Setelah Mbak Rini dan Mama keluar, aku pun juga ikut melangkahkan kaki untuk pergi keluar. Dadaku terasa sesak dengan semua prahara yang terjadi. Aku butuh menghirup udara segar untuk menjernihkan pikiranku yang kusut saat ini. "Mas, Kamu mau ke mana? Mas tolong dengarkan aku dulu Mas!" teriak Retno.Aku menghentikan langkah kakiku, berbalik dan menatap tajam ke arahnya. "Apa lagi yang harus aku dengarkan, Retno? Menjaga anakku yang ada di dalam kandunganmu saja, kamu tidak becus! Tidak berguna!" sungutku padanya. Aku keluarkan juga uneg-uneg yang sedari tadi aku tahan agar tak meledak dan menyakiti hatinya. Namun setelah mendengar penjelasan dari Mbak Rini. Kebencianku padanya mulai terbit di hati ini."Tapi, Mas, ini semua bukan salahku, tapi salah kakak iparmu itu. Dia yang membuat anak kita ...," "Cukup Retno! Semua ini juga tidak akan terjadi jika kamu tidak membuat masalah sama Mbak Rini. Apa kamu mau aku usir juga seperti Mbak Rini, atau aku ceraikan seperti Indah?!" hardikk
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, perpisahan yang terjadi antara aku dan Mas Dito, tidak hanya menyisakan luka untukku tapi juga untuk Naira, putri kami.Setelah perceraian, atas bantuan Ibu dan Tuhan, aku bisa melalui hari-hari berat dalam hidupku ini, tapi tidak dengan putri kecilku.Setelah empat tahun, aku selalu berusaha menjadi Ayah serta Ibu yang terbaik untuk Naira. Namun ternyata, itu saja tidak cukup untuk Naira. Sempat terbesit dalam pikiranku untuk berumah tangga lagi, agar Naira bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh seperti teman-temannya. Akan tetapi, rasa takut dan kecewa akan kegagalan berumah tangga itu kembali menghantuiku.Aku takut suatu hari nanti, suamiku akan meninggalkanku kembali, dengan alasan ketidak kesempurnaanku sebagai seorang wanita. Ketidakmampuanku memberikannya pelita hati."Bunda, mana ayah? Kenapa Naila tidak pelnah lihat ayah? Ayah Tasya setiap sole pulang ke lumah, kenapa ayah Naila tidak pelnah pulang ke lumah? Bunda, apa benal kata Tasy
Setelah perbincangan dengan Ibu siang tadi, aku memutuskan untuk pergi. Hari libur yang seharusnya kuhabiskan dengan keluarga, tapi justru aku habiskan untuk mengurus resto. Aku butuh pelampiasan untuk meredakan kegelisahan hati ini. Melakukan apa saja yang dapat membuat aku sedikit melupakannya sejenak.Dengan langkah gontai, aku berjalan ke arah dapur. Aku langsung menggunakan apronku. fikiranku sekarang bercabang-cabang, antara di rumah dan resto. Sejak Naira menanyakan keberadaan tentang ayahnya, gadis kecilku itu menjadi sedikit pendiam dan murung. Makannya yang biasa lahap, sekarang menjadi enggan. Padahal menu yang kumasak adalah menu yang paling ia suka, ia tidak pernah makan sedikit saat aku memasakkan menu itu. Namun, kali ini ia berbeda.Aku menghela napas, dengan cepat membantu Dita menyiapkan makanan pesanan pengunjung. Biasanya hari Senin, seperti biasa resto tidak terlalu ramai dengan pengunjung, itu sebabnya aku selalu libur pada hari ini, agar pegawai yang lain tid
Seperti biasa setiap jam makan siang, aku harus menyajikan makanan untuk Mas Arman, dan tempat yang ia pilih selalu di gazebo ini. Sudah hampir empat tahun waktu berlalu, selama itu pula aku selalu menemani ia setiap jam makan siang maupun makan malam.Menyiapkan dan melayaninya saat ia makan, terkadang aku berpikir, kenapa pria di hadapanku ini tidak menikah lagi saja. Agar ada yang meladeni dan melayaninya sebagai suami.Bukaannya hilir mudik dari kantor ke resto, toh ... Resto ini juga aku yang urus. Ia hanya sekedar memantau saja, apa harus di lakukan setiap hari seperti ini?"Sebenarnya ada masalah apa, Indah?" tanya Mas Arman. Aku menyodorkan piringnya yang sudah aku isi nasi dan lauk-pauk. Sepertinya lelaki ini masih belum puas jika tak mendapat jawaban dariku.Aku menautkan alis. "Maksud Mas, apa? Aku tidak mengerti." Pura-pura bodoh adalah senjata andalanku kini saat menghindari sesuatu. Mas Arman m
Sesampainya kami di rumah sakit aku langsung berlari ke arah resepsionis, menanyakan di mana putriku di rawat. Setelah mendapatkan informasi, aku dan Mas Arman langsung berjalan menuju ruangan tersebut. Dari kejauhan aku melihat ibuku berbicara dengan seorang Dokter."Ibu, bagaimana dengan Naira?" tanyaku, sambil mengatur deru napasku yang tersengal-sengal karena jalan terlalu cepat, bahkan hampir bisa dikatakan setengah berlari."Apa kalian berdua adalah orang tua, Naira?" ujar dokter padaku, membuat aku menoleh ke arahnya.Bukannya Ibu yang menjawab pertanyaanku, justru Dokter yang mengenakan name tag Ibrahim itu yang justru bertanya balik padaku."Betul dok, saya Bundanya Naira. Bagaimana keadaan putri saya Dok?" tanyaku.Dokter Ibrahim menatap aku dan Mas Arman secara bergantian. "Sebenarnya putri kalian tidak sakit, tapi batinnya yang sakit," jawab dokter itu ambigu. Membuatku bingung, apa maksud dari perkataannya. "Maksud dokter?" "Maaf, sebe
Aku keluar membiarkan Naira dan Mas Arman berdua di dalam. Melihat kondisi putriku yang berangsur membaik, membuat hatiku lega, aku memilih duduk di bangku panjang depan kamar inap Naira seorang diri, aku ingin menghirup udara sebentar sambil mengontrol gemuruh hati ini.Ada perasaan senang dan sedih yang bercampur menjadi satu, saat melihat Naira begitu dekat dengan Mas Arman.Di sini aku duduk sendiri, karena Ibu sudah pulang lebih dulu menggunakan taksi. Aku sempat menawarkan diri untuk mengantarkan, tapi, ibuku itu menolak. Ia bilang 'kasihan Naira, nanti gadis kecilku itu nyariin aku, jika ia melihat Mamanya tak ada'.Saat sedang duduk melamun seorang diri, aku melihat pintu kamar inap nomor dua di sebelah kananku terbuka. Degh.Aku langsung tersentak, dan berdiri saat melihat siapa yang keluar dari balik pintu itu."Retno?" ucapku tanpa sadar. Ingin rasanya aku memukul mulutku sendiri, yang tak sadar memanggil nama wanita itu. Walaupun pelan, tapi sepertinya telinga wanita it
Untuk sejenak Retno terdiam sambil memegang pipinya yang memerah, mungkin ia masih syok. Tapi setelah itu, dengan cepat tangannya berayun ke arah wajahku. Membalas apa yang aku lakukan adanya.Aku menangkap tangannya, dan meremasnya kuat. Membuat Retno meringis menahan sakit. Ia salah jika mengira aku hanya akan diam saja seperti dulu."Lepaskan tangan Istriku, wanita sialan!" hardik Dito. Pria itu marah dan mendekat, membantu istrinya.Aku menyeringai kecut, dengan amarah yang masih membuncah, Kulepas tangan Retno lalu mendorong tubuhnya dengan kasar ke arah suaminya. Aku menatap kedua pasangan serasi itu dengan nyalang."Berani sekali kamu, Indah! Kamu pikir, kamu siapa, hah?! Lancang sekali kamu menampar kami berdua!" teriak Retno tak terima. Tentu saja ia tak terima di tampar di depan orang banyak, secara tidak langsung aku telah menjatuhkan harga dirinya.Dengan santai aku menepuk-nepuk tanganku seolah baru saja habis memegang sesuatu yang kotor. Dari sudut mata kulihat Dito me
Pov. DitoSial! Benar-benar sial! Setelah sekian lama tak bertemu dengan mantan istriku itu, kini ia justru tampak lebih cantik dan modis. Membuat jantungku kembali berpacu. Awalnya aku ingin menyapa, tapi entah mengapa mulutku justru mengatakan hal-hal yang justru menghinanya. Indah Savitri—wanita yang aku talak empat tahun yang lalu, kini muncul bak bidadari. Kulit kuning langsat yang bersih dan terawat, wajah putih yang bersemu merah muda membuat ia tampak awet muda dan cantik jelita. Sangat berbeda sekali dengan dirinya dulu, saat masih bersamaku. Membuat debaran di hatiku yang dulu hilang kini timbul kembali, seperti saat masa-masa kami pacaran dulu.Panasnya tamparan di pipiku ternyata tidak sepanas hatiku saat melihat ia bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya. Tidak! Aku tak rela Indah yang cantik jatuh ke tangan pria itu. Apalagi sekarang aku sudah punya putra laki-laki dari Retno, jadi tak ada salahnya rujuk dengan mantan istri. Aku yakin dengan mendek