๐๐๐๐๐Sehabis jualan, aku bersiap untuk pergi kerumah Bu Narmi. Juragan kontrakan di kampung ini. Dengan pakaian seadanya yang cukup layak dan bersih, aku melangkahkan kaki dengan santai hingga kerumahnya. Sebenarnya jarak tempuh yang kulalui cukup jauh, sekitar dua puluh menit perjalanan. Tidak ada ojek atau angkot yang lewat di sini, sedangkan motor atau sepeda aku tak punya. Jadi hanya bisa mengandalkan kakiku saja.Dengan tubuh yang sedikit berkeringat karena panasnya cuaca, aku memasuki gerbang yang menjulang tinggi ini. Sebagai juragan kontrakan, tentu rumah Bu Narmi adalah rumah yang paling mewah di kampung ini. Bangunan tingkat dua yang berdiri kokoh, itu membuat siapa saja yang melihat sudah mengetahui jika yang memilikinya adalah orang kaya.Ahh ... beruntung sekali nasib Nina, menikah dengan anak orang kaya, dan memiliki mertua yang baik seperti Bu Narmi. Aku tidak kebayang jika aku berada di posisinya, pasti hidupku akan sangat bahagia saat ini.Setelah berbicara pada
Tak terasa sudah satu Minggu waktu berlalu sejak grend opening restoran ini. Jenggalu Resto namanya, karena terletak di Jl. Jenggalu. Suasana resto saat ini begitu ramai, membuat aku sangat bahagia, atas respon dan antusias para pengunjung yang tak henti-hentinya datang ke restoran ini.Semoga saja menjadi berkah untuk keluarga kecilku. Semoga pengorbananku membangun resto ini nanti, hingga jauh dari anakku dan meninggalkannya bersama ibu tidak akan sia-sia. Aku yakin selalu ada pelangi habis terang, dan untuk Mas Dito, aku tidak tahu kabarnya dan tidak mau tahu.Semoga saja ia bisa hidup bahagia dengan keluarganya, agar tidak mengganggu hidupku dan Naira nantinya. Aku masih asik berkutat dengan kuali dan kompor, karena resto ini masih baru, dan semua karyawan tentunya belum pada paham. Jadi akulah yang harus turun tangan langsung ke dapur untuk menyiapkan masakan. Walaupun badanku terasa lelah, tapi aku ikhlas demi masa depan anakku nanti. Beberapa menu sudah kusiapkan dengan cepa
Dengan kecepatan sedang aku mengendarai mobilku membelah keramaian kota, menuju rumah sakit Ibu dan Anak. Beberapa menit yang lalu, Mama meneleponku dan mengatakan, jika Retno mengalami kontraksi lebih cepat dari perkiraan dokter. Sesampainya mobilku di parkiran rumah sakit, aku memarkirkan mobilku lalu turun dengan cepat dari mobil, melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa. Aku sudah tidak sabar menyambut kehadiran bayi laki-lakiku ke dunia ini. Aku yakin kali ini aku akan mendapatkan bayi laki-laki, karena beberapa kali USG, dokternya selalu mengatakan jika bayi kami laki-laki. Sungguh aku sangat bahagia mendengarnya.Setelah mendapat informasi dari resepsionis, aku langsung menuju tempat di mana Retno ditangani oleh dokter, dari kejauhan aku melihat Mama dan Mbak Rini sedang duduk dengan gelisah di depan sebuah ruangan. Melihat dari raut wajahnya, sepertinya bayi lelakiku belum lahir."Ma, Mbak, bagaimana keadaan Retno? Apa bayiku sudah lahir?" tanyaku tak sabar.Mama dan Mbak Rin
๐๐๐๐๐"Mas, maafkan aku. Maafkan aku!" pinta Retno dengan air mata yang tak henti terurai. Rasa penyesalan itu bergelayut di dadanya. Sunggu menyesakkan dada. Tubuhnya gemetar dengan raut wajah emmohon belas kasihan.Aku menemuinya setelah beberapa saat ia sadar dan emosinya sedikit membaik. Entah sudah berapa kali wanita ini tak sadarkan diri. Saat mengetahui putra kami meninggal, wanita itu mengamuk dan berteriak histeris. Menunjuk-nunjuk wajah Mbak Rini dengan garang.Seakan semuanya adalah salah wanita itu. Entah ala yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Selaam ini mereka berdua selalu nerusaha tampak akur.Di ruangan ini hanya ada kami berempat, aku, Retno, Mama, dan Mbak Rini. Suasana tegang, bahkan dinginnya AC di ruangan ini membuat pelipis kedua wanita itu banjir dengan keringat dingin. "Katakan padaku, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku padanya. Mulai menyelidik. Aku memperhatikan wajah Retno dan Mbak Rini secara bergantian. Aku merasa seperti ada sesuatu yang
"Tidak! Jangan laporkan Mbak pada polisi, Dito! Jangan ..." Mbak Rini langsung berlutut di kakiku. Ia memeluk kakiku erat seraya memohon, tak kupedulikan isak tangisnya yang terdengar pilu menyayat hati. Aku tahu dia takut dan merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada calon anakku. Tapi rasa bersalahnya tak mampu mengobati kepedihanku yang kehilangan buah hati. Sungguh tega ia melukai bayiku yang masih berada di dalam kandungan. Bayi yang aku harapkan kehadirannya dengan sepenuh hati."Itu memang pantas Mbak dapatkan! Tega sekali Mbak melakukan hal keji itu pada anak dan istriku!" Aku menyentak kakiku kasar, mendorong tubuh wanita itu menjauh dariku. Hingga dia terjerembak ke belakang. Masih dalam keadaan terduduk di lantai, Mbak Rini kembali memohon padaku. "Mbak mohon, Dito. Kasihan anak-anak Mbak, jika Mbak kamu kirim ke penjara, siapa yang akan mengurus mereka? Mereka masih kecil-kecil. Mbak khilaf, Dito. Ini semua juga karena istrimu yang memprovokasi Mbak, jika tidak ...
Setelah Mbak Rini dan Mama keluar, aku pun juga ikut melangkahkan kaki untuk pergi keluar. Dadaku terasa sesak dengan semua prahara yang terjadi. Aku butuh menghirup udara segar untuk menjernihkan pikiranku yang kusut saat ini. "Mas, Kamu mau ke mana? Mas tolong dengarkan aku dulu Mas!" teriak Retno.Aku menghentikan langkah kakiku, berbalik dan menatap tajam ke arahnya. "Apa lagi yang harus aku dengarkan, Retno? Menjaga anakku yang ada di dalam kandunganmu saja, kamu tidak becus! Tidak berguna!" sungutku padanya. Aku keluarkan juga uneg-uneg yang sedari tadi aku tahan agar tak meledak dan menyakiti hatinya. Namun setelah mendengar penjelasan dari Mbak Rini. Kebencianku padanya mulai terbit di hati ini."Tapi, Mas, ini semua bukan salahku, tapi salah kakak iparmu itu. Dia yang membuat anak kita ...," "Cukup Retno! Semua ini juga tidak akan terjadi jika kamu tidak membuat masalah sama Mbak Rini. Apa kamu mau aku usir juga seperti Mbak Rini, atau aku ceraikan seperti Indah?!" hardikk
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, perpisahan yang terjadi antara aku dan Mas Dito, tidak hanya menyisakan luka untukku tapi juga untuk Naira, putri kami.Setelah perceraian, atas bantuan Ibu dan Tuhan, aku bisa melalui hari-hari berat dalam hidupku ini, tapi tidak dengan putri kecilku.Setelah empat tahun, aku selalu berusaha menjadi Ayah serta Ibu yang terbaik untuk Naira. Namun ternyata, itu saja tidak cukup untuk Naira. Sempat terbesit dalam pikiranku untuk berumah tangga lagi, agar Naira bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh seperti teman-temannya. Akan tetapi, rasa takut dan kecewa akan kegagalan berumah tangga itu kembali menghantuiku.Aku takut suatu hari nanti, suamiku akan meninggalkanku kembali, dengan alasan ketidak kesempurnaanku sebagai seorang wanita. Ketidakmampuanku memberikannya pelita hati."Bunda, mana ayah? Kenapa Naila tidak pelnah lihat ayah? Ayah Tasya setiap sole pulang ke lumah, kenapa ayah Naila tidak pelnah pulang ke lumah? Bunda, apa benal kata Tasy
Setelah perbincangan dengan Ibu siang tadi, aku memutuskan untuk pergi. Hari libur yang seharusnya kuhabiskan dengan keluarga, tapi justru aku habiskan untuk mengurus resto. Aku butuh pelampiasan untuk meredakan kegelisahan hati ini. Melakukan apa saja yang dapat membuat aku sedikit melupakannya sejenak.Dengan langkah gontai, aku berjalan ke arah dapur. Aku langsung menggunakan apronku. fikiranku sekarang bercabang-cabang, antara di rumah dan resto. Sejak Naira menanyakan keberadaan tentang ayahnya, gadis kecilku itu menjadi sedikit pendiam dan murung. Makannya yang biasa lahap, sekarang menjadi enggan. Padahal menu yang kumasak adalah menu yang paling ia suka, ia tidak pernah makan sedikit saat aku memasakkan menu itu. Namun, kali ini ia berbeda.Aku menghela napas, dengan cepat membantu Dita menyiapkan makanan pesanan pengunjung. Biasanya hari Senin, seperti biasa resto tidak terlalu ramai dengan pengunjung, itu sebabnya aku selalu libur pada hari ini, agar pegawai yang lain tid