini, Sa?”

Ibu Anira memalingkan wajahnya, berusaha tegar untuk anaknya yang saat ini jelas membutuhkannya.  

Anira menangis tersedu-sedu, di pelukan Deril, yang sama sekali tidak mengatakan apa-apa lagi. Segala kalimat penghiburan tidak akan membuat semuanya lebih baik. Dia hanya bisa mendampingi Anira, dan meyakinkan gadis itu kalau dia tidak sendirian menghadapi semua ini.

Operasi itu berlangsung cukup lama.   Malam semakin tinggi, dan udara dingin rumah sakit itu mulai menusuk kulit, tapi   Anira seperti sudah mati rasa.   Operasi itu baru selesai ketika hari subuh.

Dokter dan beberapa orang tenaga kesehatan keluar dari ruangan itu, dengan wajah letih. Anira, ibunya dan Reksa segera menghampiri dokter itu.

“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?”

“Operasinya berhasil.” Wajah semuanya langsung sumringah ketika mendengar hal itu. “Tapi, seperti yang sudah saya sampaikan dari awal, tidak ada jaminan sama sekali kalau pasien akan kembali sadar.”

Deg!

Apa lagi ini? Kenapa Anira tidak tahu tentang ini?

Ibu Anira langsung menutup mulutnya, dan terhuyung ke belakang, berita itu sudah dia antisipasi tapi tetap saja dia tidak siap dengan kenyataan yang ada. Untugnya Reksa yang sejak tadi masih waspada, dengan sigap menangkap wanita paruh baya itu.

“Luka yang diderita pasien cukup parah, ada bagian syaraf kepalanya yang terkena. Ditambah umur yang sudah lanjut, kecil kemungkinan pasien akan kembali seperti semula.”

Berita keberhasilan itu, harus ditambah dengan berita tidak mengenakkan, tapi inilah kenyataan yang harus diterima oleh Anira dan ibunya. Ini sudah merupakan hasil terbaik yang bisa mereka harapkan, mengingat sejak awal, persentasi keberhasilan operasi itu tidak sampai 20%.

“Kita semua hanya bisa berdoa, dan berharap akan ada keajaiban untuk pasien. Kami para dokter, juga akan berusaha sekuat mungkin untuk memberikan yang terbaik.”

“Terima kasih, dokter.”

Dokter itu mengangguk. “Pasien masih harus dibawa ke ruang ICU, dan masih belum bisa dijenguk keluarga. Jadi lebih baik sekarang kalian pulang dan beristirahat. Ini akan jadi pertarungan yang panjang.”

Reksa menanyakan beberapa hal ke dokter itu, seputar keadaan ayah Anira, baru kemudian berterima kasih dan membiarkan dokter itu pergi.

“Tante, Anira,  aku antar kalian pulang dulu ya?”

Anira menggelengkan kepalanya. “Gue mau nemenin papa di sini. Lo antar mama pulang saja.”

“No. Kita pulang! Kamu juga perlu istirahat. Kita di sini juga nggak bisa melakukan apa-apa,” dengan suara tegar, ibu Anira berkata.

Sepertinya perempuan itu sudah memahami apa yang dimaksud dokternya. Mungkin suaminya tidak akan pernah bangun lagi, mungkin suaminya bisa koma. Dia harus mempersiapkan semuanya dengan baik.

Ini akan jadi pertarungan yang panjang. Kalau Ayah Anira cepat sadar, mungkin mereka bisa di rumah sakit hanya dalam waktu seminggu, tapi kalau suaminya itu tidak sadar juga, mereka harus bersiap selalu menjaga di rumah sakit.

“Tapi, Ma!”                                                       

“Nggak ada, tapi-tapi. Sekarang kita pulang!” Tidak peduli sehancur apa dia, sesedih apa dia, sekarang bukan waktunya untuk itu semua. Dia harus tetap tegar.  

Mereka bertiga meninggalkan rumah sakit itu setelah mengurus administrasinya.  “Ma, papa bakal bangun kan.”

Ibu Anira memeluk anaknya itu erat. “Semoga, sayang. Semoga.” Dia berharap keajaiban itu nyata adanya dan akan hadir untuk keluarga mereka.

Reksa memandang semua itu dengan hati berat. Dia mengantar Anira dan ibunya sampai di rumah mereka, baru kemudian dia langsung pergi lagi.

Dari awal sampai akhir, tidak sekalipun Reksa berbicara tentang Deril.  Reksa sama sekali tidak mengantuk, meski telah semalaman berada di luar tanpa tidur.  

Akhirnya dia memutuskan untuk datang ke kediaman keluarga Deril. Setibanya dia di sana. Dia menemukan suasana di keluarga itu sedang sangat menegangkan.

“Gimana keadaan Om?” tanya Deril langsung. Wajah pria itu juga terlihat kuyu, lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan kalau dia juga tidak bisa tertidur tadi malam.

“Operasinya berhasil, tapi bahayanya belum lewat. Dokter bilang, ada kemungkinan Om akan sulit tersadar.”

Wajah keluarg Deril langsung berubah keruh seketika. Deril mengepalkan tangannya kuat, sementara itu wajah Velma benar-benar sepucat kertas.

“Ini semua bukan karena aku! Aku sama sekali nggak tahu kalau kejadiannya bakal kaya gini, Kak!” tangis gadis itu terdengar memilukan, tapi Deril tidak merasakan apapun saat itu, kecuali kekecewaan yang sangat dalam.

“Kenapa kamu melakukan semua ini, Vel? Kenapa?” 

Dia benar-benar frustrasi. Keadaannya sudah begini, apa yang harus dia sampaikan ke Anira dan keluarganya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status